Kejutan besar dari
dunia perfilman Indonesia saat ini datang dari sebuah film berjudul Ada ApaDengan Cinta 2. Jarak ratusan purnama yang dinanti oleh jutaan mata tentang
kisah Cinta dan Rangga yang pernah menghias layar lebar hingga layar kaca kembali menggema.
Dulu, saat menonton film ini, Blogger Eksis masih berseragam putih biru dengan wajah nan lugu. Sekarang, saat menonton, saya juga berseragam kantor putih biru namun sudah mampu menyimak adegan demi adegan yang penuh haru dengan nuansa rindu.
Dulu, saat menonton film ini, Blogger Eksis masih berseragam putih biru dengan wajah nan lugu. Sekarang, saat menonton, saya juga berseragam kantor putih biru namun sudah mampu menyimak adegan demi adegan yang penuh haru dengan nuansa rindu.
Seiring berkurang
usia kita, keingintahuan akan kelanjutan kisah ini semakin memuncak. Hal ini
menimbulkan demam atau kepo akut yang diderita generasi 80-90an. Imajinasi pun menembus batas karena setelah menonton film ini banyak yang BaPer katanya.
Hadir sekuel AADC melepas dahaga geliat perfilman Indonesia yang penuh gejolak fantasi jutaan
mata. Sampai akhirnya, aku pun memutuskan untuk melihat kembali bagaimana kisah
Rangga dan Cinta dalam konteks kekinian.
Perjalanan sehari semalam
antara Cinta dan Rangga menyusuri kota Yogya penuh dengan narasi dan dialog
yang menjadi inti kisah asmara mereka selama ini. But, its moment travelling distraction because adegan yang mereka
lalui itu tak menyiratkan ekspresi lelah atau sekedar mengantuk dikala malam
sudah mulai larut.
Kecewa pun berlanjut karena
beberapa hal tak sesuai dengan harapan.
Kisah Cinta dan Rangga
memang penuh kenangan terindah. Euforia rasa sejak masa SMA hingga dewasa
memberi ruang untuk kita bertanya Ada Apa Dengan Cinta? Cinta dan Rangga pun
masih hadir sebagai ikon pasangan remaja
yang ideal namun penuh sensasional. Cerita asmara terasa mengalir antar keduanya. CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) a.k.a. CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) terasa jelas menghias setiap adegan.
Tak ada lagi problematika masa SMA yang penuh persoalan. Film AADC 2 berusaha masuk ke dalam dengan membuat suatu pilihan antara berkutat di masa lalu dengan penuh rasa galau atau melangkah ke apa yang disebut kehidupan mapan agar bisa dibilang move on. Nostalgia ini diangkat dengan cara yang berbeda. Mencari cara mengungkap sebuah reuni dikehidupan nyata, ketika kisah hidup seseorang yang sudah lama tak berjumpa akhirnya terungkap hanya dengan menyimaknya berbicara.
Tak ada lagi problematika masa SMA yang penuh persoalan. Film AADC 2 berusaha masuk ke dalam dengan membuat suatu pilihan antara berkutat di masa lalu dengan penuh rasa galau atau melangkah ke apa yang disebut kehidupan mapan agar bisa dibilang move on. Nostalgia ini diangkat dengan cara yang berbeda. Mencari cara mengungkap sebuah reuni dikehidupan nyata, ketika kisah hidup seseorang yang sudah lama tak berjumpa akhirnya terungkap hanya dengan menyimaknya berbicara.
Sastra ala puisi yang menjadi trademark dalam film ini juga masih
tersaji secara mumpuni. Setiap puisi yang
dilantukan melalui narasi dalam film AADC 2 mencerminkan suara hati Rangga. Tapi, sajak
terlontar berlalu begitu cepat tanpa suatu rasa. Sepertinya pilihan diksi
terbatas pada bahasa pujangga bukan bahasa sastra. Hanya tersisa untaian
kata-kata yang menyiratkan suasana dengan majas hiperbolanya. Para penonton pun
akan segera mengetahui bahwa si penyair memposisikan diri sebagai Rangga. 'its only quiet scenes reimagine the ordinary'
Tak ada hal yang membekas sebagai gimmick. Nyaris semua dialog tak bisa dijadikan 'quote' trending topic yang mudah diulang dalam bahasa gaul sehari-hari seperti dari sekuel pertamanya. Amunisi film ini terasa hilang begitu saja.
Bagi aku, cerita ditulis terlalu sempurna tanpa tanda tanya yang membuat penonton bangga. Materi cerita terlihat samar dibeberapa waktu dan terkesan berputar pada hal-hal itu saja. Konflik tak terbangun dengan alur dramaturgi karena film hanya berisi kata-kata Rangga yang mencurahkan isi hatinya.
Point of view datang dari seorang Rangga yang pandai bercerita. 'Its too much back and forth narration'. Skenario didominasi oleh Rangga dengan ungkapan segala alibi didalamnya. Sepucuk surat saat perpisahan dan foto saat pacaran pun hanya menjadi memorabilia untuk bercerita. Tidak ada flashback scene yang bisa mendramatisir suasana.
Bagi aku, cerita ditulis terlalu sempurna tanpa tanda tanya yang membuat penonton bangga. Materi cerita terlihat samar dibeberapa waktu dan terkesan berputar pada hal-hal itu saja. Konflik tak terbangun dengan alur dramaturgi karena film hanya berisi kata-kata Rangga yang mencurahkan isi hatinya.
Point of view datang dari seorang Rangga yang pandai bercerita. 'Its too much back and forth narration'. Skenario didominasi oleh Rangga dengan ungkapan segala alibi didalamnya. Sepucuk surat saat perpisahan dan foto saat pacaran pun hanya menjadi memorabilia untuk bercerita. Tidak ada flashback scene yang bisa mendramatisir suasana.
Memang film ini
memiliki kesamaan seperti film terdahulu dengan tutur bercerita yang mampu
membolak-balik emosi penonton, tetapi minim konflik justru menimbulkan kisah
cinta klasik seperti pangeran dan permaisuri yang akhirnya hidup bahagia. Sang
sutradara tampak hanya mengolah kedewasaan para pemeran didalamnya bukan
masalah dengan Cinta karena Cinta masih hadir dengan jiwa labil seperti dahulu kala.
Perkembangan psikologis para karakter pun coba diolah. Spotlight pemeranan ditampilkan apa adanya karena penampilan mereka masih sama seperti masa remaja.
Hanya Milly yang tampak berbadan dua karena sedang mengandung anaknya. Setiap
celotehan Milly juga berhasil mengundang gelak tawa para penonton, namun ada 1
adegan saat Milly ditanya mengenai nama anaknya, ia menjawab tanpa berpikir
lama seperti biasanya.
Di film yang kedua ini, karakter Maura juga tidak terlalu kuat. Bisa dibilang, Ia kurang menggoda hanya sebagai pemanis belaka. Lebih baik karakter Maura yang dihilangkan dibanding Alya. Untuk Karmen, memang penampilannya membuat aku terkesima. Beberapa cerita tentang keras kehidupan yang dia alami coba ditampilkan tetapi kesukaan terhadap olahraga basket tak tampak lagi dalam film kali ini karena ia lebih memilih yoga untuk relaksasi diri.
Di film yang kedua ini, karakter Maura juga tidak terlalu kuat. Bisa dibilang, Ia kurang menggoda hanya sebagai pemanis belaka. Lebih baik karakter Maura yang dihilangkan dibanding Alya. Untuk Karmen, memang penampilannya membuat aku terkesima. Beberapa cerita tentang keras kehidupan yang dia alami coba ditampilkan tetapi kesukaan terhadap olahraga basket tak tampak lagi dalam film kali ini karena ia lebih memilih yoga untuk relaksasi diri.
Walau demikian, para pemeran AADC 2 memiliki
emosi yang kuat, tidak bisa dibuat-buat karena chemistry yang ditampilkan tepat. Dari itu semua, aku memang
paling suka dengan pola komunikasi kelompok dalam genk ini yang paling juara. Tapi, genk Cinta kurang
menyatu karena tak ada hal-hal senada seperti dahulu yang diolah sang sutradara. Hanya perbedaan
karakter yang tersisa dan satu lagu kenangan yang mereka coba ingat tentang
masa lalu berjudul Kesepian Kita by. Pas Band.
Dari semua elemen
dibalik layarnya, Aku pun terjebak nostalgia. Aku memang suka dengan musiknya.
Seniman dibalik alunan nada ini tak pernah ragu dalam berkarya. Melly Guslaw
berhasil memasuki jiwa dalam setiap adegan bahkan untuk setiap ilustrasi musik
diberbagai film yang digarapnya.
Tata artistik pun mampu eksplorasi terhadap kota Yogya dengan menampilkan beberapa spot berbeda yang memiliki keunikan tersendiri didalamnya. Penata kamera juga berhasil menyajikan sesuatu yang tidak biasa. Penempatan sponsor sudah tepat, hanya ada beberapa part yang terlalu cepat. Padahal penonton sudah jeli untuk melihat keberadaan produk-produk sponsor yang memang ditampilkan dalam film jika pas pada porsinya.
Ada usaha untuk membuat film lebih fresh, tapi tetap saja menurutku tak bisa terulang daya magis versi orisinilnya. Managemen konflik tentang cinta terasa rekonsiliasi yang seperti itu saja setelah sekian lama. Gesekan perasaan benci tapi rindu yang menggoda hadir untuk menjebak penonton dalam nuansa nostalgia. Kesan yang dihasilkan setelah menonton film ini pun hanya berputar pada dua karakter utama yang ujung cerita sudah bisa ditebak.
Tata artistik pun mampu eksplorasi terhadap kota Yogya dengan menampilkan beberapa spot berbeda yang memiliki keunikan tersendiri didalamnya. Penata kamera juga berhasil menyajikan sesuatu yang tidak biasa. Penempatan sponsor sudah tepat, hanya ada beberapa part yang terlalu cepat. Padahal penonton sudah jeli untuk melihat keberadaan produk-produk sponsor yang memang ditampilkan dalam film jika pas pada porsinya.
Ada usaha untuk membuat film lebih fresh, tapi tetap saja menurutku tak bisa terulang daya magis versi orisinilnya. Managemen konflik tentang cinta terasa rekonsiliasi yang seperti itu saja setelah sekian lama. Gesekan perasaan benci tapi rindu yang menggoda hadir untuk menjebak penonton dalam nuansa nostalgia. Kesan yang dihasilkan setelah menonton film ini pun hanya berputar pada dua karakter utama yang ujung cerita sudah bisa ditebak.
Sampai akhir, ekspetasi aku mulai tinggi karena ku pikir film ini akan penuh konflik dewasa yang
lebih beda dari film pertama. Nyatanya, sinkronisasi antara gambar dan suara ada yang tak tersunting dengan lancar dibeberapa part. Adegan klise semakin terperangkap saat Rangga memutuskan untuk menemui ibunya dengan motivasi seperti itu saja yang tak lagi digenangi air racun jingga. Meskinya, adegan ini memiliki potensi kekuatan emosional yang tak kalah dari aspek romantis seorang pemuda yag memiliki dinding hati terkesan kelam dan kedinginan. At least, ending masih saja dibuat ambigu agar penonton menentukan sendiri jawabnya. Kurang menggigit
istilahnya, mungkin karena film ini menganut paham art cinema narration.
Andai saja, kisah cinta
mereka dibuat bad ending, pasti film
AADC 2 akan terasa semakin beda dan sempurna. Sudah terlalu klise jika semua
kisah asmara dalam film bak legenda dari negeri dongeng yang selalu happy ending. Sama saja aku menonton
kisah cinta di serial FTV, sinetron, atau telenovela.
Pun penyampaian pesan
di last scene tampak jelas memberi kode bagi pihak televisi jika ada yang berminat membuat versi serial kembali. Bisa juga diidentifikasi untuk pembuatan web series demi keuntungan para pekerja film yang berlipat ganda atau memang sengaja diberi ruang agar film AADC 3 bisa kembali diproduksi. Kita lihat
saja nanti, sampai purnama ke berapa kisah ini akan berakhir.
Tapi, aku pasti akan kembali dalam satu purnama untuk menonton Film AADC 3
Bukan untuk nostalgia, bukan untuk bermuram durja .
. .
Tapi, untuk menikmatinya ...
Karena aku cinta film Indonesia . .
Itu saja*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar