![]() |
Aksi Tugu Rakyat BEM SI Tahun 2009 |
“Kepada rekan-rekan ku yang masih mencari identitas diri”
“Kepada rekan-rekan ku yang memendam potensi diri dalam hati”
“Kepada rekan-rekan ku yang menghambakan diri untuk illahi”
Kini, kita
merasakan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan kehadiran sosok aktivis ideal
untuk mempelopori penegakan nilai-nilai luhur ditengah masyarakat modern. Tidak
dapat dipungkiri bahwa suara mahasiswa sudah menggema dimana-mana, namun sangat
disayangkan bahwa diantara suara itu banyak pula suara sumbang. Antara satu
dengan yang lain tidak saling membangun dan menyempurnakan. Bahkan ada kala, satu
suara kebenaran bergaung disusul dengan puluhan suara kedengkian. Seorang
penyair melukiskan:
Bila ada seribu pembangun,
Satu yang meruntuhkan.
Cukuplah sudah...
Bagaimana dengan satu pembangun,
Seribu yang meruntuhkan ???.
Sadar atau
setengah sadar, kita sebagai mahasiswa telibat dalam setiap permasalahan bangsa
ini. Maka dari itu, peran pemuda khususnya mahasiswa sangat dibutuhkan dalam
menyongsong sebuah kebangkitan. Sebuah pemikiran dapat diwujudkan jika tersedia
keyakinan kuat, keikhlasan dalam berjuang, gelora semangat yang selalu
bertambah, serta kesiapan beramal dan berkorban dalam mewujudkan apa yang kita
perjuangkan. Oleh karena itu, sejak dahulu hingga sekarang pemuda atau mahasiswa
merupakan pilar kebangkitan setiap bangsa. Kita menjadi rahasia kekuatan pada
setiap kebangkitan dan pembawa bendera setiap pemikiran.
Mulai dari
korupsi, kolusi, nepotisme, narkoba, hingga tawuran antar mahasiswa atau
masyarakat sudah menjadi tontonan yang terbingkai dalam layar kehidupan berbangsa
dan bernegara sehari-hari.
Semua berawal dari korupsi yang merajalela. Maraknya korupsi di Indonesia bukan
lagi sebuah kekhilafan, melainkan direncanakan dengan matang. Artinya para
koruptor tahu bahwa perbuatan korupsi itu memiliki resiko. Inilah negara para
bedebah, tempat rakyat hidup dari mengais sampah, tapi para pejabat hidup mewah
dari hasil korupsi yang wah!.
Indonesia adalah negara besar yang majemuk. Membangun Indonesia sama saja membina bangsanya dengan nilai-nilai
akhlak yang paling dasar yaitu kejujuran, ketulusan, dan kerja sama yang positif.
Namun, apa yang terjadi, kejujuran sudah menjadi kebodohan di Indonesia. Siapa
yang jujur dianggap bodoh bahkan disingkirkan, tidak dipakai, dan dipandang sok
moralis. Sedangkan orang yang tulus juga dianggap bodoh dan tidak berhak
tinggal di bumi Nusantara.
Kondisi demikian membentuk suatu pola kerja sama
yang berkembang di Indonesia yaitu pola kerja sama yang negatif atau kerja sama
yang merusak. Misalnya, kerja sama antara auditor dan yang diaudit untuk
memanipulasi data. Itulah pola kerja sama yang menghasilkan korupsi.
Sekarang banyak orang kaya mendadak alias OKB
(Orang Kaya Baru), tapi harta yang melimpah terdeteksi dari kasus korupsi.
Masyarakat tak terkejut lagi mendengarnya karena korupsi selalu dilakukan
secara kolektif. Sudah menjadi rahasia umum jika korupsi selalu dilindungi
untuk kepentingan golongan.
Dibutuhkan suatu misi pendekatan
budaya dengan misi mengembalikan persepsi masyarakat tentang makna korupsi
sebagai sesuatu yang negatif. Pada bagian ini, institusi agama perlu diajak
dalam pemberantasan korupsi karena agama menyediakan seperangkat nilai-nilai
yang dijadikan paradigma oleh pemeluknya dalam melihat realitas hidup dan
bertingkah laku.
Sudah waktunya kita kembali kepada ajaran agama
untuk menegakkan kejujuran dan keadilan. Jangan sampai ajaran agama hanya dijadikan
tataran ritual dan seremonial belaka. Kita nyatakan perang terhadap korupsi
dengan kesatuan kelompok para pejuang anti korupsi karena korupsi telah menjadi
kezaliman yang teramat berbahaya.
Sebagai pejuang anti korupsi, kita sebagai mahasiswa harus menyadari peranan kita dalam Agent Of Change. Artinya mahasiswa sebagai ikon perubahan atau
dengan kata lain sebagai aktor pendobrak pemikiran masyarakat yang saat ini
sedang terkontaminasi virus apatisme massal sehingga masyarakat cenderung tidak
kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.
Inilah waktunya kita harus
mengisi hari demi hari dengan aktivitas pergerakan yang mumpuni. Seperti kata Soe
Hok Gie, mahasiswa adalah ‘the happy
selected few’ yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari serta melibatkan diri dalam perjuangan bangsa. Dan kepada rakyat, para mahasiswa harus
menunjukkan bahwa mereka dapat mengusahakan perbaikan-perbaikan dari keadaan yang
kritis semacam korupsi sesuai tuntunan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Selain itu, peranan mahasiswa sebagai Social
Of Control juga tetap dimainkan. Mahasiswa diharapkan mampu mengontrol
masyarakat. Artinya tidak boleh membiarkan masyarakat tertindas baik secara
fisik maupun kebijakan-kebijakan kejam yang dilakukan oleh para elite politik
yang berkuasa. Maka, mahasiswa harus konsisten dan lantang menyuarakan kegelisahan-kegelisahan
masyarakat tentang pemberantasan korupsi di segala lapisan masyarakat.
Tantangan bagi kita sebagai mahasiswa adalah
menjadi garda terdepan yang memperkuat barisan dalam laskar generasi
intelektual anti korupsi. Hal ini merupakan dasar bagi kita untuk peka dan
terlatih dalam menegakkan keadilan yang merata, khususnya dalam kasus
pemberantasan korupsi sehingga diperlukan upaya keras melalui pemecahan masalah
yang dapat menuntaskan tindakan kasus
korupsi dari generasi ke generasi secara efektif dan efisien.
Ada pepatah yang mengatakan
“Jika kita ada kemauan (niat), pasti disitu akan ada jalan”. Maka,
masalah-masalah yang sudah berkembang membuat kita peka dan berpikir kritis
dalam menyikapi. Setiap solusi yang telah diupayakan akan mengharuskan kita
untuk introspeksi diri. Sedini mungkin harus kita hindari keangkuhan egoisme
diri sendiri. Meski polemik telah terjadi, tapi dalam disiplin tidak pernah
ada kata terlambat untuk berbenah diri. Jadi, “hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin dan hari esok akan lebih baik dari hari ini.”. Kata-kata tersebut
dapat dijadikan motivasi kita untuk menatap hari esok Indonesia yang lebih
cerah tanpa budaya korupsi.
Jadilah seorang yang memiliki satu titik kemampuan dengan sejuta fungsi
daripada harus menjadi seorang yang memiliki jutaan titik yang tak memberikan
manfaat bagi lingkungan. Jalanilah hidup ini dengan ribuan makna di setiap
kumpulan detik, maknai, dan maknailah!
Kearifan akan bertumpu pada kejelian membaca
masalah. Cermat dalam bersikap, tak mudah terbawa opini. Cerdas dalam beropini,
tak mudah terprovokasi. Sensasi emosi mungkin tak bisa dihindari, tetapi akal
sehat dan nurani harus ditanam sejak dini, menjadi pangkal sebuah sikap
generasi intelektual anti korupsi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar