Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Terinspirasi Dari Kisah Nyata Rudy Habibie



Empat tahun setelah kesuksesan film Habibie & Ainun, kini MD Pictures kembali meluncurkan karya terbarunya, film Rudy Habibie yang merupakan prekuel dari kisah hidup Habibie sebelum mengenal dan menikah dengan Ainun. Film yang dikomandoi Hanung Bramantyo ini berfokus pada lika-liku perjuangan Habibie selama bersekolah di Aachen, Jerman. Ada kisah cinta dan konflik perbedaan suku serta agama untuk mengungkap siapa sosok Rudy Habibie sebelum dikenal menjadi teknokrat dan presiden Republik Indonesia Ke-3.


Film dibuka dengan masa kecil Rudy di Pare-pare, Sulawesi. Kita diperkenalkan pada Rudy kecil yang pandai dan bercita-cita membuat pesawat. Disini dijelaskan bahwa orangtua Rudy berasal dari dua suku yang berbeda sehingga Rudy terbiasa hidup dalam pluralisme sejak kecil. Namun sayang, Rudy terpaksa hidup berpindah-pindah lantaran banyak serangan udara pada masa perang. Tapi, pemandangan alam Sulawesi nan indah tak bisa ditonjolkan serta efek visual belum berhasil meyakinkan penonton saat Rudy hidup di era kemerdekaan silam. 


Lama-kelamaan penonton mulai terbius dengan suguhan adegan-adegan yang tak biasa seperti saat Rudy disunat, kenakalan masa kecilnya dengan teman-teman tentang teori balon sampai Ia menemukan sebuah kondom untuk ditiup. Hingga adegan yang paling membuat penonton terenyuh, saat Rudy harus menggantikan ayahnya (diperankan Donny Damara) menjadi imam karena meninggal dalam keadaan khusnul khotimah ketika shalat berjamaah sekeluarga sedang berlangsung.


Pesan-pesan tersirat pun mulai bermunculan di awal cerita. Salah satu yang kerap diulang yaitu tentang ambisi Rudy membuat pesawat terbang demi memenuhi pesan almarhum ayahnya untuk menjadi mata air yang bisa penonton definisikan untuk menjadi berguna bagi banyak orang. Semua akan mudah terngiang di telinga penonton.


Kemudian penonton diajak menuju masa ketika Rudy yang sudah dewasa (diperankan Reza Rahadian) baru saja tiba di Aachen untuk mengikuti tes masuk Universitas RWTH. Di sekolah ini, ia mendapatkan teman-teman baru secara tidak sengaja yang berasal dari latar belakang beragam. Ada kenalan lamanya dari ITB, Liem Keng Kie (diperankan Ernest Prakasa), seorang keturunan Tionghoa dari Bandung. Ada putri Sultan Solo, bernama Ayu (diperankan Indah Permatasari) serta abdinya, Sugeng (diperankan Bagas Luhur Pribadi). Ada juga Peter Manumasa (diperankan Pandji Pragiwaksono), yang merupakan mantan tentara pejuang kemerdekaan, serta Poltak Hasibuan (diperankan Boris Bokir), anak Medan yang ceria dengan fashion style norak alias tubrukan. Mereka semua merupakan pemegang passport biru alias penerima beasiswa pemerintah, kecuali Rudy yang dibiayai oleh ibunya (diperankan Dian Nitami).


Sosok Rudy Habibie dalam film ini digambarkan begitu jenius dan sempurna. Ketika diremehkan oleh orang dalam sekejap ia berhasil membuktikan bahwa mereka salah. Walaupun bossy, tapi Rudy tetap populer dikalangan mahasiswa Indonesia. Eksekusi terhadap karakter Rudy tidak terlalu terasa karena sejak awal ia divisualkan sebagai sosok paling pintar dan selalu benar. Sampai akhirnya, Ia didera berbagai kesulitan, sang sutradara memvisualkan karakter Rudy dengan ketaatannya beribadah, terutama dalam melaksanakan shalat. 


Unsur religi memang ditampilkan dalam film ini, tapi beberapa tidak dieksekusi dengan baik. Misalnya, saat adegan makan makanan haram yang mengandung babi tanpa disengaja, Rudy Habibie tak merasa bersalah atau sekedar mengucap istighfar. Ia malah asyik bercanda kepada si penjual makanan untuk meminta kembali uang yang telah dibayarkan.


Nah, film Rudy Habibie pun bergulir menjadi seperti kisah anak SMA. Sebagai murid non-beasiswa, ia sering dibully oleh sekumpulan mahasiswa ikatan dinas alias Laskar Pelajar. Mereka meragukan kepintaran Rudy dan kerap mengejeknya. Di sisi lain, terjadi cinta segitiga dengan Ilona Ianovska (diperankan Chelsea Islan) dan Ayu, yang menyebabkan persahabatan Rudy bersitegang. Hmm, too much drama? Its reality or fictive?!


Masalah yang dihadapi Rudy di luar negeri juga semuanya seolah terkontrol. Tersisa adegan-adegan klasik yang pasti dialami seluruh mahasiswa perantauan, mulai dari kekurangan uang, kelaparan, sakit, atau ide-ide yang ditentang. Padahal justru penonton ingin melihat perubahan seorang mahasiswa muda yang perlahan-lahan berkembang menjadi tokoh negara visioner pada masa itu. Kurang greget istilahnya untuk menelaah perjuangan seorang Rudy Habibie seperti di film sebelumnya yang menghasilkan sesuatu yang besar.


Ada banyak kejadian bersejarah dalam film ini coba ditampilkan. Misalnya seperti saat Rudy menggagaskan visi misi pembuatan organisasi PPI Aachen atau saat ia memperjuangkan jalannya Seminar Pembangunan bagi seluruh mahasiswa Indonesia di Eropa. Berkali-kali Rudy harus berseteru dengan pihak pemerintah. Namun akibat fokus cerita yang bercabang, justru hal-hal penting ini tidak dijabarkan dengan detail. Ditampilkan juga masalah Irian Barat atau ketidakikutsertaan Indonesia dalam NATO yang juga membuat penonton bingung. Ditambah lagi, alibi Rudy saat ditanya oleh warga sekitar yang penasaran dengan kepandaiannya berbahasa Jerman dan dijawab dengan penuh ambiguitas yang konyol.


Plot campuran memang membuat film ini terasa complicated. Gaya penceritaan yang padat dengan tempo cepat menjadikan film ini terlihat berisi. Secara keseluruhan tim produksi telah berupaya memperhatikan detail secara proporsional. Film ini pun bisa dinikmati oleh penonton karena mereka akan dibiarkan terlarut dalam setiap pergolakan emosi yang terjadi.


Dibalik itu semua, akting Reza Rahadian kembali menyuguhkan performa terbaiknya sebagai Rudy Habibie. Dengan aksen khas dan bahasa Jerman fasih didukung olah tubuh seperti cara berjalan dan gaya berbicara sosok Rudy Habibie, Reza terlihat sangat alami sebagai anak muda di tahun 1950-an. Emosinya ketika merasakan kegagalan, serta kesedihannya saat jatuh sakit dan homesick begitu memilukan. Malu, tidak mau merepotkan orangtua, dan ingin membuktikan bahwa dia bisa berdiri sendiri merupakan suatu fase yang pasti pernah dirasakan mahasiswa mana pun yang sedang belajar nun jauh disana.


Akting teman-teman sesama mahasiswa mampu mengimbangi para pemeran utama. Ernest dan Pandji yang memiliki latar belakang sebagai stand up comedian mampu berakting serius. Tapi, saya lebih salut dengan keseriusan Pandji yang berperan natural dibanding Ernest Prakasa. Indah Permatasari sebagai Ayu juga tampil menarik bak putri keraton modern dengan logat Jawa. Hanya peran Ilona saja sebagai seorang wanita keturunan Polandia yang kurang pas dimainkan oleh Chelsea Islan. Ia tampak mengada-ada dalam setiap ucapannya.


Mixing yang diproduksi di Los Angeles, USA juga berhasil meniupkan nada-nada ke telinga penonton untuk merasakan sensasi saat menonton di gedung bioskop yang kedap suara. Original soundtrack buah karya Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dinyanyikan Cakra Khan dalam judul Mencari Cinta Sejati juga membuat penonton terkesima.


Bicara tentang artistik, setting dan kostum era 1940-1950an dalam film ini tampak elegan. Penampilan kaum terpelajar tampak disesuaikan pada tuntutan zamannya. Walaupun dibeberapa scene, ada period movie yang perlu ditingkatkan lagi untuk meyakinkan penonton bahwa adegan ini terjadi dibeberapa tahun silam.


Pada akhirnya, pesan moral yang ingin disampaikan dalam film ini terasa blur. Bahkan diakhir film, terselip spoiler untuk Habibie & Ainun 3 yang rencananya akan tayang tahun depan! Whhaaatttt! Saya akan semakin penasaran untuk menonton sekuel ketiga film ini.


Mungkin lewat film ini, Produser Manoj Punjabi yang juga eksis bermain dalam film bermaksud mengungkap sisi seorang Rudy Habibie yang lebih manusiawi dan mudah dicerna oleh semua kalangan. Blogger pun merasakan jiwa nasionalisme begitu kuat dari dalam diri Rudy Habibie. Dengan setting Eropa yang mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot film ini memang cocok sebagai inspirasi segala generasi*


Habibie & Ainun ; Kisah Cinta Nasionalis yang Serba Minimalis



     Film adalah urutan gerak dari gambar hidup yang membentuk seni visual baru melalui media komunikasi lengkap, ditujukan kepada mata juga pendengaran, yang berakar kepada seni ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi suatu bagian dari kehidupan modern. Kebangkitan perfilman Indonesia di era globalisasi menjadi tantangan sendiri bagi sineas perfilman untuk membuat film yang berkualitas dari sisi teknik dan teknis. Cerita yang diangkat pun beragam, ada yang berdasarkan kisah nyata, adaptasi dari novel atau buku, maupun ide kreatif dari sineas itu sendiri. Dari sekian banyak film yang diproduksi para sineas di tahun 2012-2013, Film Habibie & Ainun menjadi sebuah film yang paling fenomenal di jagat perfilman.

     Kehebohan film Habibie & Ainun membuat banyak orang penasaran ingin menonton. Alasannya, sang sutradara mengangkat tema sebuah kisah percintaan klasik yang diadaptasi dari buku Habibie dan Ainun itu sendiri. Buku tersebut sudah laris terlebih dahulu dipasaran. Kisah nyata percintaan seorang Habibie yang pernah menjadi orang nomor 1 di Republik Indonesia  menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Alhasil, film Habibie & Ainun sama larisnya dengan penjualan buku yang sudah terbit.

     Layaknya sebuah karya tidak pernah ada kata sempurna. Semua pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tergantung, bagaimana kita mengapresiasikannya. Mari kita bahas satu per satu untuk film Habibie & Ainun.

     Pertama, tema sebuah film. Tema film Habibie & Ainun bercerita tentang percintaan Habibie dan Ainun yang begitu romantis dan terkesan nasionalis. Sejak dari awal perkenalan hingga terpisah oleh ajal yang menjemput. Kisah cinta mereka tergolong memiliki nilai sejarah sehingga storytelling yang dihadirkan hingga akhir cerita bernuansa nasionalisme. Perjuangan dua orang anak bangsa yang mencintai negerinya dan mengorbankan dirinya sendiri.
     Namun, balutan sejarah Indonesia yang kuat dalam perjuangan cinta mereka terhadap bangsa tidak terekam dengan baik. Akibatnya, film tersebut memberikan pandangan sempit dalam suatu persoalan. Tidak ada beda dengan film-film bertema cinta yang beredar dipasaran. Hanya ada adegan-adegan kesetiaan, kasih sayang, dan pengorbanan sebagai lambang romantisme tanpa konflik  memadai. Penonton hanya terbuai dalam flashback kisah cinta mereka yang tersaji hingga akhir film ini.
     Tema percintaan pun sirna seiring dengan alur cerita yang terkesan melompat ke berbagai suasana. Ritme film terasa tak beraturan. Mungkin film ini ingin menyesuaikan cerita sesuai bukunya. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa filosofi buku dan film tersaji dalam masing-masing media yang beda.

     Kedua, adegan demi adegan tersaji dalam sebuah time lapse yang singkat. Film dibuka dengan Habibie dan Ainun muda yang terkenal cerdas saat masa SMA. Kemudian langsung beranjak ketika Habibie sudah menjadi insinyur mesin dan Ainun sudah lulus sebagai dokter umum. Diceritakan, Habibie tidak sengaja bertemu dengan Ainun dan dimulailah kisah pacaran singkat mereka. Adegan hanya disisipkan sebuah sentuhan konflik saat Ainun didekati banyak pria hebat, mapan, dan bermobil, tetapi Ainun malah memilih Habibie yang datang ke rumahnya menggunakan becak sampai adegan pun berlanjut pada prosesi pernikahan adat Jawa. Rangkaian adegan tersebut akan membuat tanda tanya para penonton, “Apa yang membuat Ainun tertarik dengan sosok Habibie…?”. Tak ada jawaban yang bisa menjelaskan dalam adegan singkat itu.
     Selain itu, adegan singkat juga tersentuh dengan nasionalis terbatas. Unsur-unsur nilai sejarah yang seharusnya menjadi nilai tambah film ini dibanding film percintaan lain tidak terlalu kuat ditampilkan. Nilai sejarah hanya berusaha ditampilkan pada properti-properti klasik yang melambangkan masa lalu. Adegan-adegan bernilai sejarah seperti pembangunan bangsa pasca kemerdekaan dan reformasi hanya ditampilkan pada sisipan-sisipan video terpotong. Hal ini cukup mengganggu dan tidak secara jelas menggambarkan situasi sosial, ekonomi dan politik era perjuangan reformasi 1998.
     Sosok Habibie sebagai presiden ketiga RI yang dilantik pasca gerakan reformasi 1998 pun tidak dapat ditampilkan dalam kumpulan snap shot yang lengkap. Penonton hanya dijejali dengan adegan-adegan masa pelantikan, beberapa konflik di Timur-Timur, dan adegan politis yang membuang-buang durasi. Masih banyak adegan lain yang menampilkan konflik yang menanggung tanpa ada sebab akibat yang mampu mencerdaskan penonton.
     Beberapa adegan malah diselingi dengan penempatan promosi produk sponsor yang tidak sesuai dengan tempatnya. Beberapa merk produk sponsor terbaru tampil dalam era berbeda. Penonton pun dibiarkan melihat layaknya tontonan televisi yang dipenuhi banyak iklan tanpa makna.

     Ketiga, pemeranan. Habibie diperankan oleh Reza Rahardian dan Ainun diperankan oleh Bunga Citra Lestari. Dalam pemilihan tokoh film, Reza Rahardian berusaha menjadi karakter Habibie yang begitu kuat, tapi secara postur tubuh Reza Rahardian tidak memenuhi kriteria. Mungkin casting director hanya melihat kejeniusan akting karakter yang ditampilkan seorang Reza Rahadian.
     Untuk peran Ainun, Bunga Citra Lestari juga berusaha memerankan perempuan Jawa kuno yang lembut namun make up yang digunakan kurang mendukung sehingga ekspresi  ditampilkan terlalu dipaksakan. Walaupun penghayatan dalam setiap adegannya patut diacungi jempol.
     Pemeranan memang menambah nilai positif dalam film ini. Karakter Habibie & Ainun yang ditampilkan mampu menjadi cermin bagi anak muda untuk menjalani bahtera pernikahan. Sebagai sosok individu jenius, biasanya kejeniusan identik dengan sifat kaku, tidak bisa bergaul, dan egois. Namun, Habibie ditampilkan sosok jenius berbeda. Ia tampil apa adanya, disenangi banyak orang, dan mengedepankan kepentingan bangsa. Sama halnya dengan sang istri, Ainun.
     Namun sangat disayangkan, karakter jenius yang ditampilkan sosok Habibie tidak didukung dengan teori-teori kecerdasan Habibie yang mampu menciptakan pesawat terbang. Teori-teori keilmuan hanya hadir saat Habibie bekerja untuk industri mesin kereta api di Jerman. Jika sentuhan teori ilmu pengetahuan tentang pesawat terbang dihadirkan, hal ini mampu menambah wawasan penonton dan membuat bangsa Indonesia semakin bangga dengan sosok Habibie.

      Keempat, unsur artistik tidak sesuai dengan tema film. Beberapa setting latar tempat di Jerman mengurangi nilai artistik film yang bernafaskan nasionalisme ini. Film ini seolah ikut menjual potensi negara Jerman yang begitu berkembang dibandingkan Indonesia. Latar tempat di Jerman pun sempat menghadirkan efek musim salju yang terkesan dipaksakan. Kondisi demikian hanya terlihat sebagai adegan pelengkap yang menunjukkan adanya perbedaan iklim antar dua negara tersebut.
     Untung saja, penata artistik masih bisa membuat tema film ini hidup dengan menempatkan hand property seperti cincin kawin yang menjadi simbol cinta. Cincin kawin tampak jelas menjadi detail shot yang digunakan Habibie & Ainun dalam beberapa kesempatan. Aksesoris tersebut setidaknya menunjang pesan yang tersirat bahwa cinta akan menemani masa-masa sulit sepasang suami istri dimanapun mereka berada dan dalam kondisi seperti apapun yang mereka hadapi.

     Kelima, pesan yang ingin disampaikan. Beberapa sindiran nasionalisme terungkap pada film ini. Dimulai ketika bangsa yang besar tidak dapat menghargai semangat anak bangsa yang ingin memajukan negaranya. Lalu, ada juga adegan-adegan masa pemerintahan yang diwarnai praktek suap menyuap dengan menghalalkan segala cara yang seolah menjadi budaya Indonesia. Terlalu vulgar memang, ketika sindiran nasionalis ditampilkan. Seharusnya sindiran yang mengandung pesan tersebut ditempatkan sewajarnya dan tidak terlalu diekspos agar nama baik bangsa Indonesia tetap terjaga jika film ini diputar di festival negara lain.

     Di balik itu semua, kita pasti akan menikmati film ini hingga akhir cerita. Audio dan original soundtrack mampu menghipnotis kita untuk larut dalam kisah cinta sejati Habibie & Ainun. Sentuhan-sentuhan humor ringan juga mampu meredakan suasana kaku yang terjalin dalam setiap storylines yang ditampilkan. Overall, kita harus bangga dengan film produksi anak bangsa ini. Kisah cinta nasionalis yang tulus dan luar biasa akan bisa menjadi cermin untuk kita semua, walaupun semua tersaji dalam sebuah media audio visual yang serba minimalis. #ApresiasiFilmIndonesia

Kritik Film ini ditulis untuk mengikuti Lomba Penulisan Kritik Film Piala Maya di Tahun 2013*

The Conjuring 2: The Next True Story From The Case Files of Ed and Lorraine Warren



The Conjuring 2 diakui sebagai salah satu film memedi terbaik dan terseram dalam beberapa dekade terakhir. Tapi, apakah sekuel ini bisa kembali menyandang predikat tersebut?

Sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) Mencapai 1 Dekade Dengan Istiqomah

Sinetron-SCTV

Ibarat makan sayur kurang garam, bulan Ramadan terasa tidak afdal jika tidak menyaksikan tayangan Para Pencari Tuhan (PPT) yang sudah menjalani masa produksi mencapai 1 dekade. Rumah produksi PT. Demi Gisela Citra Sinema memang cerdas membubui tayangan ini menjadi lebih eksklusif karena hadir saat bulan Ramadan saja. Dari jilid 1 sampai jilid 9, pemirsa selalu penasaran dengan cerita apa yang akan diracik setiap episodenya. Hal ini dikarenakan masing-masing jilid telah menyuguhkan pencerahan kepada penonton melalui pesan religi yang tersembunyi dalam tiap adegan yang tersaji.

Tunjukkan Kepada Dunia bahwa Kita Bisa Tinju Tinja


Blogger Eksis ikut mendukung aksi nasional Tinju Tinja
Tambahkan teks
   


        Lebih dari 51 juta penduduk Indonesia masih melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS) - nomor 2 terbanyak di dunia menurut Laporan Gabungan WHO dan UNICEF di tahun 2015 sehingga berdampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan, terutama pada anak-anak. Setiap jam, ada 15 sampai 22 anak di Indonesia yang meninggal akibat diare dan pneumonia yang bisa dihindari dengan kebersihan dan sanitasi yang baik (Levels & Trends in Child Mortality – Laporan 2014. 

Berawal dari Pengangguran, Menuju pada Wirausahawan

Berawal dari penggangguran menuju wirausahawan
          Negara Republik  Indonesia telah memperoleh kemerdekaan melalui perjuangan gigih yang dilakukan oleh para pahlawan. Kita sebagai warga negara Indonesia harus mengisi kemerdekaan ini dengan melaksanakan pembangunan disegala aspek kehidupan. Gerakan roda pembangunan yang dilakukan membutuhkan tenaga kerja sebagai modal utama. Jumlah dan komposisi tenaga kerja tersebut akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsung proses demografi (kependudukan).

Fenomena Simlacrum

'Simulation is characterized by a precession of the model, of all models around the merest fact the model come first. Facts no longer have any trajectory of their own, they arise at the intersection of the models; a single fact may even be engendered by all the models at once. Simulation is no longer that of a territory, a referential being or a substance. It is the generation by models of a real without origin or reality; a hyperreal. The territory no longer precedes the map, nor survives it. Henceforth, it is the map that precedes the territory precession of simulacra it is the map that engenders the territory and if we were to revive the fable today, it would be the territory whose shreds are slowly rotting across the map. It is the real, and not the map, whose vestiges subsist here and there, in the deserts which are no longer those of the Empire, but our own. The desert of the real itself' (Baudrillard, 1983:32)


         Jean Baudrillard dalam buku Simulations (1983) yang diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris mengintrodusir sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat barat dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.
Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan terjalin untuk membentuk satu kesatuan. Tidak lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang palsu atau yang semu. Semua menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat barat dewasa ini. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia yang terbangun dari serangkaian nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri. Jadi, simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung.
Simulacra tidak memiliki acuan karena merupakan bagian duplikasi dari duplikasi, sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi dikenali, mana hasil produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.
Menurut Baudrillard[1], terdapat tiga tingkatan simulacra. Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Dalam tingkatan ini, realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip hukum alam, dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda yang diproduksi dalam orde ini adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk mempertahankan struktur dunia yang alamiah. Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri simulacra tingkat pertama adalah prinsip representasi.
Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Objek kini bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi mekanik, prinsip komoditi dan produksi massa menjadi ciri dominan era simulacra tingkat kedua.
Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggap nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah.
Realitas sosial, budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model[2]. Boneka Barbie, tokoh Rambo, selebritis syahrini, film india, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai era simulasi.
Sebagai contoh, wacana simulasi yang menjadi ruang pengetahuan telah dikonstruksikan oleh iklan televisi, di mana manusia mendiami suatu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang palsu, menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam dunia maya dan khayal. Media lebih nyata dari pengetahuan sejarah dan etika, namun sama-sama membentuk sikap manusia.
Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Semua yang terlihat hanyalah campur aduk diantara semuanya.
            Dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan padanya. Dalam bukunya In The Shadow of the Silent Majorities (1982), Baudrillard menganalogikan kumpulan massa yang diam ini sebagai lubang hitam, black hole, dimana berbagai hal informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral, nilai agama terserap ke dalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga.
            Kenyataannya, sifat simulasi dalam media televisi telah mampu menyuntikkan makna yang seolah-olah ada pada kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi atau realisme semu. Film, berita, telenovela, video clip, iklan, tayangan olahraga, talk show ataupun tayangan kesenian tradisional ditonton sebagai tontonan yang semata untuk dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir kritis. 
         Dalam ruang semu televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek otonom yang dapat memilih atau menyeleksi suguhan apa yang akan ditontonnya. Mereka dapat memindahkan dan menciptakan realitas dari tayangan yang satu ke tayangan lain tanpa adanya referensi tunggal yang saling berkaitan. Dari berita politik tentang kenaikan BBM, ke sinetron-sinetron bernuansa Bollywood, lalu berpindah lagi ke film drama Inggris yang bersetting abad ke-18 M, kemudian menonton kembali tayangan video clip Katy Perry, lalu kembali menyaksikan berita gempa bumi di Nepal dan seterusnya. Ruang dan waktu seolah terlipat dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat fragmentasi dalam dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong, durasi pendek atau panjang, berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai oleh mitos tentang subjek yang otonom. Padahal, menurut Baudrillard, semua ini hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi kapitalisme demi produksi dan konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada[3]. Penonton, dalam wacana televisi, tak lebih dari objek mengalirnya berbagai fakta, citra, impian dan fantasi, tanpa memiliki jati diri yang hakiki, sebuah terminal dari berbagai jaringan tanda-tanda.
            Dalam wacana televisi, penonton dengan demikian tak lebih dari sekumpulan mayoritas yang diam[4]. Itulah mengapa tayangan siaran langsung sepakbola tetap ditunggu dan ditonton meskipun harus menunggu hingga tengah malam. Menurut Baudrillard, hal ini karena televisi sama sekali tidak berpretensi menawarkan makna luhur atau transenden, kecuali ecstasy dan kedangkalan ritual.
Kebudayaan industri di atas menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra). Hal ini membuat kita kerap kali berani dan ingin mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi (membeli, memilih, bekerja dan sebagainya). Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”. Jean Baudrillard membantah bahwa kebudayaan postmodern kita adalah dunia tanda-tanda yang membuat hal yang fundamental – mengacu pada kenyataan – menjadi kabur atau tidak jelas.
            Dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1976) Baudrillard menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi, telah terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini yakni dari nilai guna dan nilai tukar ke nilai tanda dan nilai simbol. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai guna dan nilai tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini.
            Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai tanda dan nilai simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Jika dikaitkan dengan pernyataan Marx, terdapat dua nilai tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Nilai guna merupakan nilai asli yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Inilah nilai yang mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai tukar. Nilai tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai tukarnya.
            Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi, film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam keterkaitan tanda[5].
            Simulasi akan menciptakan suatu kode, yaitu cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain[6]. Dalam dunia simulasi, identitas seseorang tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya diatur oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak dan memahami lingkungannya.
           Saat ini, hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat timur telah dipengaruhi oleh masyarakat barat yang dituntun oleh logika ekonomi kapitalis yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan konstan. Dalam keadaan demikian, persoalan gaya hidup, mode dan penampilan menjadi nilai baru yang menggantikan nilai kebijaksanaan, kearifan dan kesederhanaan. Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyper reality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.




[1] Jean Baudrillard. Simulations. New York: Telos Press. 1983 hal 54-56

[2] Jean Baudrillard. Cool Memories. New York: Telos Press. 1987 hal 17

[3] Ibid. 16

[4] Baudrillard, op.cit., 19.

[5] Baudrillard, op.cit., 33.


[6] Yasraf Amir Piliang. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan. 1998 hal 13