Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Fragmen Pancasila dalam Film Lima


Pancasila adalah wujud keberagaman. 

Berbagai etnis, bahasa, adat istiadat, serta kepercayaan bersatu padu membentuk Indonesia. 

Semoga bangsa Indonesia senantiasa terus bertoleransi dalam keberagaman! 

Mari, kita bersatu, berbagi, dan berprestasi*

(Blogger Eksis)

Film Lima telah tayang di bioskop sejak tanggal 31 Mei 2018
    
PANCASILA. Kata itu pertama kali Blogger Eksis kenal di sekolah. Setiap hari Senin saat upacara bendera, teks Pancasila selalu dibacakan di depan lapangan. Aku sering bertugas menjadi pemimpin untuk membaca teks Pancasila supaya diikuti oleh peserta upacara lain.
      Tak hanya di luar kelas, aku pun mendapat pengetahuan tentang Pancasila dari pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Nama pelajaran ini sering disebut Pendidikan Kewargaan Negara, lalu diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), kemudian berkembang menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), disederhanakan kembali menjadi Kewarganegaraan, dan sampai sekarang disebut dengan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Meski nama sering berubah mengikuti standar kurikulum yang ada, inti ajaran Pancasila tetap sama yaitu membina warga negara agar memiliki budi pekerti yang luhur dan mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat.
       Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Panca itu artinya lima, maka ada lima sila yang harus kita amalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk lingkup keseharian. Rasanya memang sulit untuk merumuskan dalam bentuk implementasi tindakan karena kita hidup pada kondisi bangsa yang majemuk. Jika kita memegang teguh semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, maka kita bisa lebih menghormati perbedaan demi bersatu menjaga NKRI.
Bhineka Tunggal Ika, Walaupun berbeda tetap satu jua

            Banyak hal sederhana yang sebenarnya bisa kita coba sebagai bukti pengamalan setiap sila Pancasila. Tapi, masih banyak penempatan ideologi yang kaku sehingga membuat situasi dan kondisi menjadi tegang. Toleransi pun menjadi korban atas segala bentuk kesewenang-wenangan yang tak bisa menghargai perbedaan. Semua studi kasus tersebut bisa kita tonton dalam film Lima.

            Film indonesia yang sudah tayang sejak tanggal 31 Mei 2018 di layar bioskop ini memiliki cerita yang unik. Penempatan sudut pandang begitu istimewa. Ada sebuah keluarga yang hidup dalam satu atap pada konteks kehidupan multikultural. Kepercayaan terhadap agama didasari atas masing-masing keyakinan. Mereka harus tetap hidup berdampingan, meski konflik tak bisa dihindari karena perbedaan agama.

            Blogger Eksis berkesempatan menonton film Lima pada Jum’at (1/6/2018) di Djakarta Theatre, Sarinah. Pemutaran film dilakukan sekaligus memperingati hari kelahiran Pancasila. Energi kebangsaan begitu terasa apalagi acara nobar pada hari itu diikuti oleh member community ShopBack.
Undangan Nonton Bareng Film Lima Bersama ShopBack

Film dibingkai melalui potret keluarga Ibu Hajjah Maryam Hassanah (Tri Yudiman). Ia punya 3 anak yang memiliki perbedaan agama. Mereka terlahir dari pernikahan beda agama yang sesuai dengan realita di kehidupan kita.

 Keluarga seperti itu ada disekitarku. Begitu dekat aku mengenal teman-teman yang ada di lingkungkan komplek perumahanku yang mengalami hal sama dalam film. Pertentangan atas beda paham menuntut mereka untuk memiliki pemikiran terbuka. So far, anak-anak akan menjadi korban dari kehidupan keluarga beda agama ini.
           
           Jenis film yang diproduksi oleh Lola Amaria Production hampir mirip seperti omnibus. Hanya saja film Lima memiliki beberapa alur yang saling berkesinambungan. Kakak pertama bernama Fara (Prisia Nasution) merupakan seorang pelatih atlet renang. Sebagai peran utama wanita, Ia menghadapi berbagai pertentangan tentang keberagaman. Ia harus menyikapi konflik yang terjadi dengan solusi untuk kedua adiknya, Aryo (Yoga Pratama) dan Adi (Baskara Mahendra) serta asisten rumah tangga yang bernama Bi Ijah.

           5 sutradara, 5 cerita, dan satu keluarga berasal dari Indonesia mampu memvisualkan nilai-nilai Pancasila ke dalam film yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Shalahuddin Siregar bertugas menyutradarai kisah sila pertama, Tika Pramesti mengomandoi cerita sila kedua, Lola Amaria memimpin cerita di visualisasi sila ketiga, Harvan Agustriansyah mengarahkan konsep untuk sila ke empat, dan Adriyanto Dewo memegang komando pada sila ke lima.

Film Lima yang Berisi Fragmen Pancasila

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kontemplasi dalam sila ini dimulai pada babak awal film. Banyak adegan yang menjadi punching line dalam film Lima sehingga penonton bisa masuk ke dalam cerita. Prosesi pemakaman dengan paham beda agama menjadi pusat konflik yang begitu kompleks.
Sosok ibu yang pernah murtad lalu kembali memeluk agama Islam hingga bergelar Hajjah dibentuk dengan sangat unik. Ibu suka menggunakan kuteks menjadi point of information dari karakter yang out of the box. Dilematis bagi anak-anaknya saat menghadapi kematian sang ibu yang harus dikebumikan dengan cara yang sesuai pada tata cara agama yang harus diamalkan.
Debat kusir terjadi antar anak dan keluarga yang datang. Fara yang Islam tetap teguh untuk menghapus kuteks di jari jemari ibu sebelum dikebumikan. Sementara Roy sebagai anak dari ibu namun beragama Kristen juga tidak berhak masuk ke liang lahad saat menguburkan jenazah ibu dalam tata cara muslim.
Biarlah, dosanya saya yang tanggung!”, ujar Fara memperbolehkan Roy untuk masuk ke dalam liang lahad. Adegan penguburan pun berhasil membuat penghormatan kepada jenazah dari dua agama yang berbeda. Sungguh adegan menakjubkan dan memang pernah terjadi di kehidupan nyata.

Sementara untuk sila kedua, Film Lima coba menggali dari sisi gaduh seleksi Asian Games. Pemahaman terhadap unsur kemanusiaan yang adil dan beradab coba ditunjukkan oleh Fara. Ia rela meninggalkan profesionalitas kerja hanya karena kisruh seleksi atlet renang yang membedakan antara golongan pribumi dan non-pribumi.
Awalnya, Fara diminta untuk menilai atlet terbaik yang dikirim ke pelatihan nasional (pelatnas) sesuai dengan performa saat latihan. Setelah menentukan, Fara justru harus menghadapi sikap pimpinan klub renang tersebut yang memiliki kepentingan demi kepuasan tersendiri. Ada perbedaan warna kulit yang coba diungkit, meski para atlet renang yang ada dalam klub tersebut tak pernah mempermasalahkan perbedaan tersebut.
Ini tidak mengada-ada, tapi fakta dalam kehidupan sosial politik di negeri kita. Korupsi, kolusi, dan nepotisme itu masih menjadi virus yang mengekang idealisme. Jalan tengah pun diambil untuk mengajak penonton memutar balik sudut pandang yang tak pernah kita duga.

Prosesi kematian sang ibu juga berlanjut sebagai perwujudan konteks sila ketiga, Persatuan Indonesia. Keluarga multikultural itu terus diuji tentang status wasiat yang ditinggalkan almarhumah Ibunya. Tanpa diduga, mereka masih memiliki warisan untuk melangsungkan kehidupan ke depan.
Aryo (Yoga Pratama) lebih berperan dalam cerita ini. Setelah bisnis yang dibangun bersama temannya sukses, Ia justru dibuang karena tidak fokus merintis usaha tersebut. Aryo diusir begitu saja dari kantor.
Fara yang memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pelatih renang dan Aryo yang baru saja dipecat dari kantor begitu bingung menghadapi kehidupan mereka ke depan. Notaris pun hadir di tengah keluarga yang berada dalam persimpangan. Warisan menjadi polemik kembali yang memicu konflik. Namun, penyelesaian akan pertentangan dalam keluarga yang mengatasnamakan persatuan begitu rapi terbentuk sehingga masing-masing anggota keluarga tak perlu meluapkan emosi berlebihan.

           Hanya saja dari babak tengah menuju babak akhir, cerita justru tidak begitu kuat. Sila ke-4 disimbolkan dalam adegan adik yang paling bungsu bernama Adi melihat pencuri yang dibakar dalam kondisi masih hidup. Semenjak kematian ibu, Adi sering dibully oleh teman sekolahnya. Sampai Adi babak belur karena berupaya menolong seorang pencuri yang dibakar oleh teman sekolahnya tersebut. Sungguh peristiwa yang tidak berperikemanusiaan karena tidak ada hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

            Apalagi di babak akhir, penonton hanya disuguhkan cerita tentang anak Bi Ijah yang dihukum karena mencuri buah coklat di perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia. Tanpa sengaja kisah ini harus dihadapi Bi Ijah saat pulang ke kampung halaman. Ia harus menuntut keadilan bagi anak-anaknya.
Penyelesaian kasus tersebut dalam Film Lima coba memihak sisi hukum yang melindungi masyarakat golongan ke bawah. Adegan debat di ruang sidang menjadi konflik yang coba dilirik, meski tidak semua dialog terasa menarik. Toh, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih kurang kuat tergambar dalam adegan di akhir ini.

            Secara keseluruhan, film Lima tidak pernah menggurui penonton. Karakter antagonis dan protagonis dibentuk sebagai bentuk pertentangan yang memiliki hubungan sebab akibat. Keberanian Film Lima dalam mengambil sudut pandang masalah diusahakan menjadi lebih netral. Ada isu politik yang digulirkan, tapi tak memihak lawan politik yang penuh intrik. Dari persoalan yang dihadapi oleh keluarga multikultural ini, solusi hanya satu yaitu kembali pada dasar negara yang kita akui sejak dahulu, PANCASILA.

Pancasila yang dicetuskan Bung Karno

Pancasila dasar negara

Rakyat adil makmur sentosa

Pribadi bangsaku

Ayo maju, maju

Ayo maju, maju

Ayo.. maju, maju


            Setelah melihat beberapa adegan yang merepresentasi pengamalan nilai-nilai dari Pancasila, Blogger Eksis terus merenung tentang kebhinekaan yang terjadi dan sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Film Lima mampu menempatkan arti penting toleransi dan apresiasi terhadap kemajemukan bangsa Indonesia. Krisis penghayatan terhadap Pancasila sudah mulai luntur. Jika terus tergerus dengan ideologi asing, maka harapan Indonesia damai di masa datang bagai sebuah tantangan yang harus pudar begitu saja.

            Intinya, kita harus tetap saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Bukankah sejak dahulu kala, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir selalu memandang suatu perbedaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai suatu keniscayaan yang langka sehingga membentuk kekuatan bangsa. Apa guna kalau perbedaan yang ada dipermasalahkan sehingga menyebabkan konflik Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan. Semua itu hanya menimbulkan kegelisahan dan kekacauan yang tak pernah berujung akhirnya.

          Bukankah semua agama tidak menganjurkan umatnya untuk saling membenci. Agama itu bagai pedoman hidup kita untuk menjadi insan yang selalu memaknai arti kesucian dalam diri atau fitri agar semua bisa saling mengasihi. Toh, dalam agama juga banyak paham yang berbeda namun hal itu yang bisa membuat kehidupan beragama menjadi lebih indah.

Ideologi Pancasila

            Sekarang waktu untuk mewujudkan Pancasila yang tidak terbatas pada ideologi ilmu pengetahuan semata. Garuda Pancasila itu bukan hanya sebatas simbol. Teks pancasila juga bukan kalimat yang harus dihafalkan.

      Blogger Eksis punya 4 kiat untuk menjaga dan merawat keberagaman dengan Pancasila:
1. Meningkatkan intensitas pembinaan pemahaman Pancasila
2. Mengembangkan inklusivitas, bermakna memberi dan menerima
3. Menjadikan Pancasila sebagai sumber kreasi dan prestasi
4. Memasukkan nilai-nilai Pancasila dalam problematika yang ada di masyarakat

Jadi, Pancasila harus menjadi jiwa dari perilaku kita di kehidupan sehari-hari. Resapi dan pahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya, niscaya egosentris kita bisa melebur jadi satu.  Hentikan ujaran kebencian yang radikal apalagi mengatasnamakan agama agar segala bentuk perpecahan, kejahatan, dan ketidakadilan tak perlu terjadi lagi di Indonesia. Esensi film Lima hadir bukan untuk sebuah narasi kebangsaan tentang intoleransi atau terorisme. Lebih dari itu, ada fragmen visual positif yang menginginkan negara Indonesia tetap maju berlandaskan PANCASILA.

Monumen Insinyur Soekarno di Jakarta Fair Kemayoran

"Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun yang sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia." (Ir. Soekarno)

4 komentar:

  1. Waw..ulasannya mantap banget kaa..mulai dari bagaimana melihat kaitan per adegan dengan sila pancasila...keren euy..Kiat Kiat nya juga oke punya.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungannya.

      Semoga bisa diamalkan yaa kiat-kiatnya*

      Hapus
  2. Di film "Lima" paling suka sama perannya Fara yang diperankan oleh Prisia Nasution. Selain emang manis, Fara memegang peranan penting juga sih dalam film. Btw, semoga semakin banyak ya film yang bercerita tentang pancasila.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju!

      Prisia Nasution ibarat scene stealer yaa.

      #BloggerEksis mah udah suka sama akting doi pas Film Sang Penari.

      Semoga intisari dari film Pancasila bisa kita amalkan bersama yaa*

      Hapus