Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Trilogi 99 Cahaya di Langit Eropa ; Film Religi Kurang Esensi dan Sinergi

Film adalah wahana untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita. Film juga merupakan medium ekspresi artistik sebagai suatu panca indera bagi para seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan gagasan-gagasan dan ide cerita. Mulai dari kisah cinta yang menggelora, kisah cita-cita yang menggebu, dan kisah cipta yang menginspirasi. Semua telah dihadirkan para sineas perfilman dengan rasa yang berbeda.
Berkembangnya dunia sinema Indonesia hingga tahun 2014 telah menghasilkan berbagai genre film. Selain sebagai hiburan ternyata film mengandung nilai atau pesan yang terkandung didalamnya sehingga memiliki banyak penikmat dan penggemarnya masing-masing. Beberapa film di Indonesia yang menjadi karya dari sutradara-sutradara ternama juga diangkat dari beberapa novel yang laris dipasaran atau menjadi best seller. Film-film tersebut mampu eksis ditengah persaingan dunia industri perfilman nasional. Misalnya, Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam), Laskar Pelangi (Mira Lesmana-Riri Riza), Sang Pemimpi (Riri Riza), Edensor (Benni Setiawan), Negeri 5 Menara (Affandi Abdul Rachman), 5 cm (Rizal Mantovani), Perahu Kertas (Hanung Bramantyo), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Sunil Soraya), dan Marmut Merah Jambu (Raditya Dika) berhasil mencetak rekor penonton tertinggi.
            Meski memiliki dimensi yang berbeda, novel dan film saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Banyak film-film berkualitas yang diadaptasi dari sebuah novel menjadi laris. Tak jarang, film hasil adaptasi novel mendapatkan sambutan yang sama baik dengan novel yang bersangkutan. Tak dapat dipungkiri sukses suatu novel merambat pula kepada sukses suatu film untuk ditonton oleh masyarakat.
Salah satu contoh film adaptasi novel paling laris ditahun 2014 adalah film berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa. Film ini adalah sebuah film yang diangkat dari novel yang ditulis oleh Hanum Salsabela Rais, putri tokoh nasional Amien Rais. Cerita dalam novel tersebut ditulis bersama suaminya, Rangga Almahendra dan diterjemahkan kembali ke dalam sebuah bentuk skenario oleh Alim Sudio. Kisah ini berdasarkan pada pengalaman Hanum dan Rangga selama 3 tahun tinggal di benua biru.
Sesungguhnya novel dan film itu tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Alasannya, karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Begitu juga yang terungkap dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa. Jika kita lihat dari segi kelengkapan cerita, sangat terlihat cerita yang ditampilkan dalam film tidak selengkap yang telah tertulis dalam novelnya. Beberapa penjelasan-penjelasan tentang sejarah Islam tidak mampu divisualisasikan secara detail dalam film ini. Seharusnya hal-hal tersebut bisa menjadi tantangan tersendiri bagi sineas perfilman Indonesia.
Meskipun demikian, film 99 Cahaya di Langit Eropa bisa menjadi tontonan yang memuat pesan toleransi yang sangat indah. Padahal, film-film Indonesia sudah sangat jarang menampilkan film yang berisi dan memberikan pesan yang mengandung unsur edukasi kepada masyarakat. Film 99 Cahaya di Langit Eropa berusaha membuat energi baru dengan mengungkap pesan-pesan yang mendidik dan berdampak pada publik terutama dalam segi religi yang saling mengasihi.
            Tema film ini bercerita tentang pengalaman sejarah dan peradaban umat manusia di negeri orang dalam mempertahankan keyakinan, cinta, dan prinsip di tengah sekulerisme Eropa yang dibalut dengan persahabatan dan pengungkapan misteri peradaban Islam. Unsur penciptaan karya film bernuansa religius dibuat dengan konflik, penokohan, dan wadrobe yang pas. Namun, konflik terkesan sederhana dan datar karena hanya berusaha menerjemahkan bahasa kata-kata ke dalam sebuah visual yang membuat penonton harus menafsirkan sendiri. Tidak ada dramaturgi yang terbentuk dalam film ini sehingga banyak orang menilai bahwa film ini adalah sebuah film semi dokumenter atau film sejarah Islam yang mencoba mengislamisasi diri.
Konflik ketika kaum urban sulit mendapatkan pekerjaan di Eropa, konflik batin ketika sosok Rangga harus memilih antara mengikuti ujian studi akhir atau melaksanakan ibadah sholat Jum’at, dan konflik antara Hanum dan tetangganya yang terganggu hanya karena bau ikan asin dan suara televisi yang berisik. Ketiga konflik tersebut terkesan dipaksakan dalam setiap adegan sehingga terlihat janggal atau aneh bahkan bisa menimbulkan makna ambigu. Seharusnya, hal-hal yang mengungkapkan pertentangan atau konflik dalam sebuah film yang menyangkut perbedaan pendapat dan nilai biasanya lebih disukai oleh penonton. Film ini pun kehilangan esensinya.
Esensi sebuah film adalah rangkaian gambar (visual). Untuk memahami makna yang terkandung di dalam gambar hasil rekaman (video) tidaklah mudah. Kendatipun seseorang merasa mengerti tentang sesuatu yang terdapat di dalam gambar, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dipahami. Maka, sebuah gambar menjadi sangat tergantung kepada siapa yang menginterpretasikan. Penonton yang melihat gambar tertentu akan menginterpretasikan gambar tersebut menurut pikirannya yang didasari oleh pengalaman hidupnya atau pola pikirnya hingga mempunyai kesan tertentu.
Beberapa adegan dalam film juga digambarkan dengan penggunaan dialog yang membuat penonton harus berpikir dengan logika. Misalnya dialog dua orang asing yang menganggap roti croissant sebagai bentuk dari bendera Turki yang jika dimakan sama saja dengan menghina muslim. Lalu, ada juga dialog seorang dosen yang berusaha menafsirkan makna bismillah saat Rangga meminta izin untuk mengubah waktu ujiannya yang bentrok dengan ibadahnya. Dialog dalam dua adegan tersebut memang mengalir, namun penonton harus mampu mencerna kata demi kata yang terucap oleh pelakunya karena visual adegan dibuat dengan potongan gambar yang biasa saja, tanpa ada suspence atau punching line.
            Namun, Film 99 Cahaya di Langit Eropa cukup berhasil sebagai film yang menyampaikan informasi mengenai jejak-jejak agama Islam di benua Eropa. Film ini membawa kita untuk memahami sejarah kejayaan Islam di tanah Eropa tanpa terkesan menggurui. Melalui film ini kita menelusuri sejarah Islam di Eropa terutama dari masa Dinasti Umayyah dan Ustmaniyyah. Kita mampu melihat jatuh bangun peradaban Islam yang pernah menyinari daratan Eropa. Disamping itu, kita juga dapat menyimak perjalanan Fatma Pasha. Sosok imigran dari Turki yang menjadi sahabat Hanum untuk mencari kehidupan yang lebih baik sekaligus menyebarkan cahaya Islam dan menghapus stereotipe negatif tentang Islam yang sudah mengakar kuat di Eropa. Energi sejarah islam yang masih kurang dalam film ini ialah tentang sosok Kara Mustafa Pasha yang hanya selintas diceritakan dan membuat penonton terus bertanya-tanya siapakah sosok beliau yang mampu memberi pengaruh dalam Islam.
Kita harus mengakui bahwa menonton film ini lebih seperti melihat kembali ensiklopedi kemegahan Eropa dan sejarah Islam dibandingkan dengan mengajak penonton untuk turut serta merasakan apa yang para tokohnya rasakan. Logisnya, film ini memang seperti dibuat dari sudut pandang sang penulis novelnya. Esensi cerita pun justru menjadi bias dan kosong. Konflik-konflik dalam cerita berusaha diungkap dan ditampilkan melalui sejumlah monolog yang dilakukan oleh tokoh Hanum. Namun, penggarapannya terkesan kurang rapi karena cerita yang tersaji tidak mampu mengikat emosi penonton.
Film yang mengambil lokasi syuting di empat negara Eropa: Vienna (Austria), Paris (Perancis), Cordoba (Spanyol), dan Istanbul (Turki) juga unggul dalam sisi sinematografi karena berhasil menampilkan unsur visual panorama kota-kota tersebut menjadi magnet tersendiri bagi penonton. Ketajaman gambar dan corak penggambarannya mampu menggugah penonton untuk mengunjungi empat kota itu. Walaupun harus kita akui establish shot yang ditampilkan tampak terlalu banyak. Entah untuk memperpanjang durasi atau memang strategi pasar pemilik modal yang membiayai film ini menjadikan sebuah lahan promosi pariwisata tersendiri.
Sisipan adegan-adegan iklan juga sedikit mengganggu jalan cerita. Adegan dibuat demi komersial semata seperti kebanyakan film-film Indonesia lainnya. Tidak tercipta dalam suatu makna yang memiliki unsur drama. Untung saja, pihak sponsor yang terlibat dalam produksi film ini tidak terlalu banyak sehingga masih terlihat sewajarnya walaupun tidak tergarap secara memuaskan. Seperti adegan pengambilan uang di ATM yang dilakukan oleh Rangga.
Unsur-unsur lain yang juga tampak mengganggu dalam film ini ialah editing subtitle dialog yang kurang rapi. Pada film ini juga tidak diceritakan latar belakang beberapa karakter orang asing yang ternyata bisa berbahasa Indonesia dengan fasih seperti Fatma Pasha dan Ayse dari Turki, Marion Latimer dari Perancis, Khan dari Pakistan, serta Maarja dan Stefan. Memang sulit memaksakan para aktor atau aktris untuk menguasai bahasa asing sesuai perannya masing-masing, namun jika para sineas berhasil menggarapnya, maka film ini akan berpeluang untuk dikenal lebih luas di mancanegara atau go international.
Pada akhirnya, sinergi antar semua unsur yang tergabung dalam film ini memang bertumpu pada cerita. Materi cerita novel 99 Cahaya di Langit Eropa memang terlalu luas untuk dimuat dalam satu kisah visual. Namun, banyak penonton beranggapan bahwa materi cerita tersebut memiliki nilai komersial yang tinggi sehingga para produser memutuskan untuk produksi sekuel film 99 Cahaya di Langit Eropa menjadi dua bagian. Ada 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 dan 99 Cahaya di Langit Eropa Final Edition. Kondisi demikian sudah menjadi strategi marketing tersendiri para pemilik modal. Tetapi, penonton pun banyak yang merasakan tidak mencapai klimaks untuk menonton film ini. Sinergi film ini pun seakan sirna di sekuel-sekuel film berikutnya.
Jika 99 Cahaya di Langit Eropa terkesan berusaha untuk tampil dengan kisah yang lebih luas tentang suatu perjalanan religi, maka 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 jelas dapat dirasakan sebagai sebuah bagian penceritaan yang lebih personal. Meskipun beberapa konflik yang dihadirkan kurang mampu terasa esensial dan gagal bersinergi pada unsur sinematografi dari sekuel film ini sebelumnya.
99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 hanya memberi fokus yang lebih kuat pada kisah kehidupan kedua peran utama dalam film ini, yaitu Hanum dan Rangga dalam sebuah narasi. Penonton hanya disuguhkan dengan kualitas akting yang cukup meyakinkan dari sisi teknikal serta penampilan para pemeran, 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2. Tidak begitu banyak yang bisa kita apresiasi untuk sekuel ini, namun setidaknya sineas mulai melakukan perbaikan kualitas yang lebih layak untuk suatu tontonan sebuah film.

Pada akhirnya, menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa akan membawa kita untuk merasakan suatu cerita perjalanan spiritual yang telah dialami oleh Hanum dan suaminya. Kita bisa merasakan bahwa kita masih jarang membuka mata untuk melihat dunia dan segala isinya, terutama yang berkaitan dengan ajaran keagamaan. Perjalanan yang terekam dalam film tersebut harus mampu membawa penonton untuk naik ke derajat yang lebih tinggi dalam memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Meskipun, jenis film religi ini masih belum tampak esensi dan sinergi yang memadai.

Perspektif Neophilia VS Perspektif Pesimis Budaya terhadap New Media

Menurut Curran dan Seaton (2003), dua perspektif mendominasi perdebatan tentang media baru di Inggris, yaitu Perspektif Neophiliac dan Perspektif Pesimis Budaya.

Dari 2 perspektif tersebut, Blogger Eksis lebih condong ke Perspektif Neophiliac.

Alasannya, karena saya termasuk dalam golongan individu Neophilia.

 
          Neophilia berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri atas dua kata yaitu neo (baru) dan philia (cinta). Secara harfiah, neophilia dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap hal baru.  Secara logika, seseorang yang memiliki kecintaan terhadap sesuatu hal, maka ia akan cenderung berusaha mencari hal tersebut untuk mendapatkannya. Demikian juga dengan orang yang memiliki kecintaan terhadap hal baru (neophilia). Baik secara sengaja ataupun tidak, mereka juga akan memiliki kecenderungan untuk mencari hal-hal baru tersebut. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kepuasannya sebagai bentuk aktualisasi id yang bersifat irasional.

          Biasanya, seseorang dengan kepribadian neophilia memiliki kecenderungan untuk bahagia karena mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang dinamis dan terus menghadirkan segala hal yang baru. Selain itu, para neophiliacs cenderung selalu menginginkan pengalaman yang baru dalam hidupnya karena mereka cenderung mudah bosan dengan apa yang dialami atau dimilikinya saat ini. Terdapat beberapa faktor yang mengindikasikan seseorang dianggap memiliki kecenderungan neophilia atau tidak. Faktor-faktor tersebut meliputi penerimaan terhadap perubahan sosial, nostalgia, kebiasaan yang unik, adanya perubahan secara personal, keberanian untuk mengambil resiko, dan meremehkan sesuatu yang bersifat normatif. Kriteria-kriteria inilah yang menjadi dasar pengukuran terhadap individu apakah individu tersebut memiliki kecenderungan neophilia atau tidak.

            Dalam kaitannya terhadap New Media, perspektif neophiliac memandang New Media sebagai pembangkit rasa ingin tahu seseorang untuk mencari variasi dan perbedaan. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology/ICT) membuat arus globalisasi terasa makin deras mengalir ke seluruh penjuru dunia. Menghapus batas-batas ruang antar negara, bahkan menghapus batas jarak dan waktu.

          Perspektif neophiliacs mencoba mengungkap pengaruh positif dalam keberadaan New Media seperti kemajuan informasi yang mudah diperoleh sehingga mengakibatkan hampir dalam segala aspek kehidupan berkembang dalam waktu yang tidak lama. Ide-ide, informasi, gagaan, tulisan, karya atau bahan-bahan mentah yang dapat dimuat dalam New Media membuat hidup serba cepat, persaingan pun semakin ketat.

    Dilihat dari karakteristik new media diatas, tentu komunikasi virtual dapat dengan mudah terjadi. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan membuat manusia berkeinginan untuk dapat lebih memanfaatkannya. Salah satu kemudahan yang ditemukan di new media biasa disebut dengan istilah anything goes dalam dunia maya. Maksudnya, new media dalam dunia virtualnya menawarkan adanya ruang privat dan ruang publik. Namun semuanya diputuskan oleh individu sendiri (individual choice) sebagai pengguna apakah ingin menggunakan media ini untuk privasi identitasnya atau ingin serius go public.

         Inilah suatu fenomena yang dihadirkan dalam cyberspace yang menyediakan ruang-ruang sosial seperti dunia nyata. Ruang-ruang tersebut merupakan simulasi dari ruang sosial yang kita miliki di dunia nyata. Namun kedua ruang sosial tersebut memiliki karakteristik berbeda. Dalam ruang sosial dunia nyata kita akan memiliki kebersamaan yang bersifat sosial, solidaritas sosial dalam sebuah ruang atau tempat seperti kampung, dan didalamnya kita selalu dapat berkomunikasi secara face to face (tatap muka). Sebaliknya, interaksi kita tidak akan terasa kondisi demikian dalam ruang sosial. Kita harus memerlukan imajinasi kolektif didalam sebuah tempat yang imajiner menelusuri aliran bit-bit data dalam jaringan komputer. Itulah hakikat ruang sosial dalam cyberspace sebagai simulasi dari ruang sosial di dunia nyata. Sadar atau tidak sadar ruang-ruang dalam dunia cyber ini justru mempengaruhi ruang sosial di dunia nyata kita.

  Perspektif neophiliacs juga memandang new media sebagai sarana pemuas kebutuhan karena memberikan kemajuan dan perkembangan bagi kehidupan manusia. Kebutuhan akan akses dan koneksi yang lebih cepat dan murah sudah tidak perlu dicari lagi. Jaringan dan pergaulan yang luas dari new media akan mengizinkan manusia untuk dapat terhubung dengan komunitas atau masyarakat lain yang berbeda. Hal ini akan membuka pikiran dan pengetahuan masyarakat. Ditambah dengan hypertextual dari new media yang akan memperluas jendela informasi terhadap masyarakat. Selain itu, masyarakat akan lebih dituntut untuk aktif mencari dan mengembangkan diri. Tuntutan seperti ini diharapkan menjadi sebuah perubahan yang baik juga dalam masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya memegang keterikatan secara fisik dalam ruang dan waktu yang nyata kini secara perlahan telah berubah dan mengakui dirinya sebagai seorang Neophiliacs.

*Opini ini dibuat dalam Forum ke-7 untuk Mata Kuliah New Media & Society Format E-Learning Universitas Mercu Buana Program Kelas Karyawan Fakultas Komunikasi Jurusan Penyiaran.

Ketika Konotasi Pencitraan di Media Sosial Hanya Sebatas Eksistensi Bukan Sosialisasi

        Dewasa ini, arus informasi bisa dibilang mengalir kian deras. Aliran informasi mengalir dari satu sumber ke penerima dan kemudian mengalir lagi ke penerima berikutnya. Begitu seterusnya. Keadaan seperti ini memang tak bisa dihindari. Bisa dibilang hal ini adalah salah satu konsekuensi dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi di era globalisasi.

     Beberapa new media dengan teknologi canggih bermunculan dengan menawarkan segala informasi yang ada. Sebut saja, media sosial seperti internet yang telah dilengkapi search engine, jejaring sosial, blog, dan sebagainya. Informasi yang dapat kita peroleh dari media sosial tersebut tidak dipungkiri sangat berguna bagi kehidupan karena nilai informasi yang dihadirkan tergolong aktual.

Kumpulan Puisi dalam Film Ada Apa Dengan Cinta



 Aku Ingin Bersama Selamanya

Ketika tunas ini tumbuh
Serupa tubuh yang mengakar
Setiap nafas yang terhembus adalah kata
 
Angan, debur dan emosi
Bersatu dalam jubah terpautan
 
Tangan kita terikat
Lidah kita menyatu
Maka, setiap apa terucap adalah sabda pandita ratu
 
Ahh... diluar itu pasir 
diluar itu debu
Hanya angin meniup saja
Lalu terbang hilang tak ada
 
Tapi kita tetap menari
Menari, cuma kita yg tau
 
Jiwa ini tandu 
maka duduk saja

Maka akan kita bawa
Semua
Karena..
Kita...
Adalah....
SATU.

(Puisi dibuat oleh Rako Prijanto -Asisten Sutradara Film AADC-. Divisualisasikan di adegan awal film saat Alya -Teman Cinta- sedang bercerita tentang masalah keluarganya. Cinta & the gank pun mencoba menghibur Alya dengan puisi yang dibuat oleh Cinta untuk mengikuti kompetisi lomba puisi tahunan di sekolahnya.)
I Want to be Together Forever

When this bud grows
like a body taking root
Every breath taken is a word

Imaginings, sounds, emotions mingle together
weaving one robe around us

Our hands join
Our lips form in unicorn
Every word we say is the command of the high priestess

Ahh.. . The rest is sand
The rest is dust
Only the sand blows
then swirls, and disappears

But, we still dance
A dance that only we know

Our souls are like a palanquin

So just take a seat
and we will take 
All
because
we
are 
ONE
----------------------------

Bosan

Ku lari ke hutan 
kemudian menyanyiku
Ku lari ke pantai 
kemudian teriakku

Sepi, sepi dan sendiri
Aku benci
 
Aku Ingin bingar
Aku mau di pasar
 
Bosan aku dengan penat
dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga
jika ku sendiri

Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh
 
Oh... Ada malaikat menyulam
jaring laba-laba belang
di tembok keraton putih

Kenapa tak goyangkan saja loncengnya
biar terdera

Atau aku harus lari ke hutan
belok ke pantai .........

(Puisi ini dibuat oleh Rako Prijanto -Asisten Sutradara Film AADC-. Divisualisasikan sebagai puisi yang dibuat oleh Rangga dan dikirimkan oleh Mang Diman -Penjaga Sekolah Gonzaga- untuk mengikuti kompetisi lomba puisi tahunan di sekolahnya.)

Bored

I run to the forest
and then I sing
I run to the beach
and shout out loud

It is so quiet
I hate being quiet and alone

I want to be noisy
I want to be at a market

I'm bored with being tired
I feel covered with soot if I'm alone

Just break the glass to make a noise!
Let them thowl, until there is a tumult!

Oh... . I can see an angle weaving a striped spider's web
on the wall of a white palace

Why not just swing the bell, until it winces!

Or should I run to the forest 
turn to the beach.
-----------------------------

Ada Apa Dengan Cinta



Perempuan datang atas nama cinta

Bunda pergi karena cinta

digenangi air racun jingga

adalah wajahmu seperti bulan

Lelap tidur di hatimu

yang berdinding kelam dan kedinginan


‘Ada Apa dengannya ... . ?’

Meninggalkan hati untuk dicaci


Lalu sekali ini aku lihat

karya surga dari mata seorang hawa . .


Ada Apa Dengan Cinta?



Tapi, aku pasti akan kembali

Dalam satu purnama

Untuk mempertanyakan kembali cintanya . .



Bukan untuknya, bukan untuk siapa . . .

Tapi, untukku ...

Karena aku ingin kamu . . .

Itu saja . 

(Puisi ini dibuat oleh Rako Prijanto -Asisten Sutradara Film AADC-. Divisualisasikan sebagai puisi yang ditulis oleh Rangga dan diberikan kepada Cinta di adegan akhir Film AADC).

What's wrong with LOVE ?

A woman comes in the name of Love
A mother leaves because of Love suffused with an orange poison,.
Your face is like a moon
Sound asleep in your heart
Walled in by darkness and cold

What is the matter with them?
Leaving one's heart to be scorned

And for once I witness heavens work through the eyes of Eve..

What's wrong with LOVE ?

And i will surely return when the moon is full
To ask again for her love,
Not for her, not for anyone
But for myself because I want You
And that is all.

KUMPULAN PUISI INI GW TULIS KEMBALI SEBAGAI APRESIASI GW TERHADAP FILM ADA APA DENGAN CINTA YANG FENOMENAL. FILM INI JUGA MENJADI REFERENSI GW DALAM MEMBUAT MATERI PRESENTASI TUGAS MAKALAH TENTANG KOMUNIKASI KELOMPOK DI MATA KULIAH TEORI KOMUNIKASI PROGRAM KELAS KARYAWAN - UNIVERSITAS MERCU BUANA-

Regulasi Jurnalisme Online untuk Citizen Journalism yang Kredibel

Menurut Blogger Eksis, jurnalisme online merupakan wadah praktis bagi para penyaji atau pencari berita di era new media. Lebih akurat, lebih cepat, dan lebih mudah menjadi keunggulan jurnalisme online dibanding dengan media konvensional sehingga tidak heran jika varian media modern ini marak diperbincangkan bahkan digunakan semua kalangan.
 
Permasalahan yang kemudian timbul dengan adanya jurnalisme online adalah bagaimana keakuratan atau kredibilitas pemberitaannya? Bagi aku, jurnalisme online masih terlalu lemah untuk dikatakan sebagai jurnalisme profesional yang memiliki kualitas unggul. Hal ini disebabkan karena jurnalisme online tidak memiliki idealisme dan kebebasan implementasi terlihat jelas melewati batas.