Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Film Koala Kumal ; sebuah komedi patah hati untuk menertawakan kembali hidup Raditya Dika



Setelah sukses dengan film Single dan Marmut Merah Jambu, Raditya Dika membuat film Koala Kumal dibawah naungan rumah produksi Starvision Plus. Seperti biasa, ia bertindak sebagai penulis skenario, sutradara, hingga aktor sekaligus. Impian gue banget bisa jadi kaya gitu !.


Di Koala Kumal, Raditya Dika masih sama mengajak penonton menertawakan kehidupan pribadinya. Racikannya terhadap genre film komedi selalu memasukkan unsur keluarga dalam filmnya. Bahkan kali ini, Ia langsung mendirect keempat adiknya untuk ikut main di film ini. Tapi, yang mana yaa adiknya?!? . .  Jadi siapa sih?! Sampai sekarang aku masih belum bisa menemukannya. Hahaha . . .


Buat penggemar bukunya, tentu sudah hafal dengan benang merah disetiap karya Dika. Katanya sih ini menjadi buku terakhir yang ditulisnya. Walaupun begitu, buku dan film Raditya Dika selalu tak pernah sama. Ini yang menjadi sesuatu menarik.

Naskah diramu begitu cerdas. Dialog mengalir pintar. Plot pun tersaji dengan menarik. Setting tampil dengan santai. Semua menghasilkan cerita anti mainstream. Bagi aku, film ini terasa ringan, sehingga menikmatinya pun tak pernah membosankan. Emosi penonton masih berhasil dimainkan, walaupun dibeberapa part sisi dramatisnya kurang punya feel.


Opening scene dideskripsikan dengan adegan-adegan merekam video dengan nuansa mesra untuk mengungkap makna dari cinta. Video ini dibuat sebagai konsep undangan dihari bahagianya. Lalu, penonton mulai menyimak visualisasi kisah patah hati seorang Dika yang secara tiba-tiba ditinggal sang pacar bernama Andrea (diperankan oleh Acha Septriasa) hanya karena orang ketiga. Andrea berpaling ke lelaki yang lebih tampan yaitu James (diperankan oleh Nino Fernandez). 


 “Hmm . . . cinta pasti berakhir tragis dan ujungnya cinta itu perpisahan !”


Nah, dari kejadian itu Dika merasakan patah hati terhebat dalam hidupnya. Dika menjalani hari demi hari tanpa semangat seperti sebelumnya. Kegundahan hatinya berdampak terhadap deadline tulisan yang menjadi berantakan. Singkat cerita, si cowok patah hati itu  bertemu dengan perempuan bernama Trisna (diperankan oleh Sheryl Sheinafia). Cewek ini memiliki pengalaman sama dan merasakan patah hati terberat uga dalam hidupnya. Mereka pun berteman baik untuk saling menyembuhkan luka dihatinya masing-masing.

Trisna coba membantu Dika untuk bangkit dari kepahitan batal kawin dengan sederetan adegan tingkah-tingkah konyol. Mulai dari terlihat kuat dihadapan mantan, mengikuti biro jodoh, sampai membuat jebakan untuk menjatuhkan pasangan lawan terbilang nekat dilakukan. Semua terjadi agar mereka bisa move on katanya. Tapi, Andrea pun semakin memanasi keadaan dengan membuat konsep undangan pernikahan dengan James yang sama untuk resepsi pernikahannya kala berpacaran dengan Dika.


Putus nyambung kisah asmara Dika dan Andrea semakin seru. Banyak scene yang tak terduga dimana hal itu terjadi di kehidupan nyata Raditya Dika. Ia menampilkan bagaimana melihat patah hati dari sudut berbeda. Tak ada ungkapan galau mele atau tentang rasa sakit yang mendalam alias BaPer. Penonton akan belajar dan memandang patah hati karena ditinggalkan oleh orang yang kita sayang itu bukan akhir dari segalanya. Justru ketika kita ditinggalkan orang yang kita sayang akan membuat kita bisa menjadi pribadi lebih kuat lagi dari sebelumnya.


Secara keseluruhan, visual mampu mengungkap gambar jernih. Perpaduan angle dan shot type sudah tepat. Punch line gambar dan visual tersinkronisasi dengan baik. Layak jika film ini mampu memberi warna tersendiri dari segi sinematografi.

Jika dilihat dari segi pemeranan, Sheryl Sheinafia berusaha totalitas memerankan karakter Trisna. Secara tokoh, Sheryl mampu menempatkan diri saat Trisna harus menjadi orang yang menyebalkan, menggemaskan, atau bahkan rapuh sekalipun. Aktingnya natural binggo dengan didukung bakat yang proporsional menjadikan Ia pantas diperhitungkan sebagai aktris multi talenta. Raditya Dika pun sebagai diri sendiri mampu bermain bagus. Walaupun secara tokoh yang diperankan selalu sama dari peran-peran sebelumnya. Yang berkesan bingits bagi aku, saat Dika sedang patah hati dan disuruh Trisna menjadi gembel dihadapan Andrea itu jadi adegan tergokil.

Pemeran pendukung lain, seperti Acha Septriasa dan Nino Fernandez juga memiliki akting matang dibanding peran mereka di film lain yang sedang tayang. Beberapa pemeran lain yang dimainkan oleh aktor dan aktris papan atas seperti Cut Mini, Dwi Sasono, Ernest Prakasa, Lydia Kandou, Dede Yusuf, dan Henky Sulaiman pun berhasil menjaga konsistensi flow film agar tetap berjalan seimbang di jalur komedinya.

Lelucon hadir begitu cepat tanpa basa-basi. Jajaran cameo yang berasal dari stand up comedy atau berprofesi sebagai YouTubers juga mampu mengalirkan suasana. Walaupun ada beberapa part yang bisa saja dihilangkan dan tidak berpengaruh dalam content cerita. Misalnya, saat adegan James dan Andrea meributkan tentang flashdisk di sebuah kamar pasien. Memang ini tak begitu logis, tapi ujungnya mampu membuat penonton tertawa.


By the way, ilustrasi musik memang tidak ditonjolkan dalam film ini. Terkadang, jadi tidak mendukung unsur humor yang kurang greget. Beberapa adegan pun terasa KenTang (dibaca: Kena Tanggung). Meski demikian, tata audio berhasil tertutupi melalui original soundtrack yang dinyanyikan oleh Sheryl Sheinafia, dengan judul Kedua Kalinya dan Kutunggu Kau Putus mampu mengisi serpihan hati penonton yang pasti ejakulasi terhadap film ini.


Puncaknya, satu adegan pun mampu mencairkan seisi bioskop saat Dika harus akting seperti terkena stroke ringan setelah minum obat pelemas otot. Komika yang satu ini memang tahu betul kapan momen tepat mengocok perut penonton dan ini lucu*.

Sayangnya, setelah menonton film ini, aku tidak bisa menemukan makna dari judul Koala Kumal itu sendiri. Memang, ada adegan yang memperlihatkan saat Dika dan Andrea kembali mengulang masa indahnya berpacaran dengan pergi ke sebuah galeri dan melihat lukisan Koala Kumal, tapi saat Andrea menjelaskan makna lukisan itu, aku tak bisa menangkapnya dengan jelas. Maklum saja, aku menonton sambil sibuk update status di Path.. hha




Ok, guys . . . Yang paling aku suka di film ini itu endingnya yang gak gampang ditebak dan diluar dugaan. Finally, tentu akan ada fase dimana kita akan merasakan patah hati, tapi bukan berarti setelah patah hati kita terlarut dalam kesedihan terus-menerus, karena itu hanya akan mengganggu aktivitas kita saja. Sebuah pesan pun tersirat di akhir cerita : 
"Jodoh itu bukan ditunggu tapi dicari !. Kita boleh patah hati, tapi jangan tutup hati. Semua terjadi pasti ada alasannya dan pintu hati harus berani dibuka kembali”. #ApresiasiFilmIndonesia

Film Jilbab Traveler Love Sparks in Korea ; Film Indonesia Berselera Film Korea



Satu lagi buku laris karangan Asma Nadia divisualisasikan menjadi sebuah film bertajuk Jilbab Traveler Love Sparks in Korea. Jika di film sebelumnya, 'Pesantren Impian' bergenre thriller, 'Jilbab Traveler' memiliki genre yang mirip dengan 'Assalamualaikum Beijing', yaitu drama percintaan. Tentunya dalam setiap karya Asma Nadia, pasti diberikan sentuhan religi. Jika di film-film sebelumnya berhasil memikat hati penonton, lalu bagaimana dengan film ini?

'Jadilah seorang muslim yang menjelajah dunia . .

menapaki bumi untuk mentafakuri ayat-ayat Allah SWT . . .' 

Menurut aku, opening scene film ini keren karena didahului adegan masa kecil yang diiringi narasi dengan quote-quote hebat sang penulis cerita. Sesuai dengan judulnya 'Jilbab Traveler Love Sparks in Korea', nuansa Korea itu terasa kental dengan visual effect natural salju dan bunga sakura pada setiap adegan yang mengambil lokasi syuting sebagian di Korea. Penceritaan film juga terasa kompleks ala drama korea yang diminati berbagai kalangan remaja. 

Penokohan sosok Jilbab Traveler yang diperankan oleh seorang aktris, Bunga Citra Lestari sebagai Rania dengan mengenakan jilbab dan membawa ransel selayaknya seorang traveler juga begitu pas. Apalagi didukung aktor pendatang baru seperti Giring dan Morgan yang berperan begitu enak dengan ekspresi menarik membuat penonton begitu nyaman menikmati film ini hingga akhir cerita. Walaupun mereka mengawali karier di dunia entertainment sebagat musisi, bermain layar lebar ternyata mereka bisa lakoni dengan pasti.
Performa terbaik terasa pada akting seorang Giring Ganesha. Dia bisa memerankan dengan baik tokoh yang diperankan. Padahal karakternya jauh berbeda dengan Giring yang selama ini kita kenal. Penonton tidak akan melihat Giring sebagai penyanyi, melainkan Giring yang menjelma menjadi Ilhan. Untuk Morgan Oey, masih terlihat kurang konsisten dalam pembawaan karakternya sepanjang film. Pengucapan dialog masih terlihat dibuat-buat. Kalau mau dibandingkan, performanya lebih greget saat film Assalamualaikum Beijing.
Sedangkan Bunga Citra Lestari sebagai pemeran utama, dia berperan baik, walaupun ini bukan performa terbaiknya. Poin yang kurang, chemistry antara Morgan dan BCL masih belum terbangun. Semua terasa hambar tanpa ada rasa sayang yang ditunjukkan diantara mereka. Kehadiran aktor Ringgo Agus Rahman juga cukup menghibur dalam memainkan perannya yang lucu. Ia sukses membuat suasana tegang menjadi lebih mencair dengan tingkah kocak dan ekspresinya yang khas. Performa akting standar mungkin bisa dilihat dari seorang Indra Bekti, Adila, Dewi Yull, Ferry Maryadi dan pemeran-pemeran lain yang masih kurang natural dalam berperan. Akting mereka tidak maksimal jika dibandingkan para aktor dan aktris yang berperan sebagai orang Korea itu sendiri.

 Setiap langit memilih bintangnya, hanya kamu bintangku dan aku jatuh cinta dan itu fakta !.

Cerita film ini menarik. Ada sedikit hal yang menyentil sisi poligami dalam Islam. Ada sisi travellingnya yang ditampilkan melalui adegan-adegan indah di beberapa lokasi wisata yang mempesona. Ada konflik dari percintaan yang juga dimunculkan pada scene-scene tepat. Hingga beberapa dialog pun keluar dari mulut para pemain tanpa basa-basi apalagi bertele-tele. Secara keseluruhan cerita, hal ini menambah rasa penasaran penonton hingga cerita selesai. Ini perpaduan film yang bagus.
Walaupun demikian, secara umum film ini sebenarnya hanya berkutat masalah drama percintaan. Sedangkan travelling dan jilbab, bisa dibilang hanya sebatas pelengkap. Film ini serupa dengan kemasan film 'Assalamualaikum Beijing' secara tema, tapi ceritanya memiliki unsur berbeda. Untuk alur penceritaan, perputaran waktu difilm ini begitu cepat. Mungkin ini untuk menutupi plot hole yang banyak ditemui dalam film ini.
Walaupun penonton berusaha untuk memakluminya, film ini pun tetap memiliki logika yang terus berkesinambungan. Tidak menghadirkan hal-hal serba kebetulan dan semuanya terasa mudah. Hubungan sebab-akibat selalu berlaku, tapi film ini cukup mengabaikannya.
Untuk eksekusinya, film ini bisa menghadirkan dramatisasi yang baik. Dengan beberapa adegan dan dialog yang mendukung, karena tidak semuanya kaku. Namun, ada adegan dan dialog yang cukup aneh untuk dilihat dan didengar, terutama yang menggunakan bahasa korea. Beberapa produk iklan juga terkesan 'promo' banget, namun kemunculan produknya saat adegan berlangsung sangat terasa halus dikemas. 

'Terjebak antara khayal dan fakta, ku ikuti kata hatiku, aku menjadi traveler'
Guntur Soeharjanto memang sudah tahu bagaimana cara mengambil gambar yang baik di dalam dan luar negeri. Ia mampu bekerja sama dengan tim artistik untuk menampilkan sisi Kawah Ijen dan Wisata Baluran, Jawa Timur dengan begitu apik. Pengalamannya menggarap film-film bersetting luar negeri, juga membuat Guntur tak terlihat kesulitan menghadirkan visual yang menakjubkan melalui beautiful shot di film ini. Untuk shot dari drone meskipun kualitasnya jauh berbeda dari shot still camera biasa, namun tata kamera mampu menghasilkan visual yang maksimal. Meskipun, ada juga camera movement yang terasa shaking saat adegan Rania memotret.  

        Selain itu, unsur penyuntingan gambar juga menghasilkan transisi agak kasar. Cut to cut atau unsur sinematografi terkesan kurang dibeberapa part adegan. Misalnya, saat adegan Ilhan phobia ketika berada di pesawat.

Bagi aku, tata musik juga jadi salah satu departemen yang terpuji di film ini. Musik ilustrasinya cocok dalam segala suasana dan kondisi yang ada difilm. Hal ini tentu menambah feel penonton dalam meresapinya. Walaupun ada beberapa dubbing dialog yang tidak tersikronisasi dengan baik. Secara umum musik nyaman didengar. Apalagi, soundtrack yang dinyanyikan BCL - Aku Bisa Apa, gubahan lagu Melly Goeslaw memang tak pernah mengecewakan.

Kalau kamu cari film tentang travelling maupun religi, film ini bukan jawabannya. Alasannya, ending di film ini akan memperlihatkan makna cinta yang sesungguhnya dan ini sungguh luar biasa bagiku karena akhir cerita mampu mengikuti alur dramatis naik turun tanpa harus berlebihan. So, film ini ialah drama percintaan dengan background travelling dan religi, maka Jilbab Traveler itu menjadi film pilihan yang tepat. Film bagus walaupun belum mencapai taraf istimewa. Setidaknya, inilah salah satu film Indonesia cita rasa Korea.

Terinspirasi Dari Kisah Nyata Rudy Habibie



Empat tahun setelah kesuksesan film Habibie & Ainun, kini MD Pictures kembali meluncurkan karya terbarunya, film Rudy Habibie yang merupakan prekuel dari kisah hidup Habibie sebelum mengenal dan menikah dengan Ainun. Film yang dikomandoi Hanung Bramantyo ini berfokus pada lika-liku perjuangan Habibie selama bersekolah di Aachen, Jerman. Ada kisah cinta dan konflik perbedaan suku serta agama untuk mengungkap siapa sosok Rudy Habibie sebelum dikenal menjadi teknokrat dan presiden Republik Indonesia Ke-3.


Film dibuka dengan masa kecil Rudy di Pare-pare, Sulawesi. Kita diperkenalkan pada Rudy kecil yang pandai dan bercita-cita membuat pesawat. Disini dijelaskan bahwa orangtua Rudy berasal dari dua suku yang berbeda sehingga Rudy terbiasa hidup dalam pluralisme sejak kecil. Namun sayang, Rudy terpaksa hidup berpindah-pindah lantaran banyak serangan udara pada masa perang. Tapi, pemandangan alam Sulawesi nan indah tak bisa ditonjolkan serta efek visual belum berhasil meyakinkan penonton saat Rudy hidup di era kemerdekaan silam. 


Lama-kelamaan penonton mulai terbius dengan suguhan adegan-adegan yang tak biasa seperti saat Rudy disunat, kenakalan masa kecilnya dengan teman-teman tentang teori balon sampai Ia menemukan sebuah kondom untuk ditiup. Hingga adegan yang paling membuat penonton terenyuh, saat Rudy harus menggantikan ayahnya (diperankan Donny Damara) menjadi imam karena meninggal dalam keadaan khusnul khotimah ketika shalat berjamaah sekeluarga sedang berlangsung.


Pesan-pesan tersirat pun mulai bermunculan di awal cerita. Salah satu yang kerap diulang yaitu tentang ambisi Rudy membuat pesawat terbang demi memenuhi pesan almarhum ayahnya untuk menjadi mata air yang bisa penonton definisikan untuk menjadi berguna bagi banyak orang. Semua akan mudah terngiang di telinga penonton.


Kemudian penonton diajak menuju masa ketika Rudy yang sudah dewasa (diperankan Reza Rahadian) baru saja tiba di Aachen untuk mengikuti tes masuk Universitas RWTH. Di sekolah ini, ia mendapatkan teman-teman baru secara tidak sengaja yang berasal dari latar belakang beragam. Ada kenalan lamanya dari ITB, Liem Keng Kie (diperankan Ernest Prakasa), seorang keturunan Tionghoa dari Bandung. Ada putri Sultan Solo, bernama Ayu (diperankan Indah Permatasari) serta abdinya, Sugeng (diperankan Bagas Luhur Pribadi). Ada juga Peter Manumasa (diperankan Pandji Pragiwaksono), yang merupakan mantan tentara pejuang kemerdekaan, serta Poltak Hasibuan (diperankan Boris Bokir), anak Medan yang ceria dengan fashion style norak alias tubrukan. Mereka semua merupakan pemegang passport biru alias penerima beasiswa pemerintah, kecuali Rudy yang dibiayai oleh ibunya (diperankan Dian Nitami).


Sosok Rudy Habibie dalam film ini digambarkan begitu jenius dan sempurna. Ketika diremehkan oleh orang dalam sekejap ia berhasil membuktikan bahwa mereka salah. Walaupun bossy, tapi Rudy tetap populer dikalangan mahasiswa Indonesia. Eksekusi terhadap karakter Rudy tidak terlalu terasa karena sejak awal ia divisualkan sebagai sosok paling pintar dan selalu benar. Sampai akhirnya, Ia didera berbagai kesulitan, sang sutradara memvisualkan karakter Rudy dengan ketaatannya beribadah, terutama dalam melaksanakan shalat. 


Unsur religi memang ditampilkan dalam film ini, tapi beberapa tidak dieksekusi dengan baik. Misalnya, saat adegan makan makanan haram yang mengandung babi tanpa disengaja, Rudy Habibie tak merasa bersalah atau sekedar mengucap istighfar. Ia malah asyik bercanda kepada si penjual makanan untuk meminta kembali uang yang telah dibayarkan.


Nah, film Rudy Habibie pun bergulir menjadi seperti kisah anak SMA. Sebagai murid non-beasiswa, ia sering dibully oleh sekumpulan mahasiswa ikatan dinas alias Laskar Pelajar. Mereka meragukan kepintaran Rudy dan kerap mengejeknya. Di sisi lain, terjadi cinta segitiga dengan Ilona Ianovska (diperankan Chelsea Islan) dan Ayu, yang menyebabkan persahabatan Rudy bersitegang. Hmm, too much drama? Its reality or fictive?!


Masalah yang dihadapi Rudy di luar negeri juga semuanya seolah terkontrol. Tersisa adegan-adegan klasik yang pasti dialami seluruh mahasiswa perantauan, mulai dari kekurangan uang, kelaparan, sakit, atau ide-ide yang ditentang. Padahal justru penonton ingin melihat perubahan seorang mahasiswa muda yang perlahan-lahan berkembang menjadi tokoh negara visioner pada masa itu. Kurang greget istilahnya untuk menelaah perjuangan seorang Rudy Habibie seperti di film sebelumnya yang menghasilkan sesuatu yang besar.


Ada banyak kejadian bersejarah dalam film ini coba ditampilkan. Misalnya seperti saat Rudy menggagaskan visi misi pembuatan organisasi PPI Aachen atau saat ia memperjuangkan jalannya Seminar Pembangunan bagi seluruh mahasiswa Indonesia di Eropa. Berkali-kali Rudy harus berseteru dengan pihak pemerintah. Namun akibat fokus cerita yang bercabang, justru hal-hal penting ini tidak dijabarkan dengan detail. Ditampilkan juga masalah Irian Barat atau ketidakikutsertaan Indonesia dalam NATO yang juga membuat penonton bingung. Ditambah lagi, alibi Rudy saat ditanya oleh warga sekitar yang penasaran dengan kepandaiannya berbahasa Jerman dan dijawab dengan penuh ambiguitas yang konyol.


Plot campuran memang membuat film ini terasa complicated. Gaya penceritaan yang padat dengan tempo cepat menjadikan film ini terlihat berisi. Secara keseluruhan tim produksi telah berupaya memperhatikan detail secara proporsional. Film ini pun bisa dinikmati oleh penonton karena mereka akan dibiarkan terlarut dalam setiap pergolakan emosi yang terjadi.


Dibalik itu semua, akting Reza Rahadian kembali menyuguhkan performa terbaiknya sebagai Rudy Habibie. Dengan aksen khas dan bahasa Jerman fasih didukung olah tubuh seperti cara berjalan dan gaya berbicara sosok Rudy Habibie, Reza terlihat sangat alami sebagai anak muda di tahun 1950-an. Emosinya ketika merasakan kegagalan, serta kesedihannya saat jatuh sakit dan homesick begitu memilukan. Malu, tidak mau merepotkan orangtua, dan ingin membuktikan bahwa dia bisa berdiri sendiri merupakan suatu fase yang pasti pernah dirasakan mahasiswa mana pun yang sedang belajar nun jauh disana.


Akting teman-teman sesama mahasiswa mampu mengimbangi para pemeran utama. Ernest dan Pandji yang memiliki latar belakang sebagai stand up comedian mampu berakting serius. Tapi, saya lebih salut dengan keseriusan Pandji yang berperan natural dibanding Ernest Prakasa. Indah Permatasari sebagai Ayu juga tampil menarik bak putri keraton modern dengan logat Jawa. Hanya peran Ilona saja sebagai seorang wanita keturunan Polandia yang kurang pas dimainkan oleh Chelsea Islan. Ia tampak mengada-ada dalam setiap ucapannya.


Mixing yang diproduksi di Los Angeles, USA juga berhasil meniupkan nada-nada ke telinga penonton untuk merasakan sensasi saat menonton di gedung bioskop yang kedap suara. Original soundtrack buah karya Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dinyanyikan Cakra Khan dalam judul Mencari Cinta Sejati juga membuat penonton terkesima.


Bicara tentang artistik, setting dan kostum era 1940-1950an dalam film ini tampak elegan. Penampilan kaum terpelajar tampak disesuaikan pada tuntutan zamannya. Walaupun dibeberapa scene, ada period movie yang perlu ditingkatkan lagi untuk meyakinkan penonton bahwa adegan ini terjadi dibeberapa tahun silam.


Pada akhirnya, pesan moral yang ingin disampaikan dalam film ini terasa blur. Bahkan diakhir film, terselip spoiler untuk Habibie & Ainun 3 yang rencananya akan tayang tahun depan! Whhaaatttt! Saya akan semakin penasaran untuk menonton sekuel ketiga film ini.


Mungkin lewat film ini, Produser Manoj Punjabi yang juga eksis bermain dalam film bermaksud mengungkap sisi seorang Rudy Habibie yang lebih manusiawi dan mudah dicerna oleh semua kalangan. Blogger pun merasakan jiwa nasionalisme begitu kuat dari dalam diri Rudy Habibie. Dengan setting Eropa yang mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot film ini memang cocok sebagai inspirasi segala generasi*


Habibie & Ainun ; Kisah Cinta Nasionalis yang Serba Minimalis



     Film adalah urutan gerak dari gambar hidup yang membentuk seni visual baru melalui media komunikasi lengkap, ditujukan kepada mata juga pendengaran, yang berakar kepada seni ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi suatu bagian dari kehidupan modern. Kebangkitan perfilman Indonesia di era globalisasi menjadi tantangan sendiri bagi sineas perfilman untuk membuat film yang berkualitas dari sisi teknik dan teknis. Cerita yang diangkat pun beragam, ada yang berdasarkan kisah nyata, adaptasi dari novel atau buku, maupun ide kreatif dari sineas itu sendiri. Dari sekian banyak film yang diproduksi para sineas di tahun 2012-2013, Film Habibie & Ainun menjadi sebuah film yang paling fenomenal di jagat perfilman.

     Kehebohan film Habibie & Ainun membuat banyak orang penasaran ingin menonton. Alasannya, sang sutradara mengangkat tema sebuah kisah percintaan klasik yang diadaptasi dari buku Habibie dan Ainun itu sendiri. Buku tersebut sudah laris terlebih dahulu dipasaran. Kisah nyata percintaan seorang Habibie yang pernah menjadi orang nomor 1 di Republik Indonesia  menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Alhasil, film Habibie & Ainun sama larisnya dengan penjualan buku yang sudah terbit.

     Layaknya sebuah karya tidak pernah ada kata sempurna. Semua pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tergantung, bagaimana kita mengapresiasikannya. Mari kita bahas satu per satu untuk film Habibie & Ainun.

     Pertama, tema sebuah film. Tema film Habibie & Ainun bercerita tentang percintaan Habibie dan Ainun yang begitu romantis dan terkesan nasionalis. Sejak dari awal perkenalan hingga terpisah oleh ajal yang menjemput. Kisah cinta mereka tergolong memiliki nilai sejarah sehingga storytelling yang dihadirkan hingga akhir cerita bernuansa nasionalisme. Perjuangan dua orang anak bangsa yang mencintai negerinya dan mengorbankan dirinya sendiri.
     Namun, balutan sejarah Indonesia yang kuat dalam perjuangan cinta mereka terhadap bangsa tidak terekam dengan baik. Akibatnya, film tersebut memberikan pandangan sempit dalam suatu persoalan. Tidak ada beda dengan film-film bertema cinta yang beredar dipasaran. Hanya ada adegan-adegan kesetiaan, kasih sayang, dan pengorbanan sebagai lambang romantisme tanpa konflik  memadai. Penonton hanya terbuai dalam flashback kisah cinta mereka yang tersaji hingga akhir film ini.
     Tema percintaan pun sirna seiring dengan alur cerita yang terkesan melompat ke berbagai suasana. Ritme film terasa tak beraturan. Mungkin film ini ingin menyesuaikan cerita sesuai bukunya. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa filosofi buku dan film tersaji dalam masing-masing media yang beda.

     Kedua, adegan demi adegan tersaji dalam sebuah time lapse yang singkat. Film dibuka dengan Habibie dan Ainun muda yang terkenal cerdas saat masa SMA. Kemudian langsung beranjak ketika Habibie sudah menjadi insinyur mesin dan Ainun sudah lulus sebagai dokter umum. Diceritakan, Habibie tidak sengaja bertemu dengan Ainun dan dimulailah kisah pacaran singkat mereka. Adegan hanya disisipkan sebuah sentuhan konflik saat Ainun didekati banyak pria hebat, mapan, dan bermobil, tetapi Ainun malah memilih Habibie yang datang ke rumahnya menggunakan becak sampai adegan pun berlanjut pada prosesi pernikahan adat Jawa. Rangkaian adegan tersebut akan membuat tanda tanya para penonton, “Apa yang membuat Ainun tertarik dengan sosok Habibie…?”. Tak ada jawaban yang bisa menjelaskan dalam adegan singkat itu.
     Selain itu, adegan singkat juga tersentuh dengan nasionalis terbatas. Unsur-unsur nilai sejarah yang seharusnya menjadi nilai tambah film ini dibanding film percintaan lain tidak terlalu kuat ditampilkan. Nilai sejarah hanya berusaha ditampilkan pada properti-properti klasik yang melambangkan masa lalu. Adegan-adegan bernilai sejarah seperti pembangunan bangsa pasca kemerdekaan dan reformasi hanya ditampilkan pada sisipan-sisipan video terpotong. Hal ini cukup mengganggu dan tidak secara jelas menggambarkan situasi sosial, ekonomi dan politik era perjuangan reformasi 1998.
     Sosok Habibie sebagai presiden ketiga RI yang dilantik pasca gerakan reformasi 1998 pun tidak dapat ditampilkan dalam kumpulan snap shot yang lengkap. Penonton hanya dijejali dengan adegan-adegan masa pelantikan, beberapa konflik di Timur-Timur, dan adegan politis yang membuang-buang durasi. Masih banyak adegan lain yang menampilkan konflik yang menanggung tanpa ada sebab akibat yang mampu mencerdaskan penonton.
     Beberapa adegan malah diselingi dengan penempatan promosi produk sponsor yang tidak sesuai dengan tempatnya. Beberapa merk produk sponsor terbaru tampil dalam era berbeda. Penonton pun dibiarkan melihat layaknya tontonan televisi yang dipenuhi banyak iklan tanpa makna.

     Ketiga, pemeranan. Habibie diperankan oleh Reza Rahardian dan Ainun diperankan oleh Bunga Citra Lestari. Dalam pemilihan tokoh film, Reza Rahardian berusaha menjadi karakter Habibie yang begitu kuat, tapi secara postur tubuh Reza Rahardian tidak memenuhi kriteria. Mungkin casting director hanya melihat kejeniusan akting karakter yang ditampilkan seorang Reza Rahadian.
     Untuk peran Ainun, Bunga Citra Lestari juga berusaha memerankan perempuan Jawa kuno yang lembut namun make up yang digunakan kurang mendukung sehingga ekspresi  ditampilkan terlalu dipaksakan. Walaupun penghayatan dalam setiap adegannya patut diacungi jempol.
     Pemeranan memang menambah nilai positif dalam film ini. Karakter Habibie & Ainun yang ditampilkan mampu menjadi cermin bagi anak muda untuk menjalani bahtera pernikahan. Sebagai sosok individu jenius, biasanya kejeniusan identik dengan sifat kaku, tidak bisa bergaul, dan egois. Namun, Habibie ditampilkan sosok jenius berbeda. Ia tampil apa adanya, disenangi banyak orang, dan mengedepankan kepentingan bangsa. Sama halnya dengan sang istri, Ainun.
     Namun sangat disayangkan, karakter jenius yang ditampilkan sosok Habibie tidak didukung dengan teori-teori kecerdasan Habibie yang mampu menciptakan pesawat terbang. Teori-teori keilmuan hanya hadir saat Habibie bekerja untuk industri mesin kereta api di Jerman. Jika sentuhan teori ilmu pengetahuan tentang pesawat terbang dihadirkan, hal ini mampu menambah wawasan penonton dan membuat bangsa Indonesia semakin bangga dengan sosok Habibie.

      Keempat, unsur artistik tidak sesuai dengan tema film. Beberapa setting latar tempat di Jerman mengurangi nilai artistik film yang bernafaskan nasionalisme ini. Film ini seolah ikut menjual potensi negara Jerman yang begitu berkembang dibandingkan Indonesia. Latar tempat di Jerman pun sempat menghadirkan efek musim salju yang terkesan dipaksakan. Kondisi demikian hanya terlihat sebagai adegan pelengkap yang menunjukkan adanya perbedaan iklim antar dua negara tersebut.
     Untung saja, penata artistik masih bisa membuat tema film ini hidup dengan menempatkan hand property seperti cincin kawin yang menjadi simbol cinta. Cincin kawin tampak jelas menjadi detail shot yang digunakan Habibie & Ainun dalam beberapa kesempatan. Aksesoris tersebut setidaknya menunjang pesan yang tersirat bahwa cinta akan menemani masa-masa sulit sepasang suami istri dimanapun mereka berada dan dalam kondisi seperti apapun yang mereka hadapi.

     Kelima, pesan yang ingin disampaikan. Beberapa sindiran nasionalisme terungkap pada film ini. Dimulai ketika bangsa yang besar tidak dapat menghargai semangat anak bangsa yang ingin memajukan negaranya. Lalu, ada juga adegan-adegan masa pemerintahan yang diwarnai praktek suap menyuap dengan menghalalkan segala cara yang seolah menjadi budaya Indonesia. Terlalu vulgar memang, ketika sindiran nasionalis ditampilkan. Seharusnya sindiran yang mengandung pesan tersebut ditempatkan sewajarnya dan tidak terlalu diekspos agar nama baik bangsa Indonesia tetap terjaga jika film ini diputar di festival negara lain.

     Di balik itu semua, kita pasti akan menikmati film ini hingga akhir cerita. Audio dan original soundtrack mampu menghipnotis kita untuk larut dalam kisah cinta sejati Habibie & Ainun. Sentuhan-sentuhan humor ringan juga mampu meredakan suasana kaku yang terjalin dalam setiap storylines yang ditampilkan. Overall, kita harus bangga dengan film produksi anak bangsa ini. Kisah cinta nasionalis yang tulus dan luar biasa akan bisa menjadi cermin untuk kita semua, walaupun semua tersaji dalam sebuah media audio visual yang serba minimalis. #ApresiasiFilmIndonesia

Kritik Film ini ditulis untuk mengikuti Lomba Penulisan Kritik Film Piala Maya di Tahun 2013*