Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Berawal dari Pengangguran, Menuju pada Wirausahawan

Berawal dari penggangguran menuju wirausahawan
          Negara Republik  Indonesia telah memperoleh kemerdekaan melalui perjuangan gigih yang dilakukan oleh para pahlawan. Kita sebagai warga negara Indonesia harus mengisi kemerdekaan ini dengan melaksanakan pembangunan disegala aspek kehidupan. Gerakan roda pembangunan yang dilakukan membutuhkan tenaga kerja sebagai modal utama. Jumlah dan komposisi tenaga kerja tersebut akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsung proses demografi (kependudukan).

Fenomena Simlacrum

'Simulation is characterized by a precession of the model, of all models around the merest fact the model come first. Facts no longer have any trajectory of their own, they arise at the intersection of the models; a single fact may even be engendered by all the models at once. Simulation is no longer that of a territory, a referential being or a substance. It is the generation by models of a real without origin or reality; a hyperreal. The territory no longer precedes the map, nor survives it. Henceforth, it is the map that precedes the territory precession of simulacra it is the map that engenders the territory and if we were to revive the fable today, it would be the territory whose shreds are slowly rotting across the map. It is the real, and not the map, whose vestiges subsist here and there, in the deserts which are no longer those of the Empire, but our own. The desert of the real itself' (Baudrillard, 1983:32)


         Jean Baudrillard dalam buku Simulations (1983) yang diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris mengintrodusir sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat barat dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.
Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan terjalin untuk membentuk satu kesatuan. Tidak lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang palsu atau yang semu. Semua menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat barat dewasa ini. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia yang terbangun dari serangkaian nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri. Jadi, simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung.
Simulacra tidak memiliki acuan karena merupakan bagian duplikasi dari duplikasi, sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi dikenali, mana hasil produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.
Menurut Baudrillard[1], terdapat tiga tingkatan simulacra. Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Dalam tingkatan ini, realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip hukum alam, dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda yang diproduksi dalam orde ini adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk mempertahankan struktur dunia yang alamiah. Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri simulacra tingkat pertama adalah prinsip representasi.
Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Objek kini bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi mekanik, prinsip komoditi dan produksi massa menjadi ciri dominan era simulacra tingkat kedua.
Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggap nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah.
Realitas sosial, budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model[2]. Boneka Barbie, tokoh Rambo, selebritis syahrini, film india, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai era simulasi.
Sebagai contoh, wacana simulasi yang menjadi ruang pengetahuan telah dikonstruksikan oleh iklan televisi, di mana manusia mendiami suatu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang palsu, menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam dunia maya dan khayal. Media lebih nyata dari pengetahuan sejarah dan etika, namun sama-sama membentuk sikap manusia.
Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Semua yang terlihat hanyalah campur aduk diantara semuanya.
            Dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan padanya. Dalam bukunya In The Shadow of the Silent Majorities (1982), Baudrillard menganalogikan kumpulan massa yang diam ini sebagai lubang hitam, black hole, dimana berbagai hal informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral, nilai agama terserap ke dalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga.
            Kenyataannya, sifat simulasi dalam media televisi telah mampu menyuntikkan makna yang seolah-olah ada pada kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi atau realisme semu. Film, berita, telenovela, video clip, iklan, tayangan olahraga, talk show ataupun tayangan kesenian tradisional ditonton sebagai tontonan yang semata untuk dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir kritis. 
         Dalam ruang semu televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek otonom yang dapat memilih atau menyeleksi suguhan apa yang akan ditontonnya. Mereka dapat memindahkan dan menciptakan realitas dari tayangan yang satu ke tayangan lain tanpa adanya referensi tunggal yang saling berkaitan. Dari berita politik tentang kenaikan BBM, ke sinetron-sinetron bernuansa Bollywood, lalu berpindah lagi ke film drama Inggris yang bersetting abad ke-18 M, kemudian menonton kembali tayangan video clip Katy Perry, lalu kembali menyaksikan berita gempa bumi di Nepal dan seterusnya. Ruang dan waktu seolah terlipat dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat fragmentasi dalam dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong, durasi pendek atau panjang, berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai oleh mitos tentang subjek yang otonom. Padahal, menurut Baudrillard, semua ini hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi kapitalisme demi produksi dan konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada[3]. Penonton, dalam wacana televisi, tak lebih dari objek mengalirnya berbagai fakta, citra, impian dan fantasi, tanpa memiliki jati diri yang hakiki, sebuah terminal dari berbagai jaringan tanda-tanda.
            Dalam wacana televisi, penonton dengan demikian tak lebih dari sekumpulan mayoritas yang diam[4]. Itulah mengapa tayangan siaran langsung sepakbola tetap ditunggu dan ditonton meskipun harus menunggu hingga tengah malam. Menurut Baudrillard, hal ini karena televisi sama sekali tidak berpretensi menawarkan makna luhur atau transenden, kecuali ecstasy dan kedangkalan ritual.
Kebudayaan industri di atas menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra). Hal ini membuat kita kerap kali berani dan ingin mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi (membeli, memilih, bekerja dan sebagainya). Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”. Jean Baudrillard membantah bahwa kebudayaan postmodern kita adalah dunia tanda-tanda yang membuat hal yang fundamental – mengacu pada kenyataan – menjadi kabur atau tidak jelas.
            Dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1976) Baudrillard menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi, telah terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini yakni dari nilai guna dan nilai tukar ke nilai tanda dan nilai simbol. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai guna dan nilai tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini.
            Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai tanda dan nilai simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Jika dikaitkan dengan pernyataan Marx, terdapat dua nilai tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Nilai guna merupakan nilai asli yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Inilah nilai yang mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai tukar. Nilai tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai tukarnya.
            Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi, film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam keterkaitan tanda[5].
            Simulasi akan menciptakan suatu kode, yaitu cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain[6]. Dalam dunia simulasi, identitas seseorang tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya diatur oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak dan memahami lingkungannya.
           Saat ini, hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat timur telah dipengaruhi oleh masyarakat barat yang dituntun oleh logika ekonomi kapitalis yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan konstan. Dalam keadaan demikian, persoalan gaya hidup, mode dan penampilan menjadi nilai baru yang menggantikan nilai kebijaksanaan, kearifan dan kesederhanaan. Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyper reality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.




[1] Jean Baudrillard. Simulations. New York: Telos Press. 1983 hal 54-56

[2] Jean Baudrillard. Cool Memories. New York: Telos Press. 1987 hal 17

[3] Ibid. 16

[4] Baudrillard, op.cit., 19.

[5] Baudrillard, op.cit., 33.


[6] Yasraf Amir Piliang. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan. 1998 hal 13

Ada Apa Dengan Cinta 2 ; Terjebak Nostalgia dalam Kisah Cinta yang Seperti Itu Saja



    Kejutan besar dari dunia perfilman Indonesia saat ini datang dari sebuah film berjudul Ada ApaDengan Cinta 2. Jarak ratusan purnama yang dinanti oleh jutaan mata tentang kisah Cinta dan Rangga yang pernah menghias layar lebar hingga layar kaca kembali menggema. 

     Dulu, saat menonton film ini, Blogger Eksis masih berseragam putih biru dengan wajah nan lugu. Sekarang, saat menonton, saya juga berseragam kantor putih biru namun sudah mampu menyimak adegan demi adegan yang penuh haru dengan nuansa rindu.

Ketika Teknologi Tersinkronisasi di Kota Cirebon yang Memikat Hati


                 Di wilayah Jawa, khususnya provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan pengguna mobile data tertinggi di Indonesia. Selain Bandung, kota Cirebon mulai dikenal sebagai kota yang memiliki pertumbuhan industri kreatif yang maju secara signifikan sehingga membutuhkan koneksi internet cepat dan stabil untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
penampakan kota cirebon yang memikat
            Tepat, pada bulan Agustus lalu, Smartfren secara resmi meluncurkan layanan 4G LTE. Smartfren telah melakukan test-drive di beberapa wilayah yang sudah dijangkau jaringan 4G LTE sekitar daerah Cirebon. Pihak Smartfren melakukan edukasi terhadap penduduk kota Cirebon agar Cirebon mampu membuktikan diri menjadi Smart City.

Nikmati Sensasi Belanja Online di Elevenia*



Hey, bloggers 

Akhir-akhir ini, Blogger Eksis kena virus online shopping syndrome. Yah, karena kemudahan mengaksesnya, jadi tinggal browsing, klik sana sini sambil cari yang pas dihati, bayar dengan cara yang beragam dan langsung dateng deh ordernya seketika. Semua itu tanpa perlu mengeluarkan tenaga dan waktu yang sia-sia. Apalagi hidup di kota megapolitan kaya Jakarta, kadang kalo harus ke mall untuk shopping, kelamaan diperjalanan dibanding belanjanya. Iya kan?... Seharusnya Jakarta itu bukan kota megapolitan, tapi kota kemacetan.

Efektivitas Komunikasi

         
cara agar efektivitas komunikasi lebih berisi
Tips cerdas berkomunikasi
        Menurut Blogger Eksis, komunikasi itu bagian dari interaksi sosial. Interaksi dalam hal ini adalah saling bertukar informasi atau pesan. Contoh sederhana seorang berbicara kepada temannya mengenai sesuatu, kemudian teman yang mendengar memberikan reaksi atau komentar terhadap apa yang sedang dibicarakan itu. Aktivitas komunikasi seperti itu senantiasa disertai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Hidup Tujuan Saya (HTS)


Tujuan hidup Blogger Eksis
Dalam setiap diri setiap manusia, tentu manusia mempunyai berbagai macam tujuan. Ada tujuan yang bersifat Duniawi dan ada juga tujuan yang bersifat Ukhrowi atau Akhirat...

Berikut ini Blogger Eksis akan mengemukakan tujuan hidup setelah seperempat abad saya hidup di dunia ini. Dan bagian ini akan menjadi fragmen dari proses perjalanan hidup saya untuk membentuk suatu kisah hidup di episode-episode berikutnya . . .


Pertama, saya harus menjadi sarjana lulusan ilmu komunikasi. Bagi saya, Pendidikan ialah proses pengembangan diri. Suatu proses yang dapat membina nilai-nilai kehidupan menjadi unsur tata kelakuan yang terpuji. Ilmu yang telah saya pelajari, harus segera saya sebarkan ke masyarakat agar saya bisa menjadi sosok yang bermanfaat untuk orang lain dan menciptakan hablumminannas(hubungan antar sesama manusia). Bekal pendidikan yang saya peroleh juga akan menjadi pedoman untuk mewujudkan cita-cita saya.




"Pendidikan bukan persiapan untuk hidup

Pendidikan adalah hidup itu sendiri"

Trilogi 99 Cahaya di Langit Eropa ; Film Religi Kurang Esensi dan Sinergi

Film adalah wahana untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita. Film juga merupakan medium ekspresi artistik sebagai suatu panca indera bagi para seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan gagasan-gagasan dan ide cerita. Mulai dari kisah cinta yang menggelora, kisah cita-cita yang menggebu, dan kisah cipta yang menginspirasi. Semua telah dihadirkan para sineas perfilman dengan rasa yang berbeda.
Berkembangnya dunia sinema Indonesia hingga tahun 2014 telah menghasilkan berbagai genre film. Selain sebagai hiburan ternyata film mengandung nilai atau pesan yang terkandung didalamnya sehingga memiliki banyak penikmat dan penggemarnya masing-masing. Beberapa film di Indonesia yang menjadi karya dari sutradara-sutradara ternama juga diangkat dari beberapa novel yang laris dipasaran atau menjadi best seller. Film-film tersebut mampu eksis ditengah persaingan dunia industri perfilman nasional. Misalnya, Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam), Laskar Pelangi (Mira Lesmana-Riri Riza), Sang Pemimpi (Riri Riza), Edensor (Benni Setiawan), Negeri 5 Menara (Affandi Abdul Rachman), 5 cm (Rizal Mantovani), Perahu Kertas (Hanung Bramantyo), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Sunil Soraya), dan Marmut Merah Jambu (Raditya Dika) berhasil mencetak rekor penonton tertinggi.
            Meski memiliki dimensi yang berbeda, novel dan film saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Banyak film-film berkualitas yang diadaptasi dari sebuah novel menjadi laris. Tak jarang, film hasil adaptasi novel mendapatkan sambutan yang sama baik dengan novel yang bersangkutan. Tak dapat dipungkiri sukses suatu novel merambat pula kepada sukses suatu film untuk ditonton oleh masyarakat.
Salah satu contoh film adaptasi novel paling laris ditahun 2014 adalah film berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa. Film ini adalah sebuah film yang diangkat dari novel yang ditulis oleh Hanum Salsabela Rais, putri tokoh nasional Amien Rais. Cerita dalam novel tersebut ditulis bersama suaminya, Rangga Almahendra dan diterjemahkan kembali ke dalam sebuah bentuk skenario oleh Alim Sudio. Kisah ini berdasarkan pada pengalaman Hanum dan Rangga selama 3 tahun tinggal di benua biru.
Sesungguhnya novel dan film itu tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Alasannya, karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Begitu juga yang terungkap dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa. Jika kita lihat dari segi kelengkapan cerita, sangat terlihat cerita yang ditampilkan dalam film tidak selengkap yang telah tertulis dalam novelnya. Beberapa penjelasan-penjelasan tentang sejarah Islam tidak mampu divisualisasikan secara detail dalam film ini. Seharusnya hal-hal tersebut bisa menjadi tantangan tersendiri bagi sineas perfilman Indonesia.
Meskipun demikian, film 99 Cahaya di Langit Eropa bisa menjadi tontonan yang memuat pesan toleransi yang sangat indah. Padahal, film-film Indonesia sudah sangat jarang menampilkan film yang berisi dan memberikan pesan yang mengandung unsur edukasi kepada masyarakat. Film 99 Cahaya di Langit Eropa berusaha membuat energi baru dengan mengungkap pesan-pesan yang mendidik dan berdampak pada publik terutama dalam segi religi yang saling mengasihi.
            Tema film ini bercerita tentang pengalaman sejarah dan peradaban umat manusia di negeri orang dalam mempertahankan keyakinan, cinta, dan prinsip di tengah sekulerisme Eropa yang dibalut dengan persahabatan dan pengungkapan misteri peradaban Islam. Unsur penciptaan karya film bernuansa religius dibuat dengan konflik, penokohan, dan wadrobe yang pas. Namun, konflik terkesan sederhana dan datar karena hanya berusaha menerjemahkan bahasa kata-kata ke dalam sebuah visual yang membuat penonton harus menafsirkan sendiri. Tidak ada dramaturgi yang terbentuk dalam film ini sehingga banyak orang menilai bahwa film ini adalah sebuah film semi dokumenter atau film sejarah Islam yang mencoba mengislamisasi diri.
Konflik ketika kaum urban sulit mendapatkan pekerjaan di Eropa, konflik batin ketika sosok Rangga harus memilih antara mengikuti ujian studi akhir atau melaksanakan ibadah sholat Jum’at, dan konflik antara Hanum dan tetangganya yang terganggu hanya karena bau ikan asin dan suara televisi yang berisik. Ketiga konflik tersebut terkesan dipaksakan dalam setiap adegan sehingga terlihat janggal atau aneh bahkan bisa menimbulkan makna ambigu. Seharusnya, hal-hal yang mengungkapkan pertentangan atau konflik dalam sebuah film yang menyangkut perbedaan pendapat dan nilai biasanya lebih disukai oleh penonton. Film ini pun kehilangan esensinya.
Esensi sebuah film adalah rangkaian gambar (visual). Untuk memahami makna yang terkandung di dalam gambar hasil rekaman (video) tidaklah mudah. Kendatipun seseorang merasa mengerti tentang sesuatu yang terdapat di dalam gambar, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dipahami. Maka, sebuah gambar menjadi sangat tergantung kepada siapa yang menginterpretasikan. Penonton yang melihat gambar tertentu akan menginterpretasikan gambar tersebut menurut pikirannya yang didasari oleh pengalaman hidupnya atau pola pikirnya hingga mempunyai kesan tertentu.
Beberapa adegan dalam film juga digambarkan dengan penggunaan dialog yang membuat penonton harus berpikir dengan logika. Misalnya dialog dua orang asing yang menganggap roti croissant sebagai bentuk dari bendera Turki yang jika dimakan sama saja dengan menghina muslim. Lalu, ada juga dialog seorang dosen yang berusaha menafsirkan makna bismillah saat Rangga meminta izin untuk mengubah waktu ujiannya yang bentrok dengan ibadahnya. Dialog dalam dua adegan tersebut memang mengalir, namun penonton harus mampu mencerna kata demi kata yang terucap oleh pelakunya karena visual adegan dibuat dengan potongan gambar yang biasa saja, tanpa ada suspence atau punching line.
            Namun, Film 99 Cahaya di Langit Eropa cukup berhasil sebagai film yang menyampaikan informasi mengenai jejak-jejak agama Islam di benua Eropa. Film ini membawa kita untuk memahami sejarah kejayaan Islam di tanah Eropa tanpa terkesan menggurui. Melalui film ini kita menelusuri sejarah Islam di Eropa terutama dari masa Dinasti Umayyah dan Ustmaniyyah. Kita mampu melihat jatuh bangun peradaban Islam yang pernah menyinari daratan Eropa. Disamping itu, kita juga dapat menyimak perjalanan Fatma Pasha. Sosok imigran dari Turki yang menjadi sahabat Hanum untuk mencari kehidupan yang lebih baik sekaligus menyebarkan cahaya Islam dan menghapus stereotipe negatif tentang Islam yang sudah mengakar kuat di Eropa. Energi sejarah islam yang masih kurang dalam film ini ialah tentang sosok Kara Mustafa Pasha yang hanya selintas diceritakan dan membuat penonton terus bertanya-tanya siapakah sosok beliau yang mampu memberi pengaruh dalam Islam.
Kita harus mengakui bahwa menonton film ini lebih seperti melihat kembali ensiklopedi kemegahan Eropa dan sejarah Islam dibandingkan dengan mengajak penonton untuk turut serta merasakan apa yang para tokohnya rasakan. Logisnya, film ini memang seperti dibuat dari sudut pandang sang penulis novelnya. Esensi cerita pun justru menjadi bias dan kosong. Konflik-konflik dalam cerita berusaha diungkap dan ditampilkan melalui sejumlah monolog yang dilakukan oleh tokoh Hanum. Namun, penggarapannya terkesan kurang rapi karena cerita yang tersaji tidak mampu mengikat emosi penonton.
Film yang mengambil lokasi syuting di empat negara Eropa: Vienna (Austria), Paris (Perancis), Cordoba (Spanyol), dan Istanbul (Turki) juga unggul dalam sisi sinematografi karena berhasil menampilkan unsur visual panorama kota-kota tersebut menjadi magnet tersendiri bagi penonton. Ketajaman gambar dan corak penggambarannya mampu menggugah penonton untuk mengunjungi empat kota itu. Walaupun harus kita akui establish shot yang ditampilkan tampak terlalu banyak. Entah untuk memperpanjang durasi atau memang strategi pasar pemilik modal yang membiayai film ini menjadikan sebuah lahan promosi pariwisata tersendiri.
Sisipan adegan-adegan iklan juga sedikit mengganggu jalan cerita. Adegan dibuat demi komersial semata seperti kebanyakan film-film Indonesia lainnya. Tidak tercipta dalam suatu makna yang memiliki unsur drama. Untung saja, pihak sponsor yang terlibat dalam produksi film ini tidak terlalu banyak sehingga masih terlihat sewajarnya walaupun tidak tergarap secara memuaskan. Seperti adegan pengambilan uang di ATM yang dilakukan oleh Rangga.
Unsur-unsur lain yang juga tampak mengganggu dalam film ini ialah editing subtitle dialog yang kurang rapi. Pada film ini juga tidak diceritakan latar belakang beberapa karakter orang asing yang ternyata bisa berbahasa Indonesia dengan fasih seperti Fatma Pasha dan Ayse dari Turki, Marion Latimer dari Perancis, Khan dari Pakistan, serta Maarja dan Stefan. Memang sulit memaksakan para aktor atau aktris untuk menguasai bahasa asing sesuai perannya masing-masing, namun jika para sineas berhasil menggarapnya, maka film ini akan berpeluang untuk dikenal lebih luas di mancanegara atau go international.
Pada akhirnya, sinergi antar semua unsur yang tergabung dalam film ini memang bertumpu pada cerita. Materi cerita novel 99 Cahaya di Langit Eropa memang terlalu luas untuk dimuat dalam satu kisah visual. Namun, banyak penonton beranggapan bahwa materi cerita tersebut memiliki nilai komersial yang tinggi sehingga para produser memutuskan untuk produksi sekuel film 99 Cahaya di Langit Eropa menjadi dua bagian. Ada 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 dan 99 Cahaya di Langit Eropa Final Edition. Kondisi demikian sudah menjadi strategi marketing tersendiri para pemilik modal. Tetapi, penonton pun banyak yang merasakan tidak mencapai klimaks untuk menonton film ini. Sinergi film ini pun seakan sirna di sekuel-sekuel film berikutnya.
Jika 99 Cahaya di Langit Eropa terkesan berusaha untuk tampil dengan kisah yang lebih luas tentang suatu perjalanan religi, maka 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 jelas dapat dirasakan sebagai sebuah bagian penceritaan yang lebih personal. Meskipun beberapa konflik yang dihadirkan kurang mampu terasa esensial dan gagal bersinergi pada unsur sinematografi dari sekuel film ini sebelumnya.
99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 hanya memberi fokus yang lebih kuat pada kisah kehidupan kedua peran utama dalam film ini, yaitu Hanum dan Rangga dalam sebuah narasi. Penonton hanya disuguhkan dengan kualitas akting yang cukup meyakinkan dari sisi teknikal serta penampilan para pemeran, 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2. Tidak begitu banyak yang bisa kita apresiasi untuk sekuel ini, namun setidaknya sineas mulai melakukan perbaikan kualitas yang lebih layak untuk suatu tontonan sebuah film.

Pada akhirnya, menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa akan membawa kita untuk merasakan suatu cerita perjalanan spiritual yang telah dialami oleh Hanum dan suaminya. Kita bisa merasakan bahwa kita masih jarang membuka mata untuk melihat dunia dan segala isinya, terutama yang berkaitan dengan ajaran keagamaan. Perjalanan yang terekam dalam film tersebut harus mampu membawa penonton untuk naik ke derajat yang lebih tinggi dalam memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Meskipun, jenis film religi ini masih belum tampak esensi dan sinergi yang memadai.