Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Terinspirasi Dari Kisah Nyata Rudy Habibie



Empat tahun setelah kesuksesan film Habibie & Ainun, kini MD Pictures kembali meluncurkan karya terbarunya, film Rudy Habibie yang merupakan prekuel dari kisah hidup Habibie sebelum mengenal dan menikah dengan Ainun. Film yang dikomandoi Hanung Bramantyo ini berfokus pada lika-liku perjuangan Habibie selama bersekolah di Aachen, Jerman. Ada kisah cinta dan konflik perbedaan suku serta agama untuk mengungkap siapa sosok Rudy Habibie sebelum dikenal menjadi teknokrat dan presiden Republik Indonesia Ke-3.


Film dibuka dengan masa kecil Rudy di Pare-pare, Sulawesi. Kita diperkenalkan pada Rudy kecil yang pandai dan bercita-cita membuat pesawat. Disini dijelaskan bahwa orangtua Rudy berasal dari dua suku yang berbeda sehingga Rudy terbiasa hidup dalam pluralisme sejak kecil. Namun sayang, Rudy terpaksa hidup berpindah-pindah lantaran banyak serangan udara pada masa perang. Tapi, pemandangan alam Sulawesi nan indah tak bisa ditonjolkan serta efek visual belum berhasil meyakinkan penonton saat Rudy hidup di era kemerdekaan silam. 


Lama-kelamaan penonton mulai terbius dengan suguhan adegan-adegan yang tak biasa seperti saat Rudy disunat, kenakalan masa kecilnya dengan teman-teman tentang teori balon sampai Ia menemukan sebuah kondom untuk ditiup. Hingga adegan yang paling membuat penonton terenyuh, saat Rudy harus menggantikan ayahnya (diperankan Donny Damara) menjadi imam karena meninggal dalam keadaan khusnul khotimah ketika shalat berjamaah sekeluarga sedang berlangsung.


Pesan-pesan tersirat pun mulai bermunculan di awal cerita. Salah satu yang kerap diulang yaitu tentang ambisi Rudy membuat pesawat terbang demi memenuhi pesan almarhum ayahnya untuk menjadi mata air yang bisa penonton definisikan untuk menjadi berguna bagi banyak orang. Semua akan mudah terngiang di telinga penonton.


Kemudian penonton diajak menuju masa ketika Rudy yang sudah dewasa (diperankan Reza Rahadian) baru saja tiba di Aachen untuk mengikuti tes masuk Universitas RWTH. Di sekolah ini, ia mendapatkan teman-teman baru secara tidak sengaja yang berasal dari latar belakang beragam. Ada kenalan lamanya dari ITB, Liem Keng Kie (diperankan Ernest Prakasa), seorang keturunan Tionghoa dari Bandung. Ada putri Sultan Solo, bernama Ayu (diperankan Indah Permatasari) serta abdinya, Sugeng (diperankan Bagas Luhur Pribadi). Ada juga Peter Manumasa (diperankan Pandji Pragiwaksono), yang merupakan mantan tentara pejuang kemerdekaan, serta Poltak Hasibuan (diperankan Boris Bokir), anak Medan yang ceria dengan fashion style norak alias tubrukan. Mereka semua merupakan pemegang passport biru alias penerima beasiswa pemerintah, kecuali Rudy yang dibiayai oleh ibunya (diperankan Dian Nitami).


Sosok Rudy Habibie dalam film ini digambarkan begitu jenius dan sempurna. Ketika diremehkan oleh orang dalam sekejap ia berhasil membuktikan bahwa mereka salah. Walaupun bossy, tapi Rudy tetap populer dikalangan mahasiswa Indonesia. Eksekusi terhadap karakter Rudy tidak terlalu terasa karena sejak awal ia divisualkan sebagai sosok paling pintar dan selalu benar. Sampai akhirnya, Ia didera berbagai kesulitan, sang sutradara memvisualkan karakter Rudy dengan ketaatannya beribadah, terutama dalam melaksanakan shalat. 


Unsur religi memang ditampilkan dalam film ini, tapi beberapa tidak dieksekusi dengan baik. Misalnya, saat adegan makan makanan haram yang mengandung babi tanpa disengaja, Rudy Habibie tak merasa bersalah atau sekedar mengucap istighfar. Ia malah asyik bercanda kepada si penjual makanan untuk meminta kembali uang yang telah dibayarkan.


Nah, film Rudy Habibie pun bergulir menjadi seperti kisah anak SMA. Sebagai murid non-beasiswa, ia sering dibully oleh sekumpulan mahasiswa ikatan dinas alias Laskar Pelajar. Mereka meragukan kepintaran Rudy dan kerap mengejeknya. Di sisi lain, terjadi cinta segitiga dengan Ilona Ianovska (diperankan Chelsea Islan) dan Ayu, yang menyebabkan persahabatan Rudy bersitegang. Hmm, too much drama? Its reality or fictive?!


Masalah yang dihadapi Rudy di luar negeri juga semuanya seolah terkontrol. Tersisa adegan-adegan klasik yang pasti dialami seluruh mahasiswa perantauan, mulai dari kekurangan uang, kelaparan, sakit, atau ide-ide yang ditentang. Padahal justru penonton ingin melihat perubahan seorang mahasiswa muda yang perlahan-lahan berkembang menjadi tokoh negara visioner pada masa itu. Kurang greget istilahnya untuk menelaah perjuangan seorang Rudy Habibie seperti di film sebelumnya yang menghasilkan sesuatu yang besar.


Ada banyak kejadian bersejarah dalam film ini coba ditampilkan. Misalnya seperti saat Rudy menggagaskan visi misi pembuatan organisasi PPI Aachen atau saat ia memperjuangkan jalannya Seminar Pembangunan bagi seluruh mahasiswa Indonesia di Eropa. Berkali-kali Rudy harus berseteru dengan pihak pemerintah. Namun akibat fokus cerita yang bercabang, justru hal-hal penting ini tidak dijabarkan dengan detail. Ditampilkan juga masalah Irian Barat atau ketidakikutsertaan Indonesia dalam NATO yang juga membuat penonton bingung. Ditambah lagi, alibi Rudy saat ditanya oleh warga sekitar yang penasaran dengan kepandaiannya berbahasa Jerman dan dijawab dengan penuh ambiguitas yang konyol.


Plot campuran memang membuat film ini terasa complicated. Gaya penceritaan yang padat dengan tempo cepat menjadikan film ini terlihat berisi. Secara keseluruhan tim produksi telah berupaya memperhatikan detail secara proporsional. Film ini pun bisa dinikmati oleh penonton karena mereka akan dibiarkan terlarut dalam setiap pergolakan emosi yang terjadi.


Dibalik itu semua, akting Reza Rahadian kembali menyuguhkan performa terbaiknya sebagai Rudy Habibie. Dengan aksen khas dan bahasa Jerman fasih didukung olah tubuh seperti cara berjalan dan gaya berbicara sosok Rudy Habibie, Reza terlihat sangat alami sebagai anak muda di tahun 1950-an. Emosinya ketika merasakan kegagalan, serta kesedihannya saat jatuh sakit dan homesick begitu memilukan. Malu, tidak mau merepotkan orangtua, dan ingin membuktikan bahwa dia bisa berdiri sendiri merupakan suatu fase yang pasti pernah dirasakan mahasiswa mana pun yang sedang belajar nun jauh disana.


Akting teman-teman sesama mahasiswa mampu mengimbangi para pemeran utama. Ernest dan Pandji yang memiliki latar belakang sebagai stand up comedian mampu berakting serius. Tapi, saya lebih salut dengan keseriusan Pandji yang berperan natural dibanding Ernest Prakasa. Indah Permatasari sebagai Ayu juga tampil menarik bak putri keraton modern dengan logat Jawa. Hanya peran Ilona saja sebagai seorang wanita keturunan Polandia yang kurang pas dimainkan oleh Chelsea Islan. Ia tampak mengada-ada dalam setiap ucapannya.


Mixing yang diproduksi di Los Angeles, USA juga berhasil meniupkan nada-nada ke telinga penonton untuk merasakan sensasi saat menonton di gedung bioskop yang kedap suara. Original soundtrack buah karya Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dinyanyikan Cakra Khan dalam judul Mencari Cinta Sejati juga membuat penonton terkesima.


Bicara tentang artistik, setting dan kostum era 1940-1950an dalam film ini tampak elegan. Penampilan kaum terpelajar tampak disesuaikan pada tuntutan zamannya. Walaupun dibeberapa scene, ada period movie yang perlu ditingkatkan lagi untuk meyakinkan penonton bahwa adegan ini terjadi dibeberapa tahun silam.


Pada akhirnya, pesan moral yang ingin disampaikan dalam film ini terasa blur. Bahkan diakhir film, terselip spoiler untuk Habibie & Ainun 3 yang rencananya akan tayang tahun depan! Whhaaatttt! Saya akan semakin penasaran untuk menonton sekuel ketiga film ini.


Mungkin lewat film ini, Produser Manoj Punjabi yang juga eksis bermain dalam film bermaksud mengungkap sisi seorang Rudy Habibie yang lebih manusiawi dan mudah dicerna oleh semua kalangan. Blogger pun merasakan jiwa nasionalisme begitu kuat dari dalam diri Rudy Habibie. Dengan setting Eropa yang mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot film ini memang cocok sebagai inspirasi segala generasi*


Habibie & Ainun ; Kisah Cinta Nasionalis yang Serba Minimalis



     Film adalah urutan gerak dari gambar hidup yang membentuk seni visual baru melalui media komunikasi lengkap, ditujukan kepada mata juga pendengaran, yang berakar kepada seni ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi suatu bagian dari kehidupan modern. Kebangkitan perfilman Indonesia di era globalisasi menjadi tantangan sendiri bagi sineas perfilman untuk membuat film yang berkualitas dari sisi teknik dan teknis. Cerita yang diangkat pun beragam, ada yang berdasarkan kisah nyata, adaptasi dari novel atau buku, maupun ide kreatif dari sineas itu sendiri. Dari sekian banyak film yang diproduksi para sineas di tahun 2012-2013, Film Habibie & Ainun menjadi sebuah film yang paling fenomenal di jagat perfilman.

     Kehebohan film Habibie & Ainun membuat banyak orang penasaran ingin menonton. Alasannya, sang sutradara mengangkat tema sebuah kisah percintaan klasik yang diadaptasi dari buku Habibie dan Ainun itu sendiri. Buku tersebut sudah laris terlebih dahulu dipasaran. Kisah nyata percintaan seorang Habibie yang pernah menjadi orang nomor 1 di Republik Indonesia  menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Alhasil, film Habibie & Ainun sama larisnya dengan penjualan buku yang sudah terbit.

     Layaknya sebuah karya tidak pernah ada kata sempurna. Semua pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tergantung, bagaimana kita mengapresiasikannya. Mari kita bahas satu per satu untuk film Habibie & Ainun.

     Pertama, tema sebuah film. Tema film Habibie & Ainun bercerita tentang percintaan Habibie dan Ainun yang begitu romantis dan terkesan nasionalis. Sejak dari awal perkenalan hingga terpisah oleh ajal yang menjemput. Kisah cinta mereka tergolong memiliki nilai sejarah sehingga storytelling yang dihadirkan hingga akhir cerita bernuansa nasionalisme. Perjuangan dua orang anak bangsa yang mencintai negerinya dan mengorbankan dirinya sendiri.
     Namun, balutan sejarah Indonesia yang kuat dalam perjuangan cinta mereka terhadap bangsa tidak terekam dengan baik. Akibatnya, film tersebut memberikan pandangan sempit dalam suatu persoalan. Tidak ada beda dengan film-film bertema cinta yang beredar dipasaran. Hanya ada adegan-adegan kesetiaan, kasih sayang, dan pengorbanan sebagai lambang romantisme tanpa konflik  memadai. Penonton hanya terbuai dalam flashback kisah cinta mereka yang tersaji hingga akhir film ini.
     Tema percintaan pun sirna seiring dengan alur cerita yang terkesan melompat ke berbagai suasana. Ritme film terasa tak beraturan. Mungkin film ini ingin menyesuaikan cerita sesuai bukunya. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa filosofi buku dan film tersaji dalam masing-masing media yang beda.

     Kedua, adegan demi adegan tersaji dalam sebuah time lapse yang singkat. Film dibuka dengan Habibie dan Ainun muda yang terkenal cerdas saat masa SMA. Kemudian langsung beranjak ketika Habibie sudah menjadi insinyur mesin dan Ainun sudah lulus sebagai dokter umum. Diceritakan, Habibie tidak sengaja bertemu dengan Ainun dan dimulailah kisah pacaran singkat mereka. Adegan hanya disisipkan sebuah sentuhan konflik saat Ainun didekati banyak pria hebat, mapan, dan bermobil, tetapi Ainun malah memilih Habibie yang datang ke rumahnya menggunakan becak sampai adegan pun berlanjut pada prosesi pernikahan adat Jawa. Rangkaian adegan tersebut akan membuat tanda tanya para penonton, “Apa yang membuat Ainun tertarik dengan sosok Habibie…?”. Tak ada jawaban yang bisa menjelaskan dalam adegan singkat itu.
     Selain itu, adegan singkat juga tersentuh dengan nasionalis terbatas. Unsur-unsur nilai sejarah yang seharusnya menjadi nilai tambah film ini dibanding film percintaan lain tidak terlalu kuat ditampilkan. Nilai sejarah hanya berusaha ditampilkan pada properti-properti klasik yang melambangkan masa lalu. Adegan-adegan bernilai sejarah seperti pembangunan bangsa pasca kemerdekaan dan reformasi hanya ditampilkan pada sisipan-sisipan video terpotong. Hal ini cukup mengganggu dan tidak secara jelas menggambarkan situasi sosial, ekonomi dan politik era perjuangan reformasi 1998.
     Sosok Habibie sebagai presiden ketiga RI yang dilantik pasca gerakan reformasi 1998 pun tidak dapat ditampilkan dalam kumpulan snap shot yang lengkap. Penonton hanya dijejali dengan adegan-adegan masa pelantikan, beberapa konflik di Timur-Timur, dan adegan politis yang membuang-buang durasi. Masih banyak adegan lain yang menampilkan konflik yang menanggung tanpa ada sebab akibat yang mampu mencerdaskan penonton.
     Beberapa adegan malah diselingi dengan penempatan promosi produk sponsor yang tidak sesuai dengan tempatnya. Beberapa merk produk sponsor terbaru tampil dalam era berbeda. Penonton pun dibiarkan melihat layaknya tontonan televisi yang dipenuhi banyak iklan tanpa makna.

     Ketiga, pemeranan. Habibie diperankan oleh Reza Rahardian dan Ainun diperankan oleh Bunga Citra Lestari. Dalam pemilihan tokoh film, Reza Rahardian berusaha menjadi karakter Habibie yang begitu kuat, tapi secara postur tubuh Reza Rahardian tidak memenuhi kriteria. Mungkin casting director hanya melihat kejeniusan akting karakter yang ditampilkan seorang Reza Rahadian.
     Untuk peran Ainun, Bunga Citra Lestari juga berusaha memerankan perempuan Jawa kuno yang lembut namun make up yang digunakan kurang mendukung sehingga ekspresi  ditampilkan terlalu dipaksakan. Walaupun penghayatan dalam setiap adegannya patut diacungi jempol.
     Pemeranan memang menambah nilai positif dalam film ini. Karakter Habibie & Ainun yang ditampilkan mampu menjadi cermin bagi anak muda untuk menjalani bahtera pernikahan. Sebagai sosok individu jenius, biasanya kejeniusan identik dengan sifat kaku, tidak bisa bergaul, dan egois. Namun, Habibie ditampilkan sosok jenius berbeda. Ia tampil apa adanya, disenangi banyak orang, dan mengedepankan kepentingan bangsa. Sama halnya dengan sang istri, Ainun.
     Namun sangat disayangkan, karakter jenius yang ditampilkan sosok Habibie tidak didukung dengan teori-teori kecerdasan Habibie yang mampu menciptakan pesawat terbang. Teori-teori keilmuan hanya hadir saat Habibie bekerja untuk industri mesin kereta api di Jerman. Jika sentuhan teori ilmu pengetahuan tentang pesawat terbang dihadirkan, hal ini mampu menambah wawasan penonton dan membuat bangsa Indonesia semakin bangga dengan sosok Habibie.

      Keempat, unsur artistik tidak sesuai dengan tema film. Beberapa setting latar tempat di Jerman mengurangi nilai artistik film yang bernafaskan nasionalisme ini. Film ini seolah ikut menjual potensi negara Jerman yang begitu berkembang dibandingkan Indonesia. Latar tempat di Jerman pun sempat menghadirkan efek musim salju yang terkesan dipaksakan. Kondisi demikian hanya terlihat sebagai adegan pelengkap yang menunjukkan adanya perbedaan iklim antar dua negara tersebut.
     Untung saja, penata artistik masih bisa membuat tema film ini hidup dengan menempatkan hand property seperti cincin kawin yang menjadi simbol cinta. Cincin kawin tampak jelas menjadi detail shot yang digunakan Habibie & Ainun dalam beberapa kesempatan. Aksesoris tersebut setidaknya menunjang pesan yang tersirat bahwa cinta akan menemani masa-masa sulit sepasang suami istri dimanapun mereka berada dan dalam kondisi seperti apapun yang mereka hadapi.

     Kelima, pesan yang ingin disampaikan. Beberapa sindiran nasionalisme terungkap pada film ini. Dimulai ketika bangsa yang besar tidak dapat menghargai semangat anak bangsa yang ingin memajukan negaranya. Lalu, ada juga adegan-adegan masa pemerintahan yang diwarnai praktek suap menyuap dengan menghalalkan segala cara yang seolah menjadi budaya Indonesia. Terlalu vulgar memang, ketika sindiran nasionalis ditampilkan. Seharusnya sindiran yang mengandung pesan tersebut ditempatkan sewajarnya dan tidak terlalu diekspos agar nama baik bangsa Indonesia tetap terjaga jika film ini diputar di festival negara lain.

     Di balik itu semua, kita pasti akan menikmati film ini hingga akhir cerita. Audio dan original soundtrack mampu menghipnotis kita untuk larut dalam kisah cinta sejati Habibie & Ainun. Sentuhan-sentuhan humor ringan juga mampu meredakan suasana kaku yang terjalin dalam setiap storylines yang ditampilkan. Overall, kita harus bangga dengan film produksi anak bangsa ini. Kisah cinta nasionalis yang tulus dan luar biasa akan bisa menjadi cermin untuk kita semua, walaupun semua tersaji dalam sebuah media audio visual yang serba minimalis. #ApresiasiFilmIndonesia

Kritik Film ini ditulis untuk mengikuti Lomba Penulisan Kritik Film Piala Maya di Tahun 2013*

The Conjuring 2: The Next True Story From The Case Files of Ed and Lorraine Warren



The Conjuring 2 diakui sebagai salah satu film memedi terbaik dan terseram dalam beberapa dekade terakhir. Tapi, apakah sekuel ini bisa kembali menyandang predikat tersebut?