Film
adalah wahana untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah
media cerita. Film juga merupakan medium ekspresi artistik sebagai suatu panca
indera bagi para seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan
gagasan-gagasan dan ide cerita. Mulai dari kisah cinta yang menggelora, kisah
cita-cita yang menggebu, dan kisah cipta yang menginspirasi. Semua telah
dihadirkan para sineas perfilman dengan rasa yang berbeda.
Berkembangnya dunia sinema Indonesia hingga tahun 2014 telah
menghasilkan berbagai genre
film. Selain sebagai hiburan
ternyata film mengandung
nilai atau pesan yang terkandung didalamnya sehingga memiliki banyak penikmat dan penggemarnya
masing-masing.
Beberapa
film di Indonesia yang menjadi karya dari sutradara-sutradara ternama juga
diangkat dari beberapa novel yang laris dipasaran atau menjadi best seller. Film-film tersebut mampu
eksis ditengah persaingan dunia industri perfilman nasional. Misalnya, Ketika
Cinta Bertasbih (Chaerul Umam), Laskar Pelangi (Mira Lesmana-Riri Riza), Sang
Pemimpi (Riri Riza), Edensor (Benni Setiawan), Negeri 5 Menara (Affandi Abdul
Rachman), 5 cm (Rizal Mantovani), Perahu Kertas (Hanung Bramantyo), Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck (Sunil Soraya), dan Marmut Merah Jambu (Raditya Dika)
berhasil mencetak rekor penonton tertinggi.
Meski memiliki dimensi yang berbeda,
novel dan film saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Banyak film-film
berkualitas yang diadaptasi dari sebuah novel menjadi laris. Tak jarang, film
hasil adaptasi novel mendapatkan sambutan yang sama baik dengan novel yang
bersangkutan. Tak dapat dipungkiri sukses suatu novel merambat pula kepada
sukses suatu film untuk ditonton oleh masyarakat.
Salah
satu contoh film adaptasi novel paling laris ditahun 2014 adalah film berjudul
99 Cahaya di Langit Eropa. Film ini adalah sebuah film yang diangkat dari novel
yang ditulis oleh Hanum Salsabela Rais, putri tokoh nasional Amien Rais. Cerita
dalam novel tersebut ditulis bersama suaminya, Rangga Almahendra dan
diterjemahkan kembali ke dalam sebuah bentuk skenario oleh Alim Sudio. Kisah
ini berdasarkan pada pengalaman Hanum dan Rangga selama 3 tahun tinggal di
benua biru.
Sesungguhnya
novel dan film itu tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Alasannya, karena
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Begitu juga yang
terungkap dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa. Jika kita lihat dari segi
kelengkapan cerita, sangat terlihat cerita yang ditampilkan dalam film tidak
selengkap yang telah tertulis dalam novelnya. Beberapa penjelasan-penjelasan
tentang sejarah Islam tidak mampu divisualisasikan secara detail dalam film
ini. Seharusnya hal-hal tersebut bisa menjadi tantangan tersendiri bagi sineas
perfilman Indonesia.
Meskipun
demikian, film 99 Cahaya di Langit Eropa bisa menjadi tontonan yang memuat
pesan toleransi yang sangat indah. Padahal, film-film Indonesia sudah sangat
jarang menampilkan film yang berisi dan memberikan pesan yang mengandung unsur
edukasi kepada masyarakat. Film 99 Cahaya di Langit Eropa berusaha membuat
energi baru dengan mengungkap pesan-pesan yang mendidik dan berdampak pada
publik terutama dalam segi religi yang saling mengasihi.
Tema film ini bercerita tentang pengalaman
sejarah dan peradaban umat manusia di negeri orang dalam mempertahankan
keyakinan, cinta, dan prinsip di tengah sekulerisme Eropa yang dibalut dengan
persahabatan dan pengungkapan misteri peradaban Islam. Unsur penciptaan karya
film bernuansa religius dibuat dengan konflik, penokohan, dan wadrobe yang pas. Namun, konflik
terkesan sederhana dan datar karena hanya berusaha menerjemahkan bahasa
kata-kata ke dalam sebuah visual yang membuat penonton harus menafsirkan
sendiri. Tidak ada dramaturgi yang terbentuk dalam film ini sehingga banyak
orang menilai bahwa film ini adalah sebuah film semi dokumenter atau film
sejarah Islam yang mencoba mengislamisasi diri.
Konflik
ketika kaum urban sulit mendapatkan pekerjaan di Eropa, konflik batin ketika sosok
Rangga harus memilih antara mengikuti ujian studi akhir atau melaksanakan
ibadah sholat Jum’at, dan konflik antara Hanum dan tetangganya yang terganggu
hanya karena bau ikan asin dan suara televisi yang berisik. Ketiga konflik
tersebut terkesan dipaksakan dalam setiap adegan sehingga terlihat janggal atau
aneh bahkan bisa menimbulkan makna ambigu. Seharusnya,
hal-hal yang mengungkapkan pertentangan atau konflik dalam sebuah film yang
menyangkut perbedaan pendapat dan nilai biasanya lebih disukai oleh penonton. Film
ini pun kehilangan esensinya.
Esensi sebuah film adalah rangkaian gambar (visual). Untuk
memahami makna yang terkandung di dalam gambar hasil rekaman (video) tidaklah
mudah. Kendatipun seseorang merasa mengerti tentang sesuatu yang terdapat di
dalam gambar, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dipahami. Maka, sebuah
gambar menjadi sangat tergantung kepada siapa yang menginterpretasikan.
Penonton yang melihat gambar tertentu akan menginterpretasikan gambar tersebut
menurut pikirannya yang didasari oleh pengalaman hidupnya atau pola pikirnya
hingga mempunyai kesan tertentu.
Beberapa adegan dalam film juga
digambarkan dengan penggunaan dialog yang membuat penonton harus berpikir
dengan logika. Misalnya dialog dua orang asing yang menganggap roti croissant sebagai bentuk dari bendera
Turki yang jika dimakan sama saja dengan menghina muslim. Lalu, ada juga dialog
seorang dosen yang berusaha menafsirkan makna bismillah saat Rangga meminta
izin untuk mengubah waktu ujiannya yang bentrok dengan ibadahnya. Dialog dalam
dua adegan tersebut memang mengalir, namun penonton harus mampu mencerna kata
demi kata yang terucap oleh pelakunya karena visual adegan dibuat dengan potongan
gambar yang biasa saja, tanpa ada suspence
atau punching line.
Namun, Film 99 Cahaya di Langit
Eropa cukup berhasil sebagai film yang menyampaikan informasi mengenai
jejak-jejak agama Islam di benua Eropa. Film ini membawa
kita untuk memahami sejarah kejayaan Islam di tanah Eropa tanpa terkesan
menggurui. Melalui film ini kita menelusuri sejarah Islam di Eropa terutama
dari masa Dinasti Umayyah dan Ustmaniyyah. Kita mampu melihat jatuh bangun
peradaban Islam yang pernah menyinari daratan Eropa. Disamping itu, kita juga
dapat menyimak perjalanan Fatma Pasha. Sosok imigran dari Turki yang menjadi
sahabat Hanum untuk mencari kehidupan yang lebih baik sekaligus menyebarkan
cahaya Islam dan menghapus stereotipe negatif tentang Islam yang sudah
mengakar kuat di Eropa. Energi sejarah islam yang masih kurang dalam film ini
ialah tentang sosok Kara Mustafa Pasha yang hanya selintas diceritakan dan
membuat penonton terus bertanya-tanya siapakah sosok beliau yang mampu memberi
pengaruh dalam Islam.
Kita
harus mengakui bahwa menonton film ini lebih seperti melihat kembali
ensiklopedi kemegahan Eropa dan sejarah Islam dibandingkan dengan mengajak
penonton untuk turut serta merasakan apa yang para tokohnya rasakan. Logisnya, film
ini memang seperti dibuat dari sudut pandang sang penulis novelnya. Esensi
cerita pun justru menjadi bias dan kosong. Konflik-konflik dalam cerita berusaha
diungkap dan ditampilkan melalui sejumlah monolog yang dilakukan oleh tokoh
Hanum. Namun, penggarapannya terkesan kurang rapi karena cerita yang tersaji
tidak mampu mengikat emosi penonton.
Film yang
mengambil lokasi syuting di empat negara Eropa: Vienna (Austria), Paris
(Perancis), Cordoba (Spanyol), dan Istanbul (Turki) juga unggul dalam sisi sinematografi karena berhasil menampilkan unsur
visual panorama kota-kota tersebut menjadi magnet tersendiri bagi penonton. Ketajaman
gambar dan corak penggambarannya mampu menggugah penonton untuk mengunjungi
empat kota itu. Walaupun harus kita akui establish
shot yang ditampilkan tampak terlalu banyak. Entah untuk memperpanjang
durasi atau memang strategi pasar pemilik modal yang membiayai film ini
menjadikan sebuah lahan promosi pariwisata tersendiri.
Sisipan
adegan-adegan iklan juga sedikit mengganggu jalan cerita. Adegan dibuat demi
komersial semata seperti kebanyakan film-film Indonesia lainnya. Tidak tercipta
dalam suatu makna yang memiliki unsur drama. Untung saja, pihak sponsor yang terlibat
dalam produksi film ini tidak terlalu banyak sehingga masih terlihat sewajarnya
walaupun tidak tergarap secara memuaskan. Seperti adegan pengambilan uang di
ATM yang dilakukan oleh Rangga.
Unsur-unsur lain yang juga tampak mengganggu dalam film
ini ialah editing
subtitle dialog yang kurang rapi. Pada film ini juga tidak
diceritakan latar belakang beberapa karakter orang asing yang ternyata bisa
berbahasa Indonesia dengan fasih seperti Fatma Pasha dan Ayse dari Turki,
Marion Latimer dari Perancis, Khan dari Pakistan, serta Maarja dan Stefan.
Memang sulit memaksakan para aktor atau aktris untuk menguasai bahasa asing
sesuai perannya masing-masing, namun jika para sineas berhasil menggarapnya,
maka film ini akan berpeluang untuk dikenal lebih luas di mancanegara atau go international.
Pada
akhirnya, sinergi antar semua unsur yang tergabung dalam film ini memang
bertumpu pada cerita. Materi cerita novel 99 Cahaya di Langit Eropa memang
terlalu luas untuk dimuat dalam satu kisah visual. Namun, banyak penonton
beranggapan bahwa materi cerita tersebut memiliki nilai komersial yang tinggi
sehingga para produser memutuskan untuk produksi sekuel film 99 Cahaya di
Langit Eropa menjadi dua bagian. Ada 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 dan 99 Cahaya di Langit Eropa Final Edition. Kondisi demikian sudah
menjadi strategi marketing tersendiri para pemilik modal. Tetapi, penonton pun
banyak yang merasakan tidak mencapai klimaks untuk menonton film ini. Sinergi
film ini pun seakan sirna di sekuel-sekuel film berikutnya.
Jika
99 Cahaya di Langit Eropa terkesan berusaha untuk tampil dengan kisah
yang lebih luas tentang suatu perjalanan religi, maka 99 Cahaya di Langit
Eropa Part 2 jelas dapat dirasakan sebagai sebuah bagian
penceritaan yang lebih personal. Meskipun beberapa konflik yang dihadirkan
kurang mampu terasa esensial dan gagal bersinergi pada unsur sinematografi dari
sekuel film ini sebelumnya.
99
Cahaya di Langit Eropa Part 2 hanya memberi fokus yang lebih kuat pada kisah
kehidupan kedua peran utama dalam film ini, yaitu Hanum dan Rangga dalam sebuah
narasi. Penonton hanya disuguhkan dengan kualitas akting yang cukup meyakinkan
dari sisi teknikal serta penampilan para pemeran, 99 Cahaya di Langit Eropa
Part 2. Tidak begitu banyak yang bisa kita apresiasi untuk sekuel ini,
namun setidaknya sineas mulai melakukan perbaikan kualitas yang lebih layak
untuk suatu tontonan sebuah film.
Pada
akhirnya, menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa akan membawa kita untuk merasakan
suatu cerita perjalanan spiritual yang telah dialami oleh Hanum dan suaminya.
Kita bisa merasakan bahwa kita masih jarang membuka mata untuk melihat dunia
dan segala isinya, terutama yang berkaitan dengan ajaran keagamaan. Perjalanan
yang terekam dalam film tersebut harus mampu membawa penonton untuk naik ke
derajat yang lebih tinggi dalam memperluas wawasan sekaligus memperdalam
keimanan. Meskipun, jenis film religi ini masih belum tampak esensi dan sinergi
yang memadai.