Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Film Koala Kumal ; sebuah komedi patah hati untuk menertawakan kembali hidup Raditya Dika



Setelah sukses dengan film Single dan Marmut Merah Jambu, Raditya Dika membuat film Koala Kumal dibawah naungan rumah produksi Starvision Plus. Seperti biasa, ia bertindak sebagai penulis skenario, sutradara, hingga aktor sekaligus. Impian gue banget bisa jadi kaya gitu !.


Di Koala Kumal, Raditya Dika masih sama mengajak penonton menertawakan kehidupan pribadinya. Racikannya terhadap genre film komedi selalu memasukkan unsur keluarga dalam filmnya. Bahkan kali ini, Ia langsung mendirect keempat adiknya untuk ikut main di film ini. Tapi, yang mana yaa adiknya?!? . .  Jadi siapa sih?! Sampai sekarang aku masih belum bisa menemukannya. Hahaha . . .


Buat penggemar bukunya, tentu sudah hafal dengan benang merah disetiap karya Dika. Katanya sih ini menjadi buku terakhir yang ditulisnya. Walaupun begitu, buku dan film Raditya Dika selalu tak pernah sama. Ini yang menjadi sesuatu menarik.

Naskah diramu begitu cerdas. Dialog mengalir pintar. Plot pun tersaji dengan menarik. Setting tampil dengan santai. Semua menghasilkan cerita anti mainstream. Bagi aku, film ini terasa ringan, sehingga menikmatinya pun tak pernah membosankan. Emosi penonton masih berhasil dimainkan, walaupun dibeberapa part sisi dramatisnya kurang punya feel.


Opening scene dideskripsikan dengan adegan-adegan merekam video dengan nuansa mesra untuk mengungkap makna dari cinta. Video ini dibuat sebagai konsep undangan dihari bahagianya. Lalu, penonton mulai menyimak visualisasi kisah patah hati seorang Dika yang secara tiba-tiba ditinggal sang pacar bernama Andrea (diperankan oleh Acha Septriasa) hanya karena orang ketiga. Andrea berpaling ke lelaki yang lebih tampan yaitu James (diperankan oleh Nino Fernandez). 


 “Hmm . . . cinta pasti berakhir tragis dan ujungnya cinta itu perpisahan !”


Nah, dari kejadian itu Dika merasakan patah hati terhebat dalam hidupnya. Dika menjalani hari demi hari tanpa semangat seperti sebelumnya. Kegundahan hatinya berdampak terhadap deadline tulisan yang menjadi berantakan. Singkat cerita, si cowok patah hati itu  bertemu dengan perempuan bernama Trisna (diperankan oleh Sheryl Sheinafia). Cewek ini memiliki pengalaman sama dan merasakan patah hati terberat uga dalam hidupnya. Mereka pun berteman baik untuk saling menyembuhkan luka dihatinya masing-masing.

Trisna coba membantu Dika untuk bangkit dari kepahitan batal kawin dengan sederetan adegan tingkah-tingkah konyol. Mulai dari terlihat kuat dihadapan mantan, mengikuti biro jodoh, sampai membuat jebakan untuk menjatuhkan pasangan lawan terbilang nekat dilakukan. Semua terjadi agar mereka bisa move on katanya. Tapi, Andrea pun semakin memanasi keadaan dengan membuat konsep undangan pernikahan dengan James yang sama untuk resepsi pernikahannya kala berpacaran dengan Dika.


Putus nyambung kisah asmara Dika dan Andrea semakin seru. Banyak scene yang tak terduga dimana hal itu terjadi di kehidupan nyata Raditya Dika. Ia menampilkan bagaimana melihat patah hati dari sudut berbeda. Tak ada ungkapan galau mele atau tentang rasa sakit yang mendalam alias BaPer. Penonton akan belajar dan memandang patah hati karena ditinggalkan oleh orang yang kita sayang itu bukan akhir dari segalanya. Justru ketika kita ditinggalkan orang yang kita sayang akan membuat kita bisa menjadi pribadi lebih kuat lagi dari sebelumnya.


Secara keseluruhan, visual mampu mengungkap gambar jernih. Perpaduan angle dan shot type sudah tepat. Punch line gambar dan visual tersinkronisasi dengan baik. Layak jika film ini mampu memberi warna tersendiri dari segi sinematografi.

Jika dilihat dari segi pemeranan, Sheryl Sheinafia berusaha totalitas memerankan karakter Trisna. Secara tokoh, Sheryl mampu menempatkan diri saat Trisna harus menjadi orang yang menyebalkan, menggemaskan, atau bahkan rapuh sekalipun. Aktingnya natural binggo dengan didukung bakat yang proporsional menjadikan Ia pantas diperhitungkan sebagai aktris multi talenta. Raditya Dika pun sebagai diri sendiri mampu bermain bagus. Walaupun secara tokoh yang diperankan selalu sama dari peran-peran sebelumnya. Yang berkesan bingits bagi aku, saat Dika sedang patah hati dan disuruh Trisna menjadi gembel dihadapan Andrea itu jadi adegan tergokil.

Pemeran pendukung lain, seperti Acha Septriasa dan Nino Fernandez juga memiliki akting matang dibanding peran mereka di film lain yang sedang tayang. Beberapa pemeran lain yang dimainkan oleh aktor dan aktris papan atas seperti Cut Mini, Dwi Sasono, Ernest Prakasa, Lydia Kandou, Dede Yusuf, dan Henky Sulaiman pun berhasil menjaga konsistensi flow film agar tetap berjalan seimbang di jalur komedinya.

Lelucon hadir begitu cepat tanpa basa-basi. Jajaran cameo yang berasal dari stand up comedy atau berprofesi sebagai YouTubers juga mampu mengalirkan suasana. Walaupun ada beberapa part yang bisa saja dihilangkan dan tidak berpengaruh dalam content cerita. Misalnya, saat adegan James dan Andrea meributkan tentang flashdisk di sebuah kamar pasien. Memang ini tak begitu logis, tapi ujungnya mampu membuat penonton tertawa.


By the way, ilustrasi musik memang tidak ditonjolkan dalam film ini. Terkadang, jadi tidak mendukung unsur humor yang kurang greget. Beberapa adegan pun terasa KenTang (dibaca: Kena Tanggung). Meski demikian, tata audio berhasil tertutupi melalui original soundtrack yang dinyanyikan oleh Sheryl Sheinafia, dengan judul Kedua Kalinya dan Kutunggu Kau Putus mampu mengisi serpihan hati penonton yang pasti ejakulasi terhadap film ini.


Puncaknya, satu adegan pun mampu mencairkan seisi bioskop saat Dika harus akting seperti terkena stroke ringan setelah minum obat pelemas otot. Komika yang satu ini memang tahu betul kapan momen tepat mengocok perut penonton dan ini lucu*.

Sayangnya, setelah menonton film ini, aku tidak bisa menemukan makna dari judul Koala Kumal itu sendiri. Memang, ada adegan yang memperlihatkan saat Dika dan Andrea kembali mengulang masa indahnya berpacaran dengan pergi ke sebuah galeri dan melihat lukisan Koala Kumal, tapi saat Andrea menjelaskan makna lukisan itu, aku tak bisa menangkapnya dengan jelas. Maklum saja, aku menonton sambil sibuk update status di Path.. hha




Ok, guys . . . Yang paling aku suka di film ini itu endingnya yang gak gampang ditebak dan diluar dugaan. Finally, tentu akan ada fase dimana kita akan merasakan patah hati, tapi bukan berarti setelah patah hati kita terlarut dalam kesedihan terus-menerus, karena itu hanya akan mengganggu aktivitas kita saja. Sebuah pesan pun tersirat di akhir cerita : 
"Jodoh itu bukan ditunggu tapi dicari !. Kita boleh patah hati, tapi jangan tutup hati. Semua terjadi pasti ada alasannya dan pintu hati harus berani dibuka kembali”. #ApresiasiFilmIndonesia

Film Jilbab Traveler Love Sparks in Korea ; Film Indonesia Berselera Film Korea



Satu lagi buku laris karangan Asma Nadia divisualisasikan menjadi sebuah film bertajuk Jilbab Traveler Love Sparks in Korea. Jika di film sebelumnya, 'Pesantren Impian' bergenre thriller, 'Jilbab Traveler' memiliki genre yang mirip dengan 'Assalamualaikum Beijing', yaitu drama percintaan. Tentunya dalam setiap karya Asma Nadia, pasti diberikan sentuhan religi. Jika di film-film sebelumnya berhasil memikat hati penonton, lalu bagaimana dengan film ini?

'Jadilah seorang muslim yang menjelajah dunia . .

menapaki bumi untuk mentafakuri ayat-ayat Allah SWT . . .' 

Menurut aku, opening scene film ini keren karena didahului adegan masa kecil yang diiringi narasi dengan quote-quote hebat sang penulis cerita. Sesuai dengan judulnya 'Jilbab Traveler Love Sparks in Korea', nuansa Korea itu terasa kental dengan visual effect natural salju dan bunga sakura pada setiap adegan yang mengambil lokasi syuting sebagian di Korea. Penceritaan film juga terasa kompleks ala drama korea yang diminati berbagai kalangan remaja. 

Penokohan sosok Jilbab Traveler yang diperankan oleh seorang aktris, Bunga Citra Lestari sebagai Rania dengan mengenakan jilbab dan membawa ransel selayaknya seorang traveler juga begitu pas. Apalagi didukung aktor pendatang baru seperti Giring dan Morgan yang berperan begitu enak dengan ekspresi menarik membuat penonton begitu nyaman menikmati film ini hingga akhir cerita. Walaupun mereka mengawali karier di dunia entertainment sebagat musisi, bermain layar lebar ternyata mereka bisa lakoni dengan pasti.
Performa terbaik terasa pada akting seorang Giring Ganesha. Dia bisa memerankan dengan baik tokoh yang diperankan. Padahal karakternya jauh berbeda dengan Giring yang selama ini kita kenal. Penonton tidak akan melihat Giring sebagai penyanyi, melainkan Giring yang menjelma menjadi Ilhan. Untuk Morgan Oey, masih terlihat kurang konsisten dalam pembawaan karakternya sepanjang film. Pengucapan dialog masih terlihat dibuat-buat. Kalau mau dibandingkan, performanya lebih greget saat film Assalamualaikum Beijing.
Sedangkan Bunga Citra Lestari sebagai pemeran utama, dia berperan baik, walaupun ini bukan performa terbaiknya. Poin yang kurang, chemistry antara Morgan dan BCL masih belum terbangun. Semua terasa hambar tanpa ada rasa sayang yang ditunjukkan diantara mereka. Kehadiran aktor Ringgo Agus Rahman juga cukup menghibur dalam memainkan perannya yang lucu. Ia sukses membuat suasana tegang menjadi lebih mencair dengan tingkah kocak dan ekspresinya yang khas. Performa akting standar mungkin bisa dilihat dari seorang Indra Bekti, Adila, Dewi Yull, Ferry Maryadi dan pemeran-pemeran lain yang masih kurang natural dalam berperan. Akting mereka tidak maksimal jika dibandingkan para aktor dan aktris yang berperan sebagai orang Korea itu sendiri.

 Setiap langit memilih bintangnya, hanya kamu bintangku dan aku jatuh cinta dan itu fakta !.

Cerita film ini menarik. Ada sedikit hal yang menyentil sisi poligami dalam Islam. Ada sisi travellingnya yang ditampilkan melalui adegan-adegan indah di beberapa lokasi wisata yang mempesona. Ada konflik dari percintaan yang juga dimunculkan pada scene-scene tepat. Hingga beberapa dialog pun keluar dari mulut para pemain tanpa basa-basi apalagi bertele-tele. Secara keseluruhan cerita, hal ini menambah rasa penasaran penonton hingga cerita selesai. Ini perpaduan film yang bagus.
Walaupun demikian, secara umum film ini sebenarnya hanya berkutat masalah drama percintaan. Sedangkan travelling dan jilbab, bisa dibilang hanya sebatas pelengkap. Film ini serupa dengan kemasan film 'Assalamualaikum Beijing' secara tema, tapi ceritanya memiliki unsur berbeda. Untuk alur penceritaan, perputaran waktu difilm ini begitu cepat. Mungkin ini untuk menutupi plot hole yang banyak ditemui dalam film ini.
Walaupun penonton berusaha untuk memakluminya, film ini pun tetap memiliki logika yang terus berkesinambungan. Tidak menghadirkan hal-hal serba kebetulan dan semuanya terasa mudah. Hubungan sebab-akibat selalu berlaku, tapi film ini cukup mengabaikannya.
Untuk eksekusinya, film ini bisa menghadirkan dramatisasi yang baik. Dengan beberapa adegan dan dialog yang mendukung, karena tidak semuanya kaku. Namun, ada adegan dan dialog yang cukup aneh untuk dilihat dan didengar, terutama yang menggunakan bahasa korea. Beberapa produk iklan juga terkesan 'promo' banget, namun kemunculan produknya saat adegan berlangsung sangat terasa halus dikemas. 

'Terjebak antara khayal dan fakta, ku ikuti kata hatiku, aku menjadi traveler'
Guntur Soeharjanto memang sudah tahu bagaimana cara mengambil gambar yang baik di dalam dan luar negeri. Ia mampu bekerja sama dengan tim artistik untuk menampilkan sisi Kawah Ijen dan Wisata Baluran, Jawa Timur dengan begitu apik. Pengalamannya menggarap film-film bersetting luar negeri, juga membuat Guntur tak terlihat kesulitan menghadirkan visual yang menakjubkan melalui beautiful shot di film ini. Untuk shot dari drone meskipun kualitasnya jauh berbeda dari shot still camera biasa, namun tata kamera mampu menghasilkan visual yang maksimal. Meskipun, ada juga camera movement yang terasa shaking saat adegan Rania memotret.  

        Selain itu, unsur penyuntingan gambar juga menghasilkan transisi agak kasar. Cut to cut atau unsur sinematografi terkesan kurang dibeberapa part adegan. Misalnya, saat adegan Ilhan phobia ketika berada di pesawat.

Bagi aku, tata musik juga jadi salah satu departemen yang terpuji di film ini. Musik ilustrasinya cocok dalam segala suasana dan kondisi yang ada difilm. Hal ini tentu menambah feel penonton dalam meresapinya. Walaupun ada beberapa dubbing dialog yang tidak tersikronisasi dengan baik. Secara umum musik nyaman didengar. Apalagi, soundtrack yang dinyanyikan BCL - Aku Bisa Apa, gubahan lagu Melly Goeslaw memang tak pernah mengecewakan.

Kalau kamu cari film tentang travelling maupun religi, film ini bukan jawabannya. Alasannya, ending di film ini akan memperlihatkan makna cinta yang sesungguhnya dan ini sungguh luar biasa bagiku karena akhir cerita mampu mengikuti alur dramatis naik turun tanpa harus berlebihan. So, film ini ialah drama percintaan dengan background travelling dan religi, maka Jilbab Traveler itu menjadi film pilihan yang tepat. Film bagus walaupun belum mencapai taraf istimewa. Setidaknya, inilah salah satu film Indonesia cita rasa Korea.