Ibarat makan
sayur kurang garam, bulan Ramadan terasa tidak afdal jika tidak menyaksikan
tayangan Para Pencari Tuhan (PPT) yang sudah menjalani masa produksi mencapai 1
dekade. Rumah produksi PT. Demi Gisela Citra Sinema memang cerdas membubui tayangan
ini menjadi lebih eksklusif karena hadir saat bulan Ramadan saja. Dari jilid 1
sampai jilid 9, pemirsa selalu penasaran dengan cerita apa yang akan diracik
setiap episodenya. Hal ini dikarenakan masing-masing jilid telah menyuguhkan
pencerahan kepada penonton melalui pesan religi yang tersembunyi dalam tiap
adegan yang tersaji.
Tulis yang kamu cari
Halaman
Analytics
Adv
Tunjukkan Kepada Dunia bahwa Kita Bisa Tinju Tinja
Tambahkan teks |
Lebih dari 51 juta penduduk Indonesia masih melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS) - nomor 2 terbanyak di dunia menurut Laporan Gabungan WHO dan UNICEF di tahun 2015 sehingga berdampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan, terutama pada anak-anak. Setiap jam, ada 15 sampai 22 anak di Indonesia yang meninggal akibat diare dan pneumonia yang bisa dihindari dengan kebersihan dan sanitasi yang baik (Levels & Trends in Child Mortality – Laporan 2014.
Berawal dari Pengangguran, Menuju pada Wirausahawan
Negara Republik Indonesia
telah memperoleh kemerdekaan melalui perjuangan gigih yang dilakukan oleh para
pahlawan. Kita sebagai warga negara Indonesia harus mengisi kemerdekaan
ini dengan melaksanakan pembangunan disegala aspek kehidupan. Gerakan roda pembangunan yang dilakukan
membutuhkan tenaga kerja sebagai modal utama. Jumlah dan komposisi tenaga kerja
tersebut akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsung proses
demografi (kependudukan).
Fenomena Simlacrum
'Simulation is characterized by a precession of the model, of all models around the merest fact the model come first. Facts no longer have any trajectory of their own, they arise at the intersection of the models; a single fact may even be engendered by all the models at once. Simulation is no longer that of a territory, a referential being or a substance. It is the generation by models of a real without origin or reality; a hyperreal. The territory no longer precedes the map, nor survives it. Henceforth, it is the map that precedes the territory precession of simulacra it is the map that engenders the territory and if we were to revive the fable today, it would be the territory whose shreds are slowly rotting across the map. It is the real, and not the map, whose vestiges subsist here and there, in the deserts which are no longer those of the Empire, but our own. The desert of the real itself' (Baudrillard, 1983:32)
Jean Baudrillard dalam buku Simulations (1983) yang diterbitkan
dalam edisi bahasa Inggris mengintrodusir sebuah karakter khas kebudayaan
masyarakat barat dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan barat dewasa ini adalah
sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari
hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang
jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real
(fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang
tercipta melalui proses reproduksi.
Dalam
kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan terjalin untuk membentuk
satu kesatuan. Tidak lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang
palsu atau yang semu. Semua menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi
masyarakat barat dewasa ini. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia yang terbangun dari serangkaian nilai,
fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri. Jadi, simulacra adalah ruang dimana mekanisme
simulasi berlangsung.
Simulacra
tidak memiliki acuan karena merupakan bagian duplikasi dari duplikasi, sehingga
perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Dalam ruang ini tidak
dapat lagi dikenali, mana hasil produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek
dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.
Menurut
Baudrillard[1],
terdapat tiga tingkatan simulacra.
Pertama, simulacra yang berlangsung
semenjak era Renaisans hingga
permulaan Revolusi Industri. Simulacra
pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur
kehidupan. Dalam tingkatan ini, realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip
hukum alam, dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta
bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama sekaligus determinan
kebudayaan. Tanda-tanda yang diproduksi dalam orde ini adalah tanda-tanda yang
mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan seimbang. Hal
ini berkaitan erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk mempertahankan
struktur dunia yang alamiah. Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri
simulacra tingkat pertama adalah
prinsip representasi.
Kedua,
simulacra yang berlangsung seiring
dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi
pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Objek
kini bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama
persis seperti yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi mekanik, prinsip
komoditi dan produksi massa menjadi ciri dominan era simulacra tingkat kedua.
Ketiga,
simulacra yang lahir sebagai
konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud tanda, citra dan kode
budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme
simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggap nyata, padahal
sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dengan contoh yang gampang Baudrillard
menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang
nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme
simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah.
Realitas
sosial, budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah
dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin
kenyataan, melainkan model-model[2].
Boneka Barbie, tokoh Rambo, selebritis syahrini, film india, telenovela, iklan
televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna
sosial budaya masyarakat dewasa ini. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai
era simulasi.
Sebagai contoh, wacana simulasi yang menjadi ruang pengetahuan telah dikonstruksikan oleh iklan televisi, di mana manusia mendiami suatu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang palsu, menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam dunia maya dan khayal. Media lebih nyata dari pengetahuan sejarah dan etika, namun sama-sama membentuk sikap manusia.
Dalam
era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur
menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi
kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan
realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Semua
yang terlihat hanyalah campur aduk diantara semuanya.
Dalam realitas simulasi seperti ini,
manusia tak lebih sebagai sekumpulan massa mayoritas yang diam, yang menerima
segala apa yang diberikan padanya. Dalam bukunya In The Shadow of the Silent Majorities (1982), Baudrillard
menganalogikan kumpulan massa yang diam ini sebagai lubang hitam, black hole, dimana berbagai hal
informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral, nilai agama terserap ke dalamnya
tanpa meninggalkan bekas apapun juga.
Kenyataannya, sifat simulasi dalam
media televisi telah mampu menyuntikkan makna yang seolah-olah ada pada
kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi atau realisme semu.
Film, berita, telenovela, video clip,
iklan, tayangan olahraga, talk show
ataupun tayangan kesenian tradisional ditonton sebagai tontonan yang semata
untuk dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir kritis.
Dalam ruang semu
televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek otonom yang dapat memilih
atau menyeleksi suguhan apa yang akan ditontonnya. Mereka dapat memindahkan dan
menciptakan realitas dari tayangan yang satu ke tayangan lain tanpa adanya
referensi tunggal yang saling berkaitan. Dari berita politik tentang kenaikan
BBM, ke sinetron-sinetron bernuansa Bollywood,
lalu berpindah lagi ke film drama Inggris yang bersetting abad ke-18 M,
kemudian menonton kembali tayangan video
clip Katy Perry, lalu kembali menyaksikan berita gempa bumi di Nepal dan
seterusnya. Ruang dan waktu seolah terlipat dalam sebuah kotak kaca yang
bernama televisi. Sifat fragmentasi dalam dunia semu televisi inilah dunia yang
terpotong-potong, durasi pendek atau panjang, berubah dan berpindah yang
menjadikan para penontonnya terbuai oleh mitos tentang subjek yang otonom.
Padahal, menurut Baudrillard, semua ini hanyalah mistifikasi yang dijejalkan
ideologi kapitalisme demi produksi dan konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya,
bahwa pilihan dan otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan
semu. Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada[3].
Penonton, dalam wacana televisi, tak lebih dari objek mengalirnya berbagai
fakta, citra, impian dan fantasi, tanpa memiliki jati diri yang hakiki, sebuah
terminal dari berbagai jaringan tanda-tanda.
Dalam wacana televisi, penonton
dengan demikian tak lebih dari sekumpulan mayoritas yang diam[4].
Itulah mengapa tayangan siaran langsung sepakbola tetap ditunggu dan ditonton
meskipun harus menunggu hingga tengah malam. Menurut Baudrillard, hal ini
karena televisi sama sekali tidak berpretensi menawarkan makna luhur atau
transenden, kecuali ecstasy dan
kedangkalan ritual.
Kebudayaan
industri di atas menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi
dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat
tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra). Hal ini membuat kita kerap kali berani dan ingin
mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi (membeli, memilih,
bekerja dan sebagainya). Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna”
digunakan oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada
semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”. Jean Baudrillard membantah bahwa
kebudayaan postmodern kita adalah dunia tanda-tanda yang membuat hal yang
fundamental – mengacu pada kenyataan – menjadi kabur atau tidak jelas.
Dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1976) Baudrillard menyatakan bahwa
sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi, telah terjadi pergeseran
nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini yakni dari nilai guna dan
nilai tukar ke nilai tanda dan nilai simbol. Ia menyatakan bahwa dalam
masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai guna dan nilai tukar, seperti
disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini.
Kini, menurut Baudrillard, adalah
era kejayaan nilai tanda dan nilai simbol yang ditopang oleh meledaknya citra
dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Jika dikaitkan dengan
pernyataan Marx, terdapat dua nilai tanda dalam sejarah kebudayaan manusia
yakni, nilai guna (use value) dan
nilai tukar (exchange value). Nilai
guna merupakan nilai asli yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek.
Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang memiliki guna bagi kepentingan
manusia. Inilah nilai yang mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal.
Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai
tukar. Nilai tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena
dari sanalah lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai
berdasarkan nilai tukarnya.
Dalam wacana simulasi, manusia
mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang
asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio,
China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills,
yang menjadi model realitas semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk
menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi, film dan iklan, dunia simulasi
tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori
nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau
reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam keterkaitan tanda[5].
Simulasi akan menciptakan suatu
kode, yaitu cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk
memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain[6].
Dalam dunia simulasi, identitas seseorang tidak lagi ditentukan oleh dan dari
dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda,
citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri
mereka dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas
ekonomi, politik, sosial dan budaya diatur oleh logika simulasi ini, dimana
kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak dan
memahami lingkungannya.
Saat ini, hampir seluruh dimensi
kehidupan masyarakat timur telah dipengaruhi oleh masyarakat barat yang dituntun oleh logika ekonomi kapitalis yang
menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan konstan. Dalam
keadaan demikian, persoalan gaya hidup, mode dan penampilan menjadi nilai baru
yang menggantikan nilai kebijaksanaan, kearifan dan kesederhanaan. Konsep
Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model
konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat
dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu
pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia
seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya ditayangkan melalui
berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi
dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyper reality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak
jelas.
Ada Apa Dengan Cinta 2 ; Terjebak Nostalgia dalam Kisah Cinta yang Seperti Itu Saja
Kejutan besar dari
dunia perfilman Indonesia saat ini datang dari sebuah film berjudul Ada ApaDengan Cinta 2. Jarak ratusan purnama yang dinanti oleh jutaan mata tentang
kisah Cinta dan Rangga yang pernah menghias layar lebar hingga layar kaca kembali menggema.
Dulu, saat menonton film ini, Blogger Eksis masih berseragam putih biru dengan wajah nan lugu. Sekarang, saat menonton, saya juga berseragam kantor putih biru namun sudah mampu menyimak adegan demi adegan yang penuh haru dengan nuansa rindu.
Dulu, saat menonton film ini, Blogger Eksis masih berseragam putih biru dengan wajah nan lugu. Sekarang, saat menonton, saya juga berseragam kantor putih biru namun sudah mampu menyimak adegan demi adegan yang penuh haru dengan nuansa rindu.
Ketika Teknologi Tersinkronisasi di Kota Cirebon yang Memikat Hati
Di wilayah Jawa, khususnya provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan pengguna mobile data tertinggi di Indonesia. Selain Bandung, kota Cirebon mulai dikenal sebagai kota yang memiliki pertumbuhan industri kreatif yang maju secara signifikan sehingga membutuhkan koneksi internet cepat dan stabil untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
Tepat, pada bulan Agustus lalu, Smartfren secara resmi meluncurkan layanan 4G LTE. Smartfren telah melakukan test-drive di beberapa wilayah yang sudah dijangkau jaringan 4G LTE sekitar daerah Cirebon. Pihak Smartfren melakukan edukasi terhadap penduduk kota Cirebon agar Cirebon mampu membuktikan diri menjadi Smart City.
Nikmati Sensasi Belanja Online di Elevenia*
Hey,
bloggers…
Akhir-akhir ini, Blogger Eksis kena virus online shopping syndrome. Yah, karena kemudahan mengaksesnya, jadi tinggal browsing, klik sana sini sambil cari yang pas dihati, bayar dengan cara yang beragam dan langsung dateng deh ordernya seketika. Semua itu tanpa perlu mengeluarkan tenaga dan waktu yang sia-sia. Apalagi hidup di kota megapolitan kaya Jakarta, kadang kalo harus ke mall untuk shopping, kelamaan diperjalanan dibanding belanjanya. Iya kan?... Seharusnya Jakarta itu bukan kota megapolitan, tapi kota kemacetan.
Akhir-akhir ini, Blogger Eksis kena virus online shopping syndrome. Yah, karena kemudahan mengaksesnya, jadi tinggal browsing, klik sana sini sambil cari yang pas dihati, bayar dengan cara yang beragam dan langsung dateng deh ordernya seketika. Semua itu tanpa perlu mengeluarkan tenaga dan waktu yang sia-sia. Apalagi hidup di kota megapolitan kaya Jakarta, kadang kalo harus ke mall untuk shopping, kelamaan diperjalanan dibanding belanjanya. Iya kan?... Seharusnya Jakarta itu bukan kota megapolitan, tapi kota kemacetan.
Efektivitas Komunikasi
Tips cerdas berkomunikasi |
Langganan:
Postingan (Atom)