Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Tampilkan postingan dengan label Kisah Nyata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Nyata. Tampilkan semua postingan

Film Sabtu Bersama Bapak ; Menjalin Hubungan Tak Bermakna Tanpa Sekuat Novelnya

Lebaran tahun ini, penikmat film lokal digempur oleh lima film sekaligus. Empat di antaranya bahkan rilis ditanggal yang sama. Dari banyak opsi tersebut, saya pun memiliki misi untuk menikmati semuanya.

Apakah kesuksesan sebuah novel best seller mampu diikuti keberhasilan filmnya?  

Berikut ini kritik saya terhadap film Sabtu Bersama Bapak 

(Produksi Max Pictures, 2016)


Premis yang dibawakan memang minor, calon penonton sudah pasti tau kalau film yang akan mereka tonton adalah film yang akan sedih mengharu-biru. Tapi ternyata tidak. Sabtu Bersama Bapak punya jalinan cerita yang tak sekedar mengurai air mata penonton karena kesedihan yang ditimbulkan, namun juga air mata karena tertawa tak tertahankan (in a good way). Monty Tiwa, sang sutradara memang sudah berkali-kali mencatatkan karya filmnya dengan balutan komedi yang asyik. Begitupun juga ditampilkan di film ini.

Sabtu Bersama Bapak merupakan film yang dirilis dari adaptasi novel super laris karangan Adhitya Mulya yang berjudul sama. Ini bukan kisah keseharian seorang Bapak setiap hari sabtu, tapi lebih dari itu karena Bapak Gunawan Garnida (yang diperankan Abimana Aryasatya) telah divonis hanya akan hidup satu tahun lagi akibat penyakit kanker yang dideritanya.
Untuk mengisi kekosongan sosok ayah setelah nanti beliau tiada, sang Bapak meninggalkan pesan dalam bentuk ratusan kaset video berisi nasehat kepada istri (yang diperankan Ira Wibowo) dan kedua anaknya, Satya (yang diperankan Arifin Putra) dan Cakra (yang diperankan Deva Mahenra). Satu kasetnya hanya boleh disaksikan bersama seminggu sekali, setiap hari Sabtu setelah kedua anaknya pulang dari sekolah. Itulah makna kiasan ‘Sabtu bersama Bapak’ yang diambil sebagai judul film ini. Tapi, sayangnya judul tersebut tidak mampu direpresentasikan dengan baik pada adegan-adegan dalam film tersebut. Penonton pun pasti bisa menghitung berapa kali video yang diwariskan oleh bapaknya tersebut diputar saat hari sabtu itu tiba.
Kemunculan Bapak lewat kaset video memang terhitung sedikit, jika dibandingkan dengan novelnya. Peran video Bapak lebih berat ke cerita Satya dibandingkan Cakra, yang lebih banyak mengingat atau bergumam sendiri. Petuah Bapak, baik itu lewat video atau flashback kenangan, nyaris tidak ada dicerita Cakra. Perjuangan seorang suami sekaligus bapak untuk meninggalkan pesan dan kesan bagi kedua anak dan istrinya pun nyaris tak terungkap mapan. Sebuah hal yang disayangkan karena Abimana sendiri memerankan karakter tersebut dengan sangat baik.

Adegan tangis dan sedih menjadi pembuka di film ini. Opening scene tampak Pak Gunawan dan Bu Itje sedang bersedih didalam kamar. Pak Gunawan memegang surat dari rumah sakit tentang penyakit yang dideritanya sehingga membuat hidupnya di dunia sudah tidak akan lama lagi. 
Cerita bergulir saat Satya dan Cakra tumbuh dewasa dan menjadi sosok pria sukses dengan karier masing-masing. Mereka menjadi pribadi yang bertolak belakang namun keduanya bisa menjadi saudara kandung yang menjaga satu sama lain dan tak lupa menjaga Ibu mereka agar tetap tersenyum. Satya pun telah menikah dengan Risa (yang diperankan Acha Septriasa), punya dua orang anak, dan tinggal di Paris. Ia memiliki masalah dalam membina keluarga karena istrinya, Risa merasakan bahwa diri Satya terlalu kaku dalam mengikuti pesan-pesan Bapaknya. Sementara Cakra memiliki karier gemilang sebagai banker di Jakarta yang setiap weekend pulang ke Bandung demi menemani ibunya. Kesuksesan Cakra justru membuat Ia selalu kikuk saat berhadapan dengan wanita yang disukainya. Itulah kisah keduanya yang hidup terpisah dengan konfliknya masing-masing. Satya dan Risa yang membangun rumah tangga, sedangkan Cakra yang sibuk mencari pasangan hidup.

Ketika membaca novelnya, lakon Cakra mencari cinta mudah dibayangkan format filmnya. Namun sulit membayangkan kisah rumah tangga Satya dan Risa yang pelan dan terkesan tanpa ujung menjadi sebuah film. Belum lagi, penceritaan dua tokoh dalam satu buku terlihat lebih mudah ketimbang dalam satu film yang punya durasi terbatas. Apakah akan ada satu cerita yang dikalahkan difilmnya atau bagaimana kelanjutannya?

Tidak adil rasanya jika harus membandingkan film dengan novel secara eksplisit, namun dua hal itu harus aku lakukan apalagi saat duduk manis bersama seorang kakak angkat bernama Sugiharti didalam ruang bioskop CGV Blitx, Central Park, hari Minggu tanggal 16 Juli 2016 lalu. Hingga film selesai, aku pun masih merasakan film yang begitu banyak ambigu dan menjadi tidak seru. Penonton memang diajak mengikuti alur emosi yang naik turun dalam setiap ceritanya. Tetapi, film ini belum menempelkan rasa yang membekas bagi siapa saja yang melihatnya.
Dalam film ini, penonton tak dibuat begitu penasaran kenapa bisa begini dan begitu. Hanya sedikit adegan yang juga tersisa saat apa yang dialami oleh Bapak ketika merekam videonya. Padahal, plot seperti ini yang ditunggu karena membayangkannya saja seru dan menyenangkan apabila Bapak merekam video-videonya lalu diputar ulang dengan suasana penuh kenangan.

Dalam filmnya, ada beberapa adegan plus yang sengaja ditambahkan agar cerita Satya di novel semakin menarik. Terlihat upaya tim produksi membuat pengembangan konflik tanpa menghilangkan esensi kisah Satya. Pemicu konflik dalam film masih terbilang logis dan penonton bisa langsung ngegas menyimak cerita menuju babak demi babak berikutnya sehingga bobot cerita tidak berkurang.
Plot dalam film ini memang beragam, menarik, dan dieksekusi dengan baik. Tentu semua ditunjang oleh seluruh elemen, baik teknis, naskah, hingga performa akting para pemain. Selain itu, unsur drama keluarga, romansa dan komedi juga menjadi serbuk bumbu untuk menikmati film ini. Alhasil film ini cocok ditonton remaja atau dewasa.

Musik ilustrasi juga memiliki peran tersendiri dalam film yang membuat film menjadi lebih hidup. Artinya, irama yang 'senada' dengan visual dalam film Sabtu Bersama Bapak terdengar nyaman dan ditempatkan disaat-saat yang tepat. Baik saat adegan emosional, menyentuh, hingga saat adegan konyol, semuanya bagus.
Soundtrack dari jebolan Mamamia tahun 2008, Wizzy Williana yang berjudul I'm Sorry terbilang kece. Keindahan lagu sangat berkontribusi mendukung emosi dan cerita dalam film ini. Selain itu, lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi legendaris, Iwan Fals yang berjudul Cinta juga meninggalkan kesan mendalam ketika usai menonton film ini.
Lagu I’m Sorry merupakan karya dari Amir Gita Pradana yang memiliki komposisi musik sederhana dengan dominan ketukan piano, sehingga vokal Wizzy yang jernih bisa terdengar jelas. Lagu ini hadir saat adegan Cakra merasa dirinya tidak pandai memikat hati perempuan yang disukainya meskipun anak buahnya terus mendukungnya. Liriknya sebenarnya sederhana, tapi penempatan lagu ini dalam sebuah adegan di film menurut aku pas sehingga membuat penonton ikut merasa sentimentil. Sedangkan lagu Cinta memiliki lirik yang lugas namun maknanya cukup dalam. Lagu Cinta ini seolah menggambarkan emosi yang berkecamuk dalam hati Gunawan Garnida sebelum ia rela dan pasrah usianya di bumi yang tak lama lagi. Sambil mendengar kedua lagu tersebut, aku bisa membayangkan adegan dan alur kisah dalam film Sabtu Bersama Bapak. Alhasil, soundtrack bisa menjadi media promosi dan pengingat kesan penonton terhadap sebuah film. 

Walaupun ada beberapa dialog yang dubbing, sehingga audio terkadang dibeberapa adegan ada yang kurang konsisten didengar, ada yang berubah suaranya, padahal masih di gambar, situasi yang sama, dan belum berpindah posisi. Mungkin saja, penata audio mengalami kegagalan saat proses mixing. Semua unsur tata suara tertutup oleh pemilihan lagu yang berkesan.
  
Kedua komponen lagu dan cerita telah dicoba eksekusi sama baiknya oleh sang sutradara, tidak timpang sebelah istilahnya. Kisah kakak adik ini diberi porsi serupa dan mencuri perhatian sama beratnya. Transisi atau cut to cut antar cerita juga mulus, tidak membuat penonton bingung, ini cerita mana atau punya siapa. Karakter kuat serta latar yang jauh beda memegang peranan penting dalam halusnya transisi ini.
Bicara soal karakter, aku puas dengan beberapa pemeran di film ini yang diisi jajaran aktor dan aktris kelas atas yang memang sudah memiliki jam terbang di layar lebar berkualitas. Mereka mampu menunjukkan performa aktingnya dengan memainkan roda cerita secara pas. Cocok dengan bayangan aku saat membaca novelnya dulu. Bapak yang bijak, Satya yang keras, Risa yang anggun, Cakra yang canggung, serta Ayu yang kalem. Semuanya pas diperankan oleh pemainnya masing-masing.
Abimana jadi aktor favorit aku di film ini. Aura kebapakannya terasa banget lewat getar suara serta tatapan mata yang keras namun menenangkan. Seolah Ia berperan sebagai bapak yang bijak dengan gaya bicara yang penuh karisma. Ia berhasil menunjukkan wibawa dan menyampaikan kepada penonton bahwa Ia sosok bapak yang dibanggakan keluarga.
Hanya saja, seorang Ira Wibowo masih tidak sanggup membuat aku sebagai penonton berempati kepadanya sebagai seorang ibu. Kisah ibu Itje yang single parent setelah kepergian suaminya dan tidak pernah menikah lagi, membesarkan dua anak lelaki tentulah bukan hal yang mudah. Tak ada beban diraut wajah seorang Ira Wibowo yang membuat suasana semakin terenyuh. Ia masih belum mampu mengimbangi akting Abimana sebagai seorang bapak. Ia hanya tampil sebagai sosok Ibu yang menyayangi anak-anaknya.
Akting Arifin dan Acha juga jagoan aku, apalagi ketika adegan berantem. Pemilihan kata-kata yang natural dalam dialog membuat adegan fighting dalam rumah tangga mereka itu believeable. Adegan dibuat pas secara alami dan seolah terasa dalam kehidupan sehari-hari. Ini menjadi sebuah scene dramatis yang ‘dalam’ dan penuh emosional. Sebuah pujian yang layak disematkan kepada sutradara yang telah mengarahkan mereka dalam film ini, Monty Tiwa.
Meskipun dibeberapa part, Arifin Putra tampak berlebihan. Ada satu adegan yang paling saya suka dan menyentuh hati yaitu ketika Satya dimarahi oleh Bapaknya dalam mimpi. Waktu itu hubungan Satya dengan istrinya sedang ada masalah besar, lalu tiba-tiba Satya bertemu bapaknya dimimpi. Satya dimarahi oleh bapaknya karena cara dia salah ketika memperlakukan keluarganya. Setelah pasangan suami istri berseteru lantas Satya seolah mendapatkan nasehat yang luar biasa dari Bapaknya. Nasehat yang sangat penting sekali menurut aku sebagai anak laki-laki yang akan menjadi suami kelak.
Yang membuat dahi sedikit berkerut dari cerita Satya adalah pemeran Rian dan Miku, anak dari Satya dan Risa. Selain aktingnya kaku dan datar, rasanya dengan gen secakep itu, anak mereka harusnya tidak seperti itu fisiknya. Bisa jadi Risa bandel dan sering keluyuran malam-malam saat Satya dinas keluar kota. #LOL
Beberapa pemeran pembantu lain, termasuk yang di luar negeri, juga tak menunjukkan akting yang maksimal. Mereka tidak mampu mengimbangi akting karakter yang dilakukan para pemeran yang sudah memiliki cukup nama di perfilman Indonesia.

Well, anyway, cukup tentang karakternya. Mari kita beralih ke cerita Cakra. Deva Mahenra, terhitung pemain baru di layar lebar, namun performanya pada film Sabtu Bersama Bapak begitu memukau.
Seperti yang aku tulis di atas, cerita Cakra worry me less. Adegan demi adegan Cakra mencari cinta berputar disekitar kehidupan kantornya. And believe me, every single scene in the office is hillarious. Chemistry antara Cakra dengan dua anak buahnya, Firman (yang diperankan Ernest Prakasa) dan Wati (yang diperankan Jennifer Arnelita), membuat cerita Cakra selalu aku tunggu kemunculannya. Office jokes mereka jadi bumbu sampingan yang seperti menu utama buat aku.
Adegan paling kocak itu saat Cakra coba mengajak Ayu makan siang berdua untuk pertama kalinnya. Kikuknya Cakra dan pemilihan kata yang salah membuat adegan itu chaotic bingit. Sebuah kebodohan yang ditimpa kebodohan lainnya. Seperti rentetan kembang api di tengah desa yang sunyi. Menggelegar dan menyegarkan.

Meski begitu, aku mencatat ada beberapa kekurangan yang agak mengganggu. Karena ada dua cerita yang berjalan bersamaan (tiga, jika cerita sang ibu juga dihitung), konflik yang ada terasa tidak memuncak disaat bersamaan. Terkesan datar meski ada letupan-letupan meledak, namun sayangnya, dimomen berbeda.
Dialog cheesy antara Bapak dan Ibu juga jadi hal janggal tersendiri. Saat Satya dan Risa bisa beradu argumen dengan alami, chit chat antara Bapak dengan Ibu sedikit mengawang. Contohnya, gombalan Bapak saat Ibu sedang mengiris cabe. Gombalan yang membuat aku ingin membalasnya dengan kalimat, “Ah, bisa aje lu, Nying!.”

Overall, tampilan visual film Sabtu Bersama Bapak 'berbeda'. Coloringnya seperti film-film tahun 90an, dengan efek sedikit blur dan penambahan lens flare dibeberapa scene. Bagi sebagian orang, treatment seperti ini mengganggu. Padahal ini adalah style dari pembuat film. Jika penonton bisa membaca itu, style ini jadi menyenangkan. Film ini berusaha menunjukkan karakter secara look visual, dibandingkan film kebanyakan yang 'bermain aman' dengan look natural.

Tapi kalo ditanya apakah film ini berhasil mencapai tujuannya, maka jawaban aku adalah tidak. Alasannya, karena film ini telah melumpuhkan ekspetasi penonton yang akan berlarut sedih melihat kisah drama keluarga. Ada unsur parenting guide, namun tak begitu banyak menyita perhatian. Nyatanya, sulit sama sekali untuk sedih saat menonton film ini.

Film ini memang berhasil mengaduk emosi penonton sedemikian rupa namun untuk memaksa buliran air mata turun pasti masih bisa kita tahan. Hal ini terbukti dari beberapa teman yang memiliki ekspetasi lebih terhadap film ini. Ekspetasi mereka berharap bisa mendapatkan sosok kehadiran seorang bapak dan mendapatkan kembali kenangan demi kenangan nasehat dari seorang bapak karena mereka memang sudah lama ditinggal oleh bapaknya yang sudah meninggal. Namun, film ini ternyata tak mampu mengukir kenangan terindah itu karena pesan yang disampaikan tidak menyentuh ke perasaan mereka saat menonton.

       Bagi Blogger Eksis, film bukan sekedar media penyalur. Karakter yang diperankan harus memberi edukasi kepada penonton. Suatu perbincangan yang berisi rangkaian dialog dan dibahas dalam tuntutan adegan demi adegan dalam film harus membekas. Apa yang kita tonton itu mungkin saja dibawa pulang. Aku berharap film Indonesia bisa mengedukasi, paling tidak meninggalkan pesan moral untuk berbagai generasi karena film adalah karakter bangsa kita. Setidaknya, film ini cukup menarik, mengharukan, dan menghibur namun tidak bisa menjadi inspiratif* #ApresiasiFilmIndonesia

Terinspirasi Dari Kisah Nyata Rudy Habibie



Empat tahun setelah kesuksesan film Habibie & Ainun, kini MD Pictures kembali meluncurkan karya terbarunya, film Rudy Habibie yang merupakan prekuel dari kisah hidup Habibie sebelum mengenal dan menikah dengan Ainun. Film yang dikomandoi Hanung Bramantyo ini berfokus pada lika-liku perjuangan Habibie selama bersekolah di Aachen, Jerman. Ada kisah cinta dan konflik perbedaan suku serta agama untuk mengungkap siapa sosok Rudy Habibie sebelum dikenal menjadi teknokrat dan presiden Republik Indonesia Ke-3.


Film dibuka dengan masa kecil Rudy di Pare-pare, Sulawesi. Kita diperkenalkan pada Rudy kecil yang pandai dan bercita-cita membuat pesawat. Disini dijelaskan bahwa orangtua Rudy berasal dari dua suku yang berbeda sehingga Rudy terbiasa hidup dalam pluralisme sejak kecil. Namun sayang, Rudy terpaksa hidup berpindah-pindah lantaran banyak serangan udara pada masa perang. Tapi, pemandangan alam Sulawesi nan indah tak bisa ditonjolkan serta efek visual belum berhasil meyakinkan penonton saat Rudy hidup di era kemerdekaan silam. 


Lama-kelamaan penonton mulai terbius dengan suguhan adegan-adegan yang tak biasa seperti saat Rudy disunat, kenakalan masa kecilnya dengan teman-teman tentang teori balon sampai Ia menemukan sebuah kondom untuk ditiup. Hingga adegan yang paling membuat penonton terenyuh, saat Rudy harus menggantikan ayahnya (diperankan Donny Damara) menjadi imam karena meninggal dalam keadaan khusnul khotimah ketika shalat berjamaah sekeluarga sedang berlangsung.


Pesan-pesan tersirat pun mulai bermunculan di awal cerita. Salah satu yang kerap diulang yaitu tentang ambisi Rudy membuat pesawat terbang demi memenuhi pesan almarhum ayahnya untuk menjadi mata air yang bisa penonton definisikan untuk menjadi berguna bagi banyak orang. Semua akan mudah terngiang di telinga penonton.


Kemudian penonton diajak menuju masa ketika Rudy yang sudah dewasa (diperankan Reza Rahadian) baru saja tiba di Aachen untuk mengikuti tes masuk Universitas RWTH. Di sekolah ini, ia mendapatkan teman-teman baru secara tidak sengaja yang berasal dari latar belakang beragam. Ada kenalan lamanya dari ITB, Liem Keng Kie (diperankan Ernest Prakasa), seorang keturunan Tionghoa dari Bandung. Ada putri Sultan Solo, bernama Ayu (diperankan Indah Permatasari) serta abdinya, Sugeng (diperankan Bagas Luhur Pribadi). Ada juga Peter Manumasa (diperankan Pandji Pragiwaksono), yang merupakan mantan tentara pejuang kemerdekaan, serta Poltak Hasibuan (diperankan Boris Bokir), anak Medan yang ceria dengan fashion style norak alias tubrukan. Mereka semua merupakan pemegang passport biru alias penerima beasiswa pemerintah, kecuali Rudy yang dibiayai oleh ibunya (diperankan Dian Nitami).


Sosok Rudy Habibie dalam film ini digambarkan begitu jenius dan sempurna. Ketika diremehkan oleh orang dalam sekejap ia berhasil membuktikan bahwa mereka salah. Walaupun bossy, tapi Rudy tetap populer dikalangan mahasiswa Indonesia. Eksekusi terhadap karakter Rudy tidak terlalu terasa karena sejak awal ia divisualkan sebagai sosok paling pintar dan selalu benar. Sampai akhirnya, Ia didera berbagai kesulitan, sang sutradara memvisualkan karakter Rudy dengan ketaatannya beribadah, terutama dalam melaksanakan shalat. 


Unsur religi memang ditampilkan dalam film ini, tapi beberapa tidak dieksekusi dengan baik. Misalnya, saat adegan makan makanan haram yang mengandung babi tanpa disengaja, Rudy Habibie tak merasa bersalah atau sekedar mengucap istighfar. Ia malah asyik bercanda kepada si penjual makanan untuk meminta kembali uang yang telah dibayarkan.


Nah, film Rudy Habibie pun bergulir menjadi seperti kisah anak SMA. Sebagai murid non-beasiswa, ia sering dibully oleh sekumpulan mahasiswa ikatan dinas alias Laskar Pelajar. Mereka meragukan kepintaran Rudy dan kerap mengejeknya. Di sisi lain, terjadi cinta segitiga dengan Ilona Ianovska (diperankan Chelsea Islan) dan Ayu, yang menyebabkan persahabatan Rudy bersitegang. Hmm, too much drama? Its reality or fictive?!


Masalah yang dihadapi Rudy di luar negeri juga semuanya seolah terkontrol. Tersisa adegan-adegan klasik yang pasti dialami seluruh mahasiswa perantauan, mulai dari kekurangan uang, kelaparan, sakit, atau ide-ide yang ditentang. Padahal justru penonton ingin melihat perubahan seorang mahasiswa muda yang perlahan-lahan berkembang menjadi tokoh negara visioner pada masa itu. Kurang greget istilahnya untuk menelaah perjuangan seorang Rudy Habibie seperti di film sebelumnya yang menghasilkan sesuatu yang besar.


Ada banyak kejadian bersejarah dalam film ini coba ditampilkan. Misalnya seperti saat Rudy menggagaskan visi misi pembuatan organisasi PPI Aachen atau saat ia memperjuangkan jalannya Seminar Pembangunan bagi seluruh mahasiswa Indonesia di Eropa. Berkali-kali Rudy harus berseteru dengan pihak pemerintah. Namun akibat fokus cerita yang bercabang, justru hal-hal penting ini tidak dijabarkan dengan detail. Ditampilkan juga masalah Irian Barat atau ketidakikutsertaan Indonesia dalam NATO yang juga membuat penonton bingung. Ditambah lagi, alibi Rudy saat ditanya oleh warga sekitar yang penasaran dengan kepandaiannya berbahasa Jerman dan dijawab dengan penuh ambiguitas yang konyol.


Plot campuran memang membuat film ini terasa complicated. Gaya penceritaan yang padat dengan tempo cepat menjadikan film ini terlihat berisi. Secara keseluruhan tim produksi telah berupaya memperhatikan detail secara proporsional. Film ini pun bisa dinikmati oleh penonton karena mereka akan dibiarkan terlarut dalam setiap pergolakan emosi yang terjadi.


Dibalik itu semua, akting Reza Rahadian kembali menyuguhkan performa terbaiknya sebagai Rudy Habibie. Dengan aksen khas dan bahasa Jerman fasih didukung olah tubuh seperti cara berjalan dan gaya berbicara sosok Rudy Habibie, Reza terlihat sangat alami sebagai anak muda di tahun 1950-an. Emosinya ketika merasakan kegagalan, serta kesedihannya saat jatuh sakit dan homesick begitu memilukan. Malu, tidak mau merepotkan orangtua, dan ingin membuktikan bahwa dia bisa berdiri sendiri merupakan suatu fase yang pasti pernah dirasakan mahasiswa mana pun yang sedang belajar nun jauh disana.


Akting teman-teman sesama mahasiswa mampu mengimbangi para pemeran utama. Ernest dan Pandji yang memiliki latar belakang sebagai stand up comedian mampu berakting serius. Tapi, saya lebih salut dengan keseriusan Pandji yang berperan natural dibanding Ernest Prakasa. Indah Permatasari sebagai Ayu juga tampil menarik bak putri keraton modern dengan logat Jawa. Hanya peran Ilona saja sebagai seorang wanita keturunan Polandia yang kurang pas dimainkan oleh Chelsea Islan. Ia tampak mengada-ada dalam setiap ucapannya.


Mixing yang diproduksi di Los Angeles, USA juga berhasil meniupkan nada-nada ke telinga penonton untuk merasakan sensasi saat menonton di gedung bioskop yang kedap suara. Original soundtrack buah karya Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dinyanyikan Cakra Khan dalam judul Mencari Cinta Sejati juga membuat penonton terkesima.


Bicara tentang artistik, setting dan kostum era 1940-1950an dalam film ini tampak elegan. Penampilan kaum terpelajar tampak disesuaikan pada tuntutan zamannya. Walaupun dibeberapa scene, ada period movie yang perlu ditingkatkan lagi untuk meyakinkan penonton bahwa adegan ini terjadi dibeberapa tahun silam.


Pada akhirnya, pesan moral yang ingin disampaikan dalam film ini terasa blur. Bahkan diakhir film, terselip spoiler untuk Habibie & Ainun 3 yang rencananya akan tayang tahun depan! Whhaaatttt! Saya akan semakin penasaran untuk menonton sekuel ketiga film ini.


Mungkin lewat film ini, Produser Manoj Punjabi yang juga eksis bermain dalam film bermaksud mengungkap sisi seorang Rudy Habibie yang lebih manusiawi dan mudah dicerna oleh semua kalangan. Blogger pun merasakan jiwa nasionalisme begitu kuat dari dalam diri Rudy Habibie. Dengan setting Eropa yang mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot film ini memang cocok sebagai inspirasi segala generasi*


Habibie & Ainun ; Kisah Cinta Nasionalis yang Serba Minimalis



     Film adalah urutan gerak dari gambar hidup yang membentuk seni visual baru melalui media komunikasi lengkap, ditujukan kepada mata juga pendengaran, yang berakar kepada seni ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi suatu bagian dari kehidupan modern. Kebangkitan perfilman Indonesia di era globalisasi menjadi tantangan sendiri bagi sineas perfilman untuk membuat film yang berkualitas dari sisi teknik dan teknis. Cerita yang diangkat pun beragam, ada yang berdasarkan kisah nyata, adaptasi dari novel atau buku, maupun ide kreatif dari sineas itu sendiri. Dari sekian banyak film yang diproduksi para sineas di tahun 2012-2013, Film Habibie & Ainun menjadi sebuah film yang paling fenomenal di jagat perfilman.

     Kehebohan film Habibie & Ainun membuat banyak orang penasaran ingin menonton. Alasannya, sang sutradara mengangkat tema sebuah kisah percintaan klasik yang diadaptasi dari buku Habibie dan Ainun itu sendiri. Buku tersebut sudah laris terlebih dahulu dipasaran. Kisah nyata percintaan seorang Habibie yang pernah menjadi orang nomor 1 di Republik Indonesia  menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Alhasil, film Habibie & Ainun sama larisnya dengan penjualan buku yang sudah terbit.

     Layaknya sebuah karya tidak pernah ada kata sempurna. Semua pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tergantung, bagaimana kita mengapresiasikannya. Mari kita bahas satu per satu untuk film Habibie & Ainun.

     Pertama, tema sebuah film. Tema film Habibie & Ainun bercerita tentang percintaan Habibie dan Ainun yang begitu romantis dan terkesan nasionalis. Sejak dari awal perkenalan hingga terpisah oleh ajal yang menjemput. Kisah cinta mereka tergolong memiliki nilai sejarah sehingga storytelling yang dihadirkan hingga akhir cerita bernuansa nasionalisme. Perjuangan dua orang anak bangsa yang mencintai negerinya dan mengorbankan dirinya sendiri.
     Namun, balutan sejarah Indonesia yang kuat dalam perjuangan cinta mereka terhadap bangsa tidak terekam dengan baik. Akibatnya, film tersebut memberikan pandangan sempit dalam suatu persoalan. Tidak ada beda dengan film-film bertema cinta yang beredar dipasaran. Hanya ada adegan-adegan kesetiaan, kasih sayang, dan pengorbanan sebagai lambang romantisme tanpa konflik  memadai. Penonton hanya terbuai dalam flashback kisah cinta mereka yang tersaji hingga akhir film ini.
     Tema percintaan pun sirna seiring dengan alur cerita yang terkesan melompat ke berbagai suasana. Ritme film terasa tak beraturan. Mungkin film ini ingin menyesuaikan cerita sesuai bukunya. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa filosofi buku dan film tersaji dalam masing-masing media yang beda.

     Kedua, adegan demi adegan tersaji dalam sebuah time lapse yang singkat. Film dibuka dengan Habibie dan Ainun muda yang terkenal cerdas saat masa SMA. Kemudian langsung beranjak ketika Habibie sudah menjadi insinyur mesin dan Ainun sudah lulus sebagai dokter umum. Diceritakan, Habibie tidak sengaja bertemu dengan Ainun dan dimulailah kisah pacaran singkat mereka. Adegan hanya disisipkan sebuah sentuhan konflik saat Ainun didekati banyak pria hebat, mapan, dan bermobil, tetapi Ainun malah memilih Habibie yang datang ke rumahnya menggunakan becak sampai adegan pun berlanjut pada prosesi pernikahan adat Jawa. Rangkaian adegan tersebut akan membuat tanda tanya para penonton, “Apa yang membuat Ainun tertarik dengan sosok Habibie…?”. Tak ada jawaban yang bisa menjelaskan dalam adegan singkat itu.
     Selain itu, adegan singkat juga tersentuh dengan nasionalis terbatas. Unsur-unsur nilai sejarah yang seharusnya menjadi nilai tambah film ini dibanding film percintaan lain tidak terlalu kuat ditampilkan. Nilai sejarah hanya berusaha ditampilkan pada properti-properti klasik yang melambangkan masa lalu. Adegan-adegan bernilai sejarah seperti pembangunan bangsa pasca kemerdekaan dan reformasi hanya ditampilkan pada sisipan-sisipan video terpotong. Hal ini cukup mengganggu dan tidak secara jelas menggambarkan situasi sosial, ekonomi dan politik era perjuangan reformasi 1998.
     Sosok Habibie sebagai presiden ketiga RI yang dilantik pasca gerakan reformasi 1998 pun tidak dapat ditampilkan dalam kumpulan snap shot yang lengkap. Penonton hanya dijejali dengan adegan-adegan masa pelantikan, beberapa konflik di Timur-Timur, dan adegan politis yang membuang-buang durasi. Masih banyak adegan lain yang menampilkan konflik yang menanggung tanpa ada sebab akibat yang mampu mencerdaskan penonton.
     Beberapa adegan malah diselingi dengan penempatan promosi produk sponsor yang tidak sesuai dengan tempatnya. Beberapa merk produk sponsor terbaru tampil dalam era berbeda. Penonton pun dibiarkan melihat layaknya tontonan televisi yang dipenuhi banyak iklan tanpa makna.

     Ketiga, pemeranan. Habibie diperankan oleh Reza Rahardian dan Ainun diperankan oleh Bunga Citra Lestari. Dalam pemilihan tokoh film, Reza Rahardian berusaha menjadi karakter Habibie yang begitu kuat, tapi secara postur tubuh Reza Rahardian tidak memenuhi kriteria. Mungkin casting director hanya melihat kejeniusan akting karakter yang ditampilkan seorang Reza Rahadian.
     Untuk peran Ainun, Bunga Citra Lestari juga berusaha memerankan perempuan Jawa kuno yang lembut namun make up yang digunakan kurang mendukung sehingga ekspresi  ditampilkan terlalu dipaksakan. Walaupun penghayatan dalam setiap adegannya patut diacungi jempol.
     Pemeranan memang menambah nilai positif dalam film ini. Karakter Habibie & Ainun yang ditampilkan mampu menjadi cermin bagi anak muda untuk menjalani bahtera pernikahan. Sebagai sosok individu jenius, biasanya kejeniusan identik dengan sifat kaku, tidak bisa bergaul, dan egois. Namun, Habibie ditampilkan sosok jenius berbeda. Ia tampil apa adanya, disenangi banyak orang, dan mengedepankan kepentingan bangsa. Sama halnya dengan sang istri, Ainun.
     Namun sangat disayangkan, karakter jenius yang ditampilkan sosok Habibie tidak didukung dengan teori-teori kecerdasan Habibie yang mampu menciptakan pesawat terbang. Teori-teori keilmuan hanya hadir saat Habibie bekerja untuk industri mesin kereta api di Jerman. Jika sentuhan teori ilmu pengetahuan tentang pesawat terbang dihadirkan, hal ini mampu menambah wawasan penonton dan membuat bangsa Indonesia semakin bangga dengan sosok Habibie.

      Keempat, unsur artistik tidak sesuai dengan tema film. Beberapa setting latar tempat di Jerman mengurangi nilai artistik film yang bernafaskan nasionalisme ini. Film ini seolah ikut menjual potensi negara Jerman yang begitu berkembang dibandingkan Indonesia. Latar tempat di Jerman pun sempat menghadirkan efek musim salju yang terkesan dipaksakan. Kondisi demikian hanya terlihat sebagai adegan pelengkap yang menunjukkan adanya perbedaan iklim antar dua negara tersebut.
     Untung saja, penata artistik masih bisa membuat tema film ini hidup dengan menempatkan hand property seperti cincin kawin yang menjadi simbol cinta. Cincin kawin tampak jelas menjadi detail shot yang digunakan Habibie & Ainun dalam beberapa kesempatan. Aksesoris tersebut setidaknya menunjang pesan yang tersirat bahwa cinta akan menemani masa-masa sulit sepasang suami istri dimanapun mereka berada dan dalam kondisi seperti apapun yang mereka hadapi.

     Kelima, pesan yang ingin disampaikan. Beberapa sindiran nasionalisme terungkap pada film ini. Dimulai ketika bangsa yang besar tidak dapat menghargai semangat anak bangsa yang ingin memajukan negaranya. Lalu, ada juga adegan-adegan masa pemerintahan yang diwarnai praktek suap menyuap dengan menghalalkan segala cara yang seolah menjadi budaya Indonesia. Terlalu vulgar memang, ketika sindiran nasionalis ditampilkan. Seharusnya sindiran yang mengandung pesan tersebut ditempatkan sewajarnya dan tidak terlalu diekspos agar nama baik bangsa Indonesia tetap terjaga jika film ini diputar di festival negara lain.

     Di balik itu semua, kita pasti akan menikmati film ini hingga akhir cerita. Audio dan original soundtrack mampu menghipnotis kita untuk larut dalam kisah cinta sejati Habibie & Ainun. Sentuhan-sentuhan humor ringan juga mampu meredakan suasana kaku yang terjalin dalam setiap storylines yang ditampilkan. Overall, kita harus bangga dengan film produksi anak bangsa ini. Kisah cinta nasionalis yang tulus dan luar biasa akan bisa menjadi cermin untuk kita semua, walaupun semua tersaji dalam sebuah media audio visual yang serba minimalis. #ApresiasiFilmIndonesia

Kritik Film ini ditulis untuk mengikuti Lomba Penulisan Kritik Film Piala Maya di Tahun 2013*