Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Kartini, Putri Bangsawan yang Jadi Kebanggaan dalam Film Kartini



Ketertarikan Blogger Eksis dengan film Kartini muncul sudah sangat lama. Hal ini dimulai sejak wacana produksi film tersebut digaungkan tahun lalu bertepatan dengan tayang film Surat Cinta Untuk Kartini. Blogger Eksis pun tidak sabar untuk segera menontonnya. Akhirnya, Blogger Eksis terpilih menjadi salah satu yang beruntung bisa menyaksikan film Kartini sejak awal tahap special screening pada hari Rabu, tanggal 5 April 2017 silam bersama rekan-rekan KoMiK (Kompasianer Only Movie enthusIast Klub) di Plaza Indonesia.


Sosok Kartini dipuja sebagai tokoh yang memperjuangkan pendidikan di Indonesia dan setiap tanggal 21 April dirayakan secara nasional bertajuk Peringatan Hari Kartini. Namun kisah perjuangan Kartini bisa jadi tidak kita ketahui dengan baik. Melalui film Kartini, rumah produksi Legacy Pictures bekerja sama dengan Screenplay Films mencoba menghadirkan kembali sosok Kartini yang beda bertepatan dengan momen peringatan Hari Kartini.

Mungkin kita mengenal Kartini sejauh ini hanya melalui tulisan-tulisan disuratnya, yang memuat berbagai gagasan, kegelisahan, dan keluh kesah yang lebih besar dan berumur panjang dibandingkan dari hidup Kartini itu sendiri. Tulisan-tulisan yang mengundang interpretasi terbuka terhadap kepribadiannya dan menjadi inspirasi perempuan hingga saat ini.

Ironisnya, kebesaran ide Kartini menjunjung tata karma selama beberapa dekade telah diartikan menyempit. Emansipasi kartini hanya dipandang sebagai sosok yang mengidamkan kesetaraan pendidikan dan mengenakan pakaian tradisional. Bahkan di era Orde Baru, pencanangan Hari Kartini dimanfaatkan sebagai pemakluman upaya domestikasi perempuan lewat organisasi Dharma Wanita. Kartini yang memiliki pemikiran terbuka pun seolah hilang ditelan zaman.

Menggiring nama Kartini sebagai sebuah brand, mengesankan sosok perempuan berbusana kebaya tradisional yang mengenakan sanggul. Di hari Kartini, berbondong-bondong perempuan Indonesia antri di salon-salon kecantikan untuk mempercantik diri demi kepentingan seremonial semata. Apakah Kartini hanya dianggap memiliki penampilan fisik saja?... .

Mari kita telisik lagi mengenai indikator status pahlawan nasional. Apakah memang sosok pahlawan itu harus yang berjuang mati-matian saat mengangkat pedang atau bambu runcing dan mati di palagan setelah gencatan senjata? Ternyata tidak. Ini yang tercermin dari sosok Ibu Kita Kartini.

Kartini merupakan sosok perempuan pemikir yang memuja feminisme ala Barat, tetapi juga memaknai fungsi kodratnya sebagai perempuan bertradisi Timur. Dalam satu suratnya, Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap bahwa masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban,” (Surat Kartini kepada Ny. E. Abendanon, 27 Oktober 1902).

Di balik penampilan fisik sekalipun terkandung semangat dan pemikiran yang nilainya melintasi ruang dan waktu. Ada nilai, motivasi, dan semangat yang terpatri dalam hati sanubari dan pemikiran para pahlawan. Pada kondisi seperti itu, para sineas perfilman Indonesia mengungkap tabir tentang Kartini berdasarkan versi penafsirannya masing-masing. Film Kartini versi Sjumandjadja di tahun 1984, Film Surat Cinta Untuk Kartini versi Azhar Kinoi Lubis tahun 2016, dan Film Kartini versi Hanung Brahmantyo tahun 2017 memiliki sudut pandang tersendiri.

Sebelum masuk ke persoalan dan pergulatan struktur cerita, tim produksi membangun ide dasar dari hal-hal yang dialami Kartini sejak kecil. Mulai dari umur 4 tahun, dia tidak boleh tidur dengan ibunya karena ibu kandungnya bukan bangsawan. 

Kartini muda (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) yang memiliki dua sosok ibu. Ibu kandungnya adalah Ngasirah (diperankan oleh Christine Hakim), anak seorang kyai. Ia berstatus sebagai rakyat biasa, bukan keturunan bangsawan. Ibu tirinya bernama Raden Ajeng Moeryam (diperankan oleh Djenar Maesa Ayu).

Peraturan kolonial Belanda mewajibkan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan. Untuk menjadi Bupati Jepara, ayah Kartini, Raden Mas Aryo Sosroningrat (Deddy Soetomo) terpaksa memadu Ngasirah dengan mempersunting seorang priyayi Raden Ajeng Moeryam, yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura.

Sebenarnya Raden Ajeng Moeryam bisa dikatakan menderita dan menyimpan duka. Ia harus rela jadi istri kedua, meski sebagai bangsawan kedudukannya lebih tinggi dari Ngasirah. Ia terlanjur menikah tanpa cinta demi gelar kebangsawanan tradisi secara turun temurun. Sepenggal kisah kelam dari masa lampau ini menjadi momok tersendiri bagi Moeryam yang tidak begitu banyak melakukan dialog, namun harus tetap bertahan pada mimik wajahnya.

Setelah dimadu, sosok Ngasirah "turun kasta" menjadi pembantu. Bahkan Kartini dan adik-adiknya harus memanggilnya "Yu", bukan Ibu. Ngasirah juga harus memanggil Kartini dengan gelar "Ndoro" (panggilan untuk kaum bangsawan). Ngasirah menjadi salah satu sosok sentral yang membuat Kartini menyadari bahwa perempuan masih diperlakukan secara tidak adil. 

Poligami pun menjadi sesuatu yang sangat berlawanan dengan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita. Baik Kartini maupun Ngasirah sama-sama harus menghadapi pilihan yang sangat sulit. Wanita masih dipandang sebagai warga kelas dua pada era itu. Setelah menikah pun, mereka harus mengabdikan segenap jiwa dan raga untuk suaminya. Kisah wanita zaman dahulu yang masih terbelenggu adat.

Banyak adegan dalam film Kartini yang kritis menembus dengan gamblang suasana di balik tembok singgasana kekuasaan wilayah Jepara. Kartini, sebagai sosok wanita dari Jepara itu tidak hanya ingin membongkar praktik ketidakadilan tetapi juga menolak tunduk pada godaan untuk berlaku tidak adil pula. Menolak ketidakadilan sekaligus bertindak adil adalah dua sisi yang tak terpisahkan.
 
Pada masa itu, melanggar adat adalah hal yang pantang untuk dilakukan. Namun, Kartini tetap teguh pendirian meski harus berada dalam tekanan tradisi yang mengharuskannya menjadi Raden Ayu. Ketika wanita menjadi Raden Ayu, ia harus menjalani masa pingitan sampai nanti pria bangsawan melamarnya. 

Kartini pun mempengaruhi kedua adiknya, Kardinah (diperankan oleh Ayushita Nugraha) dan Roekmini (diperankan oleh Acha Septriasa) untuk mendobrak budaya. Mereka berupaya membebaskan diri dari kakunya tradisi wanita ningrat Jawa yang harus berjalan sambil jongkok, berbahasa Jawa Kromo, menyembah dengan mempertemukan kedua tangan, dan menjalani ritual pengasapan dupa agar tubuh wanita tetap harum. Tradisi Jawa kuno juga ditentang karena menganggap perempuan tidak pantas menuntut ilmu lebih tinggi dari pria hingga membuat perdebatan tersendiri. Perempuan di era itu hanya ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengurus keluarga.
 
Kartini juga membolehkan kedua adiknya untuk memanggil dirinya dengan nama Kartini saja tanpa harus menjunjung tinggi sopan santun yang begitu runtun. Kelucuan dan keanehan Kartini pun muncul hingga kelakukannya yang suka ngemil kacang mede dari toples begitu seenaknya menghiasi beberapa adegan dalam masa pingitan penuh tekanan. Kenapa tidak sekalian sambil ngemil cokelat agar lebih modern?!?!.

Beberapa hal yang dilakukan Kartini dalam lingkup keluarga juga terlihat lepas dari keanggunannya sebagai seorang perempuan. Kartini tampil dengan tomboi sekaligus menjadi sosok priyayi yang mendobrak tradisi dan adat. Ia dan adik-adiknya terbiasa mengobrol di atas tembok keraton dengan memakai kain dan kebaya. Kartini pun lebih menonjol menjadi pusat perhatian dibanding kedua adiknya. Ada tingkah laku konyol dalam sikap mereka menertawakan budaya priyayi dan melawan penjara pingitan.

Upaya dari sineas yang mempertahankan unsur artistik sebagai proses penciptaan kreatif kisah hidup kartini yang berada pada kungkungan aturan, nalar, atau fakta sebagai cerita hidup seorang tokoh terkenal. Entah sesuai dengan kisah nyata atau tidak, namun dalam film ini terkesan tak ada saksi hidup yang bisa menjadi kunci dalam beberapa adegan.

Tak bisa dipungkiri bahwa masalah utama dari pembuat film dalam membuat sebuah film biopik yaitu masyarakat pemuja tokoh tersebut. Rakyat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menafikan interpretasi beda terhadap tokoh pujaannya. Hal ini berakibat pada munculnya film-film biopik yang hanya berfungsi sebagai medium glorifikasi dan curriculum vitae audio-visual.

Penuturan terhadap sosok Kartini memang klise hampir sama dengan film-film biopik garapan Hanung Brahmantyo sebelumnya. Namun, ada sebuah discovery atau penemuan baru yang diupayakan untuk memberi penonton pendalaman sudut pandang lain.

Kartini diungkap seolah haus ilmu pengetahuan. Beberapa adegan menyiratkan makna sosok Kartini yang mengagungkan untuk membaca buku apalagi dalam kondisi terkekang. Ia tidak hanya membaca sendiri, melainkan mengajak yang lain untuk terus membaca. 


Sosok Hanung Brahmantyo yang religius juga berpengaruh atas adegan seorang Kyai melakukan pengajian di rumah Kartini pada malam Kardinah akan dijodohkan. Kartini bertanya kepada Kyai tersebut mengenai status perempuan dan laki-laki dalam menuntut ilmu. Ia pun mendapat penjelasan singkat tentang terjemahan surat Al Fatihah dan disinggung juga keindahan makna ayat pertama Al Qur’an dalam QS. Al Israa’ yaitu ‘Iqra ! Bacalah. Atas nama Tuhanmu yang diwajibkan’. Adegan ini menjelaskan makna tentang kunci ilmu pengetahuan yang jarang penonton dapatkan di film-film lainnya.

Lama-kelamaan Film Kartini yang diproduseri oleh Robert Ronny menjadi film hypotethical biopic atau alternate history  yang mengusung pendekatan menarik. Kartini dan saudaranya harus menghadapi berbagai tekanan. Jauh dari bayangan kita, sosok Kartini justru hadir tak sekedar menjadi tuan puteri yang selalu diminta menjaga tata krama dan tutur bahasa. Nilai-nilai kebaikan yang Kartini semaikan tidak selalu berjalan mulus. Ditentang beberapa pihak keluarga serta dibatasi tradisi yang mengikat

Namun, Kartini bukan sosok yang pantang menyerah. Beragam cara ia lakukan untuk menyuarakan kegamangan dan wawasan melalui surat-surat yang tidak mudah untuk bisa sampai ke sahabat-sahabatnya. Kartini terlihat tetap ingin maju bersama kaumnya, memberi dukungan pada kaumnya tanpa meninggalkan akar budayanya sebagai orang Jawa.

Ada beberapa adegan yang layak untuk ditelaah. Misalnya, adegan Kartini berkorespondensi dengan seorang perempuan dari Belanda. Ia tampak membaca sebuah surat dan tiba-tiba latar dari tempat Kartini berada langsung berubah menjadi negeri kincir angin. Kartini pun berdialog dengan sahabat penanya tersebut yang menjadi penulis buku. Ia berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda melalui adegan efek digital yang distraksi.

Selain itu, adegan Kartini membaca sebuah novel. Kartini seolah melihat perjalanan cerita tentang sidang di ruang pengadilan masa Belanda yang sedang berlangsung. Penulis novel pun tampak bersanding disebelahnya, menjelaskan apa yang sedang dilihat oleh Kartini. Tim produksi membalut adegan ini dengan daya imajinasi yang jarang ditemukan dalam film-film Indonesia lain. 

Visualisasi hiperbola dalam merubah latar suatu negara atau peristiwa menjadi simbol isi buku yang sedang dibaca oleh Kartini. Adegan-adegan perjumpaan seperti dunia khayal tersebut menjadi kurang sinergi karena banyak bahasa lokal yang diganti dengan bahasa Belanda. Sebuah metafora dari gagasan sang sutradara yang menegaskan bahwa Kartini mungkin lebih berpikir modern.
 
Meski demikian, Film Kartini sarat akan budaya Indonesia terutama budaya jawa. Deskripsi Kartini yang tetap memilih berada diperadabannya atau sesuai jalur kultur ketimurannya diungkap melalui tatanan dialog bukan dari reka adegan. Otentisitas lokal  dihiasi dengan bahasa Jawa mendominasi. 

Selain dalam penggunaan bahasa pada setiap dialog, latar tradisi Jawa saat era Kartini mengarahkan pemikiran perempuan yang hanya memikirkan 'cepat kawin' karena terbatasnya pendidikan bagi orang Belanda dan pribumi ningrat.  Perempuan ningrat harus pasrah jadi istri kesekian pria yang dijodohkan oleh silsilah keluarga berdarah biru tanpa rasa cinta yang mengikat.

Satu per satu, anak dari Bupati Jepara itu pun terpaksa harus menikah dengan laki-laki bangsawan pilihan orangtuanya. Mereka harus ikhlas dimadu. Tradisi ini seolah turun temurun dalam silsilah keluarga ningrat di masa itu.

Hanya saja setelah kakak Kartini yang bernama Sulastri (Adinia Wirasati) kembali ke rumah, Ia mulai bicara dan mengadukan nasibnya. Sulastri ditelantarkan oleh suaminya bukan karena tentang materi atau tidak bisa menafkahi, namun lebih kepada perasaan yang harus dijaga karena suaminya itu kawin lagi. Mendengar hal itu, ibu tiri Kartini pun tersadar karena dari lubuk hati terdalam, Ia juga merasakan apa yang anak-anaknya alami saat harus rela dipoligami.

Kartini pun harus tetap menikah dan dijodohkan oleh orangtuanya sendiri. Namun, Ia mengajukan 4 syarat yang harus dipenuhi oleh calon suaminya. Seorang duda yang juga menjabat sebagai Bupati Rembang bernama Raden Adipati Joyodiningrat diperankan oleh Dwi Sasono tak patah arang meminang perawan bangsawan ini. 

Raden Adipati Joyodiningrat semakin terpesona dengan Kartini. Pemikirannya tentang kodrat wanita hanyalah untuk menikah dan mengurus keluarga, sirna sudah. Bupati Rembang tersebut memenuhi niat Kartini untuk membangun sekolah bagi kaum bumiputra agar wanita bisa menjadi kaum terdidik. Lebih lanjut, cita-cita Kartini terhadap wanita bisa mendidik anak-anaknya agar lebih maju. Pemikiran seperti ini juga menjadi wasiat yang terlintas dalam benak almarhumah istri Raden Adipati Joyodiningrat yang sudah meninggal.

Ada unsur reversal melalui pernikahan Kartini yang harus tetap dilangsungkan meski kisah yang disampaikan kurang begitu menguras emosi. Adegan pernikahan kakak, adik, dan Kartini sendiri menjadi suatu ritual pernikahan yang diatur semata. Untung saja, ada sosok Acha Septriasa yang memberi rasa dengan tangis tertekannya dalam setiap adegan tersebut sehingga penonton masih bertahan pada posisi tafsirnya sendiri untuk peduli terhadap poligami.

Potensi Kartini dan kedua adiknya lambat laun diakui dan didukung oleh pemerintah Belanda. Hingga Film Kartini diakhiri dengan narasi teks yang berisi selang waktu 3 hari setelah menikah, proposal beasiswa untuk melanjutkan sekolah di negeri Belanda disetujui. Namun, kartini menyerahkan beasiswa untuk belajar ini kepada Agus Salim. 

Jangan harap penonton mendapat kisah akhir romansa yang begitu indah. Penonton akan disuguhi unsur kisah utama perjuangan R.A Kartini yang ingin mendobrak tradisi, memenuhi adil dalam berpoligami, dan mendirikan sekolah saja.  Alur cerita keseluruhan pun sampai pada titik yang tidak memberi inspirasi, namun penonton akan melihat sejarah yang tak begitu bosan.

“Tidak ada yang lebih berharga selain membebaskan pikiran”


Sutradara berhasil mengarahkan para pemainnya untuk tampil dalam jiwa sesuai tuntutan cerita. Hanung Brahmantyo mencoba mengarahkan pemainnya untuk masuk ke dalam intrepretasi karakternya. Dari semua karakter, Blogger Eksis sangat terkesan dengan chemistry Dian Sastrowardoyo dan Christine Hakim sebagai anak dan ibu kandung. Dengan bahasa Jawa yang fasih dan sangat menguasai peran, Christine Hakim mampu memancing Dian Sastrowardoyo untuk mengeluarkan emosinya sebagai anak yang memberontak terhadap ketidakadilan.

Sebagai Ibu kandung, Ngasirah membebaskan Kartini begitu mudah untuk keluar kamar saat terkurung dalam kondisi kegelapan atas tindakan ibu tirinya. Kartini diajak oleh ibu yang melahirkannya tersebut menuju danau sambil merenungi nilai-nilai luhur budaya Jawa yang tidak diajarkan dalam edukasi modern. Dalam budaya Jawa, jika ingin menaklukkan seseorang bukan dengan membantah atau melawan tapi dengan memangku atau mengorbankan ego pribadi. Christine Hakim berhasil membangun citra Kartini sesungguhnya dari sudut pandang seorang ibu.

Walaupun adegan ini terkesan disisipkan dan menjadi titik balik yang disengaja. Christine Hakim mampu menyikapi adegan ini dengan penghayatan emosi yang mendalam. Ia berhasil mengingatkan Dian Sastrowardoyo tentang nilai tradisi lokal yang harus tetap menjadi identitas diri agar tidak luntur karena semua proses perjuangan butuh pengorbanan. Komunikasi ibu dan anak ini pun terbangun seperti menyaksikan film Pasir Berbisik.

Selebihnya Nova Eliza yang berperan sebagai Christine Hakim muda juga tampil natural di awal film dengan dukungan penampilan fisiknya yang pas. Adinia Wirasasti yang berperan sebagai Soelastri (kakak dari Kartini) juga mampu mencuri perhatian sekilas meski tak tergarap lugas. Lalu, raut wajah Djenar Maesa Ayu yang berperan sebagai ibu tiri kejam juga turut membantu penonton untuk menafsirkan setiap adegan. Sumbangsih akting mereka memberi warna tersendiri untuk film ini.

Citra modern justru diperlihatkan Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini lewat gestur dan bahasa tubuhnya. Mimiknya masih tak bisa menyembunyikan trademarknya sebagai Cinta di awal tahun 2000an. Hanya bedanya, Cinta lebih terbiasa dengan adat Jawa yang melekat dalam balutan sanggul dan kain. Cara bicaranya masih kurang halus dan cara interaksi dengan yang lain tidak begitu dihayati. Hanya sedikit penekanan logat Jawa medhok dibeberapa bagian dan cara berjalan yang memang harus dipelajarinya sebagai Raden Ayu. 

Tapi, selebihnya Dian Sastrowardoyo amat terkesan modern. Usianya yang sudah masuk kategori ‘orangtua’ juga dicibir oleh netizen yang tak merepresentasi Kartini muda. Dian Sastro makin tidak terasa jiwanya sebagai Kartini dengan segala kompleksitasnya yang kita rasakan diberbagai surat tulisan Kartini semasa hidupnya. Ini jelas tidak logis.

Pendalaman karakter Kartini yang meleset dengan segala konsep dan karakter yang diharapkan Blogger Eksis juga diikuti oleh karakter lain, seperti Reza Rahardian yang berperan sebagai sosok kakak laki-laki yang begitu jenius bernama R.M. Panji Sosrokartono. Sebagai medium pemberi pesan terhadap Kartini dan penonton, Reza yang tampil sesaat tak sanggup menjadi cameo dengan penuh totalitas. Kabarnya yang melanjutkan studi di Belanda tak ada kelanjutan dan koleksi bukunya yang dibaca oleh Kartini hanya berisi adegan numpang lewat begitu saja.

Akting Deddy Sutomo dengan jenggot palsunya juga masih belum tampil apa adanya dan Denny Sumargo yang berperan sebagai Slamet terkesan datar tanpa memainkan emosi sesuai karakter yang diperankannya. Rianti Cartwright pun sebagai Wilhelmina tampil tenggelam di garis batas kualitas nama-nama pemeran pendukung lainnya yang selalu diperhitungkan dalam jagat perfilman nasional.

“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya”.

Dari poster film, penonton diajak melihat Kartini dan kedua adiknya yang tersenyum begitu manis dihadapan anak-anak perempuan lainnya. Dengan nuansa warna modern dan sentuhan klasik tata busana anggun seolah memberi makna bahwa Kartini memang sosok inspirasi. Potret dalam poster tak mencerminkan isi dari film Kartini. Adegan yang dimaksud dalam poster hanya tampak beberapa saat saja mengisi unsur storyline yang cepat beranjak pergi.

Setelah menonton film ini, status Kartini sebagai seorang pahlawan nasional tidak bisa dijadikan rujukan untuk bicara tentang perjuangan kaum perempuan dan gerakan feminisme. Membicarakan kesahihan Kartini sebagai pahlawan nasional pun akan mengalami kontroversi terhadap standar kepahlawanan itu sendiri.

Film Kartini seakan membatasi bahwa Kartini menjadi seorang penulis surat yang hanya mengandalkan korespondensi. Lalu, menularkan budaya literasi dengan membaca buku dan belajar bersama golongan Belanda hingga terjun ke masyarakat sekitar untuk membangun peradaban. Entah tampak konsisten atau tidak, benang merah yang dirajut dengan makna edukasi masih minim digarap dalam film ini. 

Sebagai penonton, aku hanya bisa melihat Kartini sebagai pendobrak tradisi dan poligami karena tema tersebut yang lebih diangkat dalam intrepretasi sutradara.  Hanung seolah mempertemukan antagonisme dan egoisme yang tidak datang dari pihak luar melainkan terlibat dalam kedekatan keluarga disekitarnya. Ini yang membuat Kartini versi Hanung menjadi perhatian apalagi alur cerita dibuat begitu lama.

Seperti yang kita ketahui bahwa Kartini gemar berinteraksi lewat surat menyurat dengan rekan-rekannya yang lalu melahirkan berbagai gagasan yang melampaui zamannya. Dari kumpulan surat yang diterbitkan oleh J.H. Abendanon lewat buku Door Duisternis Tot Licht (diterjemahkan menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’), salah satu sahabat pena Kartini, ada sekitar 87 surat. Bisa dibayangkan seringnya frekuensi berkirim surat yang dilakukan Kartini, tapi ironisnya Film Kartini menafikan hal itu. 

Film Kartini juga membuat kejanggalan continuity property. Ada adegan saat Kartini memegang kertas folio halus bergaris biru. Kertas jenis ini kerap penonton jumpai di tukang fotocopy atau penjual alat tulis masa kini. Padahal sepanjang adegan Kartini menulis, ditampilkan kertas kasar polos berwarna agak kecoklatan. Justru kertas polos kasar ini memang mewakili waktu saat Kartini hidup di masa lalu. Apakah ada perubahan waktu secepat itu tanpa pertimbangan kebutuhan gambar dan hand property yang digunakannya?.

Tidak hanya melampaui surat-surat yang kerap ditulis, tapi Kartini coba diintrepretasi sebagai pejuang pemikiran dengan ide-ide dan gagasan emansipasi untuk melawan ketidakadilan. Eksekusi tersebut bisa jadi menimbulkan pengerucutan pemikiran generasi millennial saat ini.

Sekali lagi penulis katakan bahwa rasa perjuangan terhadap pendidikan yang dilakukan oleh Kartini belum menyentuh hati. Tidak begitu banyak esensi yang keluar  dari apa yang Kartini miliki. Kekuatan terbesar dari film Kartini seharusnya terletak pada gambaran besar dampak pemikiran dan tindakannya bagi lingkungan. Namun, unsur cerita seperti itu tidak tergarap dengan baik. Penonton pun hanya disuguhkan situasi sekitar hidup Kartini dari hal yang paling dekat yaitu kehidupan sehari-hari.

Sekolah yang didirikan Kartini yang katanya menjadi pendobrak wanita yang terdidik hanya sebatas arena. Ruang lingkup begitu kecil diungkap sehingga dalam film Kartini tidak digambarkan bahwa Kartini akan mendorong munculnya wanita-wanita lain dengan perjuangan serupa. Hingga akhirnya terjadi gaya bertutur backfired di beberapa bagian. 

Seperti film-film layar lebar besutan sutradara ini sebelumnya, banyak adegan dramatis nyaris mendekati sinetron yang membuat penontonnya tidak begitu nyaman. Adegan saat Kartini kecil yang bersikap keras ingin tidur bersama ibu kandungnya, adegan saat Kardinah dan Roekmini curhat kepada Kartini karena tidak mau menikah dan adegan saat ibu tiri Kartini memisahkan Kartini dengan Roekmini agar tidur di kamar yang berbeda agar Kartini tidak bisa mempengaruhi adiknya.

Upaya untuk bertutur semudah dan selembut mungkin seringkali diwujudkan dengan penataan adegan yang terkesan cheesy, terlalu diatur, dan kurang tulus. Ditambah lagi, ritme paruh kedua film ini jadi lebih diseret dengan banyak 'tradisi', seolah tak rela film dengan effort sebesar ini hanya menempelkan nama-nama aktor dan aktris ternama saja tanpa esensi kuat dari masing-masing karakter.

Sebagai contoh, pemikiran Sosroningrat yang labil. Suatu sisi, Ia belum dapat mengizinkan Kartini memperoleh pendidikan yang lebih tinggi karena ada halangan yang timbul dari saudaranya sendiri dengan kekhawatiran bahwa perempuan justru ingin menjadi bupati ketika sudah mendapat gelar akademik.  

Disisi lain, Ia meyakini suatu saat nanti zaman pasti akan berubah. Akhirnya, di tengah kondisi yang tidak stabil, ayah Kartini membawa anak-anak perempuannya tersebut keluar mengikuti kemauan mereka. Diajak tampil di muka umum sekaligus menghadiri pertemuan yang membuka jalan pemikiran dengan beragam persepsi yang muncul dikemudian. Adegan-adegan pemanis tanpa makna pun bermunculan, Kartini dan kedua adiknya bermain di hutan dan pantai seolah merasakan kebebasan tanpa esensi yang berisi.

“Apa yang kamu miliki saat ini, tidak akan ada artinya jika hanya untuk dirimu sendiri. Kamu harus berbagi karena perubahan tidak berjalan sendirian.”


Film Kartini bukan hanya bisa ditonton oleh kaum hawa saja, tetapi siapapun bisa menikmati film ini dengan unsur yang membumi. Beruntung bahwa kekuatan unsur-unsur ini lumayan bisa jadi kompensasi akal untuk suatu tradisi dan poligami meski sangat minim unsur edukasi. Desain produksi pun digarap dengan serius.

Mulai dari tata kamera yang diatur oleh Faozan Rizal dengan memperlihatkan shot burung dalam sangkar. Mungkin saja ini menjadi simbol bahwa Kartini bagai sosok burung dalam sangkar sesuai penceritaan. Tata cahaya di dalam maupun luar ruangan juga membuat sisi sejarah dalam film ini lebih kental. Tata kamera dan tata cahaya pun menjadi kesatuan nyaman selama film. Meski tak diimbangi beberapa transisi dalam proses penyuntingan gambar karena terlihat noise tidak ada makna yang mendalam atau alasan kuat untuk menampilkan transisi tersebut.

Tata artistik yang digarap oleh Allan Sebastian pun tampak dikerjakan dengan penuh perhatian. Film Kartini terbantu dengan kostum yang bersanding dengan tata rias wajah yang tak berlebih karena diatur oleh Retno Ratih Damayanti yang mumpuni. Penataan musik dan suara yang beratmosfer klasik, romantis, sekaligus megah juga jadi salah satu poin yang membuat film ini secara keseluruhan tak bosan dinikmati.

Secara keseluruhan, Kartini dari intrepretasi Hanung Bramantyo memang punya nyawa berbeda dari ekspetasi historis yang ada. Blogger Eksis bisa mengatakan bahwa Film Kartini menjadi kisah cinta untuk semua tanpa bumbu asmara. Ada kisah cinta seorang Ibu yang bernama Ngatirah kepada anaknya, begitu juga sebaliknya rasa cinta dari anak yang bernama Kartini kepada ibunya sudah tergambar jelas dalam adegan awal. Lalu, kisah cinta seorang kakak laki-laki yang bernama R.M. Panji Sosrokartono yang kepada adik perempuannya, Kartini. Kisah cinta tulus Kartini terhadap adik-adiknya yang berupaya mendobrak tradisi yang ada. Kemudian  yang paling menohok adalah kisah cinta seorang Ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kisah cinta kepada keluarga ini terangkum juga untuk seluruh Rakyat yang dipimpinnya. Dan diakhir, kita akan mencerna ada kisah cinta seorang perempuan untuk kaum perempuan lainnya. Ini bentuk perjuangan cinta Kartini yang didukung oleh orang-orang disekelilingnya.

Kembali, lagi pada suatu teori bahwa menonton film itu menggunakan teori relativitas. Suka atau tidak suka memberi pandangan para relativis terhadap hasil karya dengan nilai apresiasi berbeda-beda sesuai selera setiap penonton. 

Jadwal rilis film Kartini tercatat tanggal 19 April 2017 jelang peringatan Hari Kartini. Strategi ini dilakukan untuk menambah gegap gempita aspek pemasaran film Kartini agar laris dipasaran dan tembus jutaan penonton. Kita doakan saja semoga film Kartini bisa sesuai dengan ekspetasi Anda.

Selamat menyaksikan Film Kartini dan lihatlah putri bangsawan yang jadi kebanggaan!
Film Kartini bercerita tentang Putri Bangsawan yang jadi Kebanggaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar