Tema dalam sebuah film merupakan gagasan utama yang
direpresentasikan ke dalam sebuah cerita mengenai makna hidup atau kondisi
manusia. Gagasan tersebut dibangun seiring dengan perkembangan kejiwaan si
tokoh yang nilai kehidupannya menjadi harus diuji dan dipertahankan. Penentuan
tema dapat dianggap sebagai permulaan sekaligus akhir dari sebuah pendekatan
apresiasi dalam menonton film. Setelah menonton film tersebut kita harus coba
membuat sebuah identifikasi sementara dari tema film itu. Dengan demikian kita
melengkapi diri kita dengan suatu rasa yang jelas dari arah yang akan ditempuh
oleh analisa kita selanjutnya tentang sebuah tema. Maka, tema akan dianggap
sebagai jumlah menyeluruh dari semua unsur yang berfungsi sebagai faktor dasar
pemersatu dalam sebuah film.
Tulis yang kamu cari
Halaman
Analytics
Adv
The Doll Coba Beradaptasi dengan Film Horor Sekelas The Conjuring
Aku termasuk salah satu blogger yang menjadi Indonesia movie freak. Segala jenis film
Indonesia aku coba kulik untuk dikritik demi membangkitkan semangat para sineas
lokal menuju kancah persaingan industri perfilman Hollywood.
Para penggemar film asing, pasti tak
asing dengan ikon film bergenre horor, seperti boneka Annabelle yang beberapa tahun terakhir menghantui
beberapa dunia menjadi box office di
bioskop negara masing-masing. Selain itu, muncul sosok Valak dalam film
The Conjuring 1 dan 2. Akhirnya, genre mistis mulai mencuri perhatian sineas negara-negara
berkembang seperti Film Munafik yang dirilis Malaysia dan terakhir Film The
Doll yang dirilis oleh para sineas Indonesia yang tergabung dalam rumah
produksi HitMaker Studios.
I Love You (ILY) from 38.000 Feet; Film Layar Lebar Nuansa Film Televisi
Kesuksesan film drama roman Magic Hour (2015)
dan London Love Story (2016) yang selalu berada dalam posisi
jajaran film Indonesia terlaris tampaknya mendorong Screenplay Films untuk
meningkatkan production value di film selanjutnya, ILY from 38.000
ft (I Love You from 38.000 Feet). Meski masih mengusung cerita cinta
dengan target penonton remaja, film yang dibintangi pemeran utama yang masih
sama dengan dua film sebelumnya ini menawarkan beberapa konflik dewasa ala
Screenplay yang selalu ditayangkan versi film televisinya (FTV).
Singkat cerita, ILY from 38.000 ft mengisahkan pertemuan
Aletta (Michelle Ziudith) dan Arga (Rizky Nazar) di atas pesawat dari Jakarta
menuju Bali yang berujung pada perkenalan unik karena ada sosok remaja alay
(Lionil Hendrik) yang mengganggu Aletta sebelum lepas landas pesawat. Sampai di
Bali, Aletta yang sedang menunggu taksi secara kebetulan bertemu dengan
Arga yang menawarkan untuk naik mobil menuju tujuannya secara bersamaan. Hingga
akhirnya, belum sempat mengucapkan kata ‘terima kasih', Aletta menemui Arga
di kantornya dan menawarkan diri untuk menjadi host program jelajah alam yang sedang diproduksi Arga.
Kisah asmara dimulai saat mereka menjalani
syuting di tempat-tempat eksotis di Indonesia. Ini yang membuat Blogger Eksis takjub dan langsung membuat starting
expectation bahwa film akan menampilkan begitu banyak adegan travelling penuh romansa. Aku pun
langsung tertarik untuk mengikuti adegan demi adegan selanjutnya.
Jajaran pemain yang
mengisi film ini memang sudah pas. Popularitas pemeran utama yang sudah ternama
sebagai pasangan kekasih dalam dunia nyata mampu menarik perhatian jutaan mata
penonton Indonesia. Menurut aku, Michelle Ziudith dan Rizky Nazar tidak akan
pernah terlihat perkembangan aktingnya, jika mereka hanya bisa berdialog tanpa
berakting karakter. Karier mereka sebagai selebritis akan terlihat flat seperti
itu saja.
Penghayatan karakter yang diperankan setiap tokoh
justru coba didalami oleh Tanta Ginting (sebagai Jonah) yang antagonis. Ada
Derby Romeo (sebagai Rimba) yang juga berusaha mencari perhatian Aletta, dan
Ricky Cuaca (sebagai Bugi) yang selalu menghadirkan tawa dan mencairkan suasana bioskop
dengan hal tak terduga. Walau mereka hanya terlihat pembentukan karakter yang sedikit
saja tidak terlalu kuat untuk konteks sebuah penokohan film layar lebar. Selain
itu, tersisa beberapa figuran crew
yang seharusnya terlibat saat adegan syuting di hutan hanya terlihat
berkeliaran di tenda bukan saat pengambilan gambar.
Untuk masuk ke ranah layar lebar, film ini coba
berusaha tampil beda dengan syuting di lokasi alam terbuka hingga penggunaan special
effects demi
menguatkan cerita. Produksi film arahan Asep Kusdinar ini memilih Taman Nasional Baluran, di Bali dan hutan di Lumajang, Jawa Timur. Namun,
visualisasi eksotisme alam dan pemandangan cantik yang ditawarkan gagal
dieksekusi karena kualitas gambar hanya menjadi bagian dari transisi. Padahal tata kamera sudah mencoba mengambil dengan angle
yang berbeda.
Special effects juga coba diset
oleh tim produksi saat adegan kecelakaan pesawat terbang yang mengalami
gangguan karena cuaca buruk. Tapi, tak didukung dengan pencahayaan
yang kurang sinematis dan make up effect saat kecelakaan (bekas luka) masih standar layaknya sinetron di Indosiar. Semua unsur artistik pun hanya tampak unggul di awal
melalui point of view yang menjadi point of interest. Tak mampu dipertahankan sampai akhir film.
Selebihnya, aku hanya bisa mengikuti quote-quote BaPer yang tercipta pada
dialog, meski semua terkesan FTV bangeettt!.
Tata kamera juga coba menampilkan change focus camera technique di awal
cerita. Beberapa diantaranya justru hadir merusak visual karena seharusnya
penggunaan tehnik kamera itu memiliki motivasi gambar atau alasan yang kuat
untuk ditampilkan bukan untuk ditonjolkan. Efeknya, visual pun tak sejernih
atau sebagus film-film Screenplay sebelumnya. Mungkin saja penggunaan kamera
drone dengan kualitas berbeda juga mengganggu keindahan gambar yang ditangkap
lensa. Kamera gagal!
Kabar yang didapat penulis dari berbagai netizen,
film ini memang terinspirasi dari sebuah pesan bertuliskan 'I love you from
38.000 ft' yang diunggah ke media sosial oleh Khairunnisa, pramugari yang menjadi
salah satu korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 di tahun 2014 silam.
Namun, tim Screenplay menyatakan bahwa cerita film ini seutuhnya baru dan tidak
berkaitan dengan kejadian nyata tersebut. Ini yang membuat aku sebagai penyuka
film Indonesia based on true story
kehilangan selera.
Apalagi unsur penceritaan ILY from 38.000 Ft
tidak memperhatikan logika cerita. Banyak adegan yang terkesan kebetulan,
muncul tiba-tiba. Plotnya pun menjadi biasa dan dialog terlontar basi
untuk didengarkan. Penonton dibawa pada suatu titik perpisahan pasangan yang
seharusnya sementara menjadi berkepanjangan tanpa kejelasan. Dilengkapi efek time lapse yang menyiksa aku sebagai
penonton pada akhirnya.
ILY from 38.000 ft memang tayang di bioskop saat moment yang tepat pada libur lebaran dan berhasil tembus jutaan pasang mata yang always booking full seat in the theater. Dan akhirnya, aku memang gak suka sama endingnya. Kenapa mereka harus hidup bahagia dan semua kisah cinta terlihat kebetulan semata?!?.
Overall, ekspetasi
tertinggi Blogger Eksis terhadap film itu adalah sebuah cerita. Jika cerita kuat, film
akan bagus. Begitu juga sebaliknya. Teknis juga penting, tapi bukan segalanya.
I Love You from 38.000 Ft sudah memiliki modal untuk bercerita hanya saja
terpaku pada segmentasi yang ada. Film ini juga sudah berusaha memperkuat
teknis sinematografi yang berbeda, namun gagal pada eksekusi unsur kreatif yang
seharusnya bisa banyak tercipta. Setidaknya ILY from 38.000 Ft telah menjadi
film hiburan pada momen lebaran di Indonesia.
Film Sabtu Bersama Bapak ; Menjalin Hubungan Tak Bermakna Tanpa Sekuat Novelnya
Lebaran tahun ini, penikmat film
lokal digempur oleh lima film sekaligus. Empat di antaranya bahkan rilis
ditanggal yang sama. Dari banyak opsi tersebut, saya pun
memiliki misi untuk menikmati semuanya.
Apakah kesuksesan sebuah novel best seller mampu diikuti keberhasilan filmnya?
Berikut ini kritik saya terhadap film Sabtu Bersama Bapak
(Produksi Max Pictures, 2016)
Premis yang
dibawakan memang minor, calon penonton sudah pasti tau kalau film yang akan
mereka tonton adalah film yang akan sedih mengharu-biru. Tapi ternyata tidak.
Sabtu Bersama Bapak punya jalinan cerita yang tak sekedar mengurai air mata
penonton karena kesedihan yang ditimbulkan, namun juga air mata karena tertawa
tak tertahankan (in a good way).
Monty Tiwa, sang sutradara memang sudah berkali-kali mencatatkan karya filmnya
dengan balutan komedi yang asyik. Begitupun juga ditampilkan di film ini.
Sabtu Bersama Bapak merupakan
film yang dirilis dari adaptasi novel super laris karangan Adhitya Mulya
yang berjudul sama. Ini bukan kisah keseharian seorang Bapak setiap hari sabtu,
tapi lebih dari itu karena Bapak Gunawan Garnida (yang diperankan Abimana
Aryasatya) telah divonis hanya akan hidup satu tahun lagi akibat penyakit
kanker yang dideritanya.
Untuk mengisi kekosongan sosok
ayah setelah nanti beliau tiada, sang Bapak meninggalkan pesan dalam bentuk
ratusan kaset video berisi nasehat kepada istri (yang diperankan Ira Wibowo)
dan kedua anaknya, Satya (yang diperankan Arifin Putra) dan Cakra (yang
diperankan Deva Mahenra). Satu kasetnya hanya boleh disaksikan bersama seminggu
sekali, setiap hari Sabtu setelah kedua anaknya pulang dari sekolah. Itulah makna kiasan ‘Sabtu
bersama Bapak’ yang diambil sebagai judul film ini. Tapi, sayangnya judul
tersebut tidak mampu direpresentasikan dengan baik pada adegan-adegan dalam
film tersebut. Penonton pun pasti bisa menghitung berapa kali video yang diwariskan
oleh bapaknya tersebut diputar saat hari sabtu itu tiba.
Kemunculan Bapak
lewat kaset video memang terhitung sedikit, jika dibandingkan dengan
novelnya. Peran video Bapak lebih berat ke cerita Satya dibandingkan Cakra, yang
lebih banyak mengingat atau bergumam sendiri. Petuah Bapak, baik itu lewat
video atau flashback kenangan, nyaris tidak ada dicerita Cakra. Perjuangan
seorang suami sekaligus bapak untuk meninggalkan pesan dan kesan bagi kedua
anak dan istrinya pun nyaris tak terungkap mapan. Sebuah hal yang disayangkan
karena Abimana sendiri memerankan karakter tersebut dengan sangat baik.
Adegan tangis dan sedih menjadi pembuka di film ini. Opening scene tampak Pak Gunawan dan Bu
Itje sedang bersedih didalam kamar. Pak Gunawan memegang surat dari rumah sakit
tentang penyakit yang dideritanya sehingga membuat hidupnya di dunia sudah
tidak akan lama lagi.
Cerita bergulir saat Satya dan
Cakra tumbuh dewasa dan menjadi sosok pria sukses dengan karier
masing-masing. Mereka menjadi
pribadi yang bertolak belakang namun keduanya bisa menjadi saudara kandung yang
menjaga satu sama lain dan tak lupa menjaga Ibu mereka agar tetap tersenyum. Satya
pun telah menikah dengan Risa (yang diperankan Acha Septriasa), punya dua orang
anak, dan tinggal di Paris. Ia memiliki masalah dalam membina keluarga karena
istrinya, Risa merasakan bahwa diri Satya terlalu kaku dalam mengikuti
pesan-pesan Bapaknya. Sementara Cakra memiliki karier gemilang sebagai banker di Jakarta yang setiap weekend
pulang ke Bandung demi menemani ibunya. Kesuksesan Cakra justru membuat Ia
selalu kikuk saat berhadapan dengan wanita yang disukainya. Itulah kisah keduanya
yang hidup terpisah dengan konfliknya masing-masing. Satya dan Risa yang
membangun rumah tangga, sedangkan Cakra yang sibuk mencari pasangan hidup.
Ketika membaca novelnya, lakon
Cakra mencari cinta mudah dibayangkan format filmnya. Namun sulit
membayangkan kisah rumah tangga Satya dan Risa yang pelan dan terkesan tanpa
ujung menjadi sebuah film. Belum lagi, penceritaan dua tokoh dalam satu
buku terlihat lebih mudah ketimbang dalam satu film yang punya durasi terbatas.
Apakah akan ada satu cerita yang dikalahkan difilmnya atau bagaimana
kelanjutannya?
Tidak adil rasanya jika harus membandingkan
film dengan novel secara eksplisit, namun dua hal itu harus aku lakukan apalagi
saat duduk manis bersama seorang kakak angkat bernama Sugiharti didalam ruang
bioskop CGV Blitx, Central Park, hari Minggu tanggal 16 Juli 2016 lalu. Hingga
film selesai, aku pun masih merasakan film yang begitu banyak ambigu dan
menjadi tidak seru. Penonton memang diajak mengikuti alur emosi yang naik turun
dalam setiap ceritanya. Tetapi, film ini belum menempelkan rasa yang membekas
bagi siapa saja yang melihatnya.
Dalam film ini, penonton tak dibuat begitu penasaran kenapa bisa begini dan
begitu. Hanya sedikit adegan yang juga tersisa saat apa yang dialami oleh Bapak
ketika merekam videonya. Padahal, plot seperti ini yang ditunggu karena
membayangkannya saja seru dan menyenangkan apabila Bapak merekam video-videonya
lalu diputar ulang dengan suasana penuh kenangan.
Dalam filmnya, ada beberapa adegan
plus yang sengaja ditambahkan agar cerita Satya di novel semakin menarik.
Terlihat upaya tim produksi membuat pengembangan konflik tanpa menghilangkan
esensi kisah Satya. Pemicu konflik dalam film masih terbilang logis dan
penonton bisa langsung ngegas menyimak cerita menuju babak demi babak
berikutnya sehingga bobot cerita tidak berkurang.
Plot dalam film ini memang beragam, menarik, dan dieksekusi dengan baik.
Tentu semua ditunjang oleh seluruh elemen, baik teknis, naskah, hingga performa akting para pemain. Selain itu, unsur drama keluarga,
romansa dan komedi juga menjadi serbuk bumbu untuk menikmati film
ini. Alhasil film ini cocok ditonton remaja atau dewasa.
Musik
ilustrasi juga memiliki peran tersendiri dalam film yang membuat film menjadi
lebih hidup. Artinya, irama yang 'senada' dengan visual dalam film Sabtu
Bersama Bapak terdengar nyaman dan ditempatkan disaat-saat yang tepat. Baik
saat adegan emosional, menyentuh, hingga saat adegan konyol, semuanya bagus.
Soundtrack
dari jebolan Mamamia tahun 2008, Wizzy Williana yang berjudul I'm Sorry terbilang kece. Keindahan lagu sangat berkontribusi mendukung
emosi dan cerita dalam film ini. Selain itu, lagu yang dinyanyikan oleh
penyanyi legendaris, Iwan Fals yang berjudul Cinta juga meninggalkan kesan
mendalam ketika usai menonton film ini.
Lagu
I’m Sorry merupakan karya dari Amir
Gita Pradana yang memiliki komposisi musik sederhana dengan dominan ketukan
piano, sehingga vokal Wizzy yang jernih bisa terdengar jelas. Lagu ini hadir
saat adegan Cakra merasa dirinya tidak pandai memikat hati perempuan yang
disukainya meskipun anak buahnya terus mendukungnya. Liriknya sebenarnya
sederhana, tapi penempatan lagu ini dalam sebuah adegan di film menurut aku pas
sehingga membuat penonton ikut merasa sentimentil. Sedangkan lagu Cinta
memiliki lirik yang lugas namun maknanya cukup dalam. Lagu Cinta ini seolah
menggambarkan emosi yang berkecamuk dalam hati Gunawan Garnida sebelum ia rela
dan pasrah usianya di bumi yang tak lama lagi. Sambil mendengar kedua lagu tersebut, aku bisa membayangkan adegan dan alur
kisah dalam film Sabtu Bersama Bapak. Alhasil, soundtrack bisa menjadi media promosi dan pengingat kesan penonton
terhadap sebuah film.
Walaupun ada
beberapa dialog yang dubbing, sehingga
audio terkadang dibeberapa adegan ada yang kurang konsisten didengar, ada yang
berubah suaranya, padahal masih di gambar, situasi yang sama, dan belum
berpindah posisi. Mungkin saja, penata audio mengalami kegagalan saat proses mixing. Semua unsur tata suara tertutup
oleh pemilihan lagu yang berkesan.
Kedua komponen lagu dan cerita telah dicoba eksekusi
sama baiknya oleh sang sutradara, tidak timpang sebelah istilahnya. Kisah
kakak adik ini diberi porsi serupa dan mencuri perhatian sama beratnya. Transisi atau cut
to cut antar cerita juga mulus, tidak membuat penonton bingung, ini cerita
mana atau punya siapa. Karakter kuat serta latar yang jauh beda memegang
peranan penting dalam halusnya transisi ini.
Bicara soal karakter, aku puas
dengan beberapa pemeran di film ini yang diisi jajaran aktor dan aktris kelas
atas yang memang sudah memiliki jam terbang di layar lebar berkualitas. Mereka
mampu menunjukkan performa aktingnya dengan memainkan roda cerita secara pas. Cocok dengan
bayangan aku saat membaca novelnya dulu. Bapak yang bijak, Satya yang keras,
Risa yang anggun, Cakra yang canggung, serta Ayu yang kalem. Semuanya pas diperankan
oleh pemainnya masing-masing.
Abimana jadi aktor favorit aku
di film ini. Aura kebapakannya terasa banget lewat getar suara
serta tatapan mata yang keras namun menenangkan. Seolah Ia berperan
sebagai bapak yang bijak dengan gaya bicara yang penuh karisma. Ia berhasil
menunjukkan wibawa dan menyampaikan kepada penonton bahwa Ia sosok bapak yang
dibanggakan keluarga.
Hanya saja,
seorang Ira Wibowo masih tidak sanggup membuat aku sebagai penonton berempati
kepadanya sebagai seorang ibu. Kisah ibu Itje yang single parent setelah kepergian suaminya dan tidak pernah menikah
lagi, membesarkan dua anak lelaki tentulah bukan hal yang mudah. Tak ada beban
diraut wajah seorang Ira Wibowo yang membuat suasana semakin terenyuh. Ia masih
belum mampu mengimbangi akting Abimana sebagai seorang bapak. Ia hanya tampil
sebagai sosok Ibu yang menyayangi anak-anaknya.
Akting Arifin dan Acha juga jagoan
aku, apalagi ketika adegan berantem. Pemilihan kata-kata yang natural dalam
dialog membuat adegan fighting dalam
rumah tangga mereka itu believeable. Adegan dibuat pas secara alami
dan seolah terasa dalam kehidupan sehari-hari. Ini menjadi sebuah scene dramatis yang ‘dalam’ dan penuh
emosional. Sebuah pujian yang layak disematkan kepada sutradara yang telah
mengarahkan mereka dalam film ini, Monty Tiwa.
Meskipun dibeberapa part, Arifin Putra tampak berlebihan.
Ada satu adegan yang paling saya suka
dan menyentuh hati yaitu ketika Satya dimarahi oleh Bapaknya dalam mimpi. Waktu
itu hubungan Satya dengan istrinya sedang ada masalah besar, lalu tiba-tiba
Satya bertemu bapaknya dimimpi. Satya dimarahi oleh bapaknya karena cara dia
salah ketika memperlakukan keluarganya. Setelah pasangan suami istri berseteru
lantas Satya seolah mendapatkan nasehat yang luar biasa dari Bapaknya. Nasehat
yang sangat penting sekali menurut aku sebagai anak laki-laki yang akan menjadi
suami kelak.
Yang membuat dahi sedikit
berkerut dari cerita Satya adalah pemeran Rian dan Miku, anak dari Satya
dan Risa. Selain aktingnya kaku dan datar, rasanya dengan gen secakep itu, anak
mereka harusnya tidak seperti itu fisiknya. Bisa jadi Risa bandel dan
sering keluyuran malam-malam saat Satya dinas keluar kota. #LOL
Beberapa pemeran pembantu lain, termasuk yang di luar negeri, juga tak
menunjukkan akting yang maksimal. Mereka tidak mampu mengimbangi akting
karakter yang dilakukan para pemeran yang sudah memiliki cukup nama di
perfilman Indonesia.
Well,
anyway, cukup tentang karakternya. Mari kita beralih
ke cerita Cakra. Deva Mahenra,
terhitung pemain baru di layar lebar, namun performanya pada film Sabtu Bersama
Bapak begitu memukau.
Seperti yang aku tulis di atas,
cerita Cakra worry me less. Adegan demi adegan Cakra mencari
cinta berputar disekitar kehidupan kantornya. And believe
me, every single scene in the office is hillarious. Chemistry
antara Cakra dengan dua anak buahnya, Firman (yang diperankan Ernest Prakasa)
dan Wati (yang diperankan Jennifer Arnelita), membuat cerita Cakra selalu aku
tunggu kemunculannya. Office jokes mereka jadi bumbu
sampingan yang seperti menu utama buat aku.
Adegan paling kocak itu saat
Cakra coba mengajak Ayu makan siang berdua untuk pertama kalinnya. Kikuknya
Cakra dan pemilihan kata yang salah membuat adegan itu chaotic
bingit. Sebuah kebodohan yang ditimpa kebodohan lainnya. Seperti
rentetan kembang api di tengah desa yang sunyi. Menggelegar dan
menyegarkan.
Meski begitu, aku mencatat ada
beberapa kekurangan yang agak mengganggu. Karena ada dua cerita yang berjalan
bersamaan (tiga, jika cerita sang ibu juga dihitung), konflik yang ada
terasa tidak memuncak disaat bersamaan. Terkesan datar meski ada
letupan-letupan meledak, namun sayangnya, dimomen berbeda.
Dialog cheesy antara Bapak
dan Ibu juga jadi hal janggal tersendiri. Saat Satya dan Risa bisa beradu argumen
dengan alami, chit chat antara
Bapak dengan Ibu sedikit mengawang. Contohnya, gombalan Bapak saat Ibu
sedang mengiris cabe. Gombalan yang membuat aku ingin membalasnya dengan
kalimat, “Ah, bisa aje lu, Nying!.”
Overall,
tampilan visual film Sabtu Bersama Bapak 'berbeda'. Coloringnya seperti film-film tahun 90an, dengan efek sedikit blur
dan penambahan lens flare dibeberapa scene. Bagi sebagian orang, treatment seperti ini mengganggu.
Padahal ini adalah style dari pembuat
film. Jika penonton bisa membaca itu, style
ini jadi menyenangkan. Film ini berusaha menunjukkan karakter secara look visual, dibandingkan film
kebanyakan yang 'bermain aman' dengan look
natural.
Tapi kalo ditanya apakah film
ini berhasil mencapai tujuannya, maka jawaban aku adalah tidak. Alasannya,
karena film ini telah melumpuhkan ekspetasi penonton yang akan berlarut sedih
melihat kisah drama keluarga. Ada unsur parenting
guide, namun tak begitu banyak menyita perhatian. Nyatanya, sulit sama
sekali untuk sedih saat menonton film ini.
Film
ini memang berhasil mengaduk emosi penonton sedemikian rupa namun untuk memaksa
buliran air mata turun pasti masih bisa kita tahan. Hal ini terbukti dari
beberapa teman yang memiliki ekspetasi lebih terhadap film ini. Ekspetasi
mereka berharap bisa mendapatkan sosok kehadiran seorang bapak dan mendapatkan
kembali kenangan demi kenangan nasehat dari seorang bapak karena mereka memang
sudah lama ditinggal oleh bapaknya yang sudah meninggal. Namun, film ini
ternyata tak mampu mengukir kenangan terindah itu karena pesan yang disampaikan
tidak menyentuh ke perasaan mereka saat menonton.
Bagi Blogger Eksis, film bukan sekedar media penyalur. Karakter
yang diperankan harus memberi edukasi kepada penonton. Suatu perbincangan yang
berisi rangkaian dialog dan dibahas dalam tuntutan adegan demi adegan dalam
film harus membekas. Apa yang kita tonton itu mungkin saja dibawa pulang. Aku berharap film Indonesia bisa mengedukasi, paling tidak meninggalkan pesan moral
untuk berbagai generasi karena film adalah karakter bangsa kita. Setidaknya,
film ini cukup menarik, mengharukan, dan menghibur namun tidak bisa menjadi
inspiratif* #ApresiasiFilmIndonesia
Film Koala Kumal ; sebuah komedi patah hati untuk menertawakan kembali hidup Raditya Dika
Setelah sukses
dengan film Single dan Marmut Merah
Jambu, Raditya Dika membuat film Koala Kumal dibawah naungan rumah
produksi Starvision Plus. Seperti biasa, ia bertindak sebagai
penulis skenario, sutradara, hingga aktor sekaligus. Impian gue banget bisa
jadi kaya gitu !.
Di Koala Kumal,
Raditya Dika masih sama mengajak penonton menertawakan kehidupan pribadinya. Racikannya
terhadap genre film komedi selalu memasukkan unsur keluarga dalam filmnya.
Bahkan kali ini, Ia langsung mendirect
keempat adiknya untuk ikut main di film ini. Tapi, yang mana yaa adiknya?!? . .
Jadi siapa sih?! Sampai sekarang aku
masih belum bisa menemukannya. Hahaha . . .
Buat penggemar
bukunya, tentu sudah hafal dengan benang merah disetiap karya Dika. Katanya sih
ini menjadi buku terakhir yang ditulisnya. Walaupun begitu, buku dan film
Raditya Dika selalu tak pernah sama. Ini yang menjadi sesuatu menarik.
Naskah diramu
begitu cerdas. Dialog mengalir pintar. Plot pun tersaji dengan menarik. Setting tampil dengan santai. Semua
menghasilkan cerita anti mainstream.
Bagi aku, film ini terasa ringan, sehingga menikmatinya pun tak pernah
membosankan. Emosi penonton masih berhasil dimainkan, walaupun dibeberapa part sisi dramatisnya kurang punya feel.
Opening scene dideskripsikan dengan
adegan-adegan merekam video dengan nuansa mesra untuk mengungkap makna dari
cinta. Video ini dibuat sebagai konsep undangan dihari bahagianya. Lalu,
penonton mulai menyimak visualisasi kisah patah hati seorang Dika yang
secara tiba-tiba ditinggal sang pacar bernama Andrea (diperankan oleh Acha
Septriasa) hanya karena orang ketiga. Andrea berpaling ke lelaki yang lebih
tampan yaitu James (diperankan oleh Nino Fernandez).
Nah, dari kejadian itu Dika merasakan patah hati terhebat
dalam hidupnya. Dika menjalani hari demi hari tanpa semangat seperti
sebelumnya. Kegundahan hatinya berdampak terhadap deadline tulisan yang menjadi berantakan. Singkat
cerita, si cowok patah hati itu bertemu
dengan perempuan bernama Trisna (diperankan oleh Sheryl Sheinafia). Cewek ini memiliki pengalaman sama dan merasakan patah hati terberat uga dalam
hidupnya. Mereka pun berteman baik untuk saling menyembuhkan luka dihatinya
masing-masing.
Trisna coba
membantu Dika untuk bangkit dari kepahitan batal kawin dengan sederetan adegan
tingkah-tingkah konyol. Mulai dari terlihat kuat dihadapan mantan, mengikuti
biro jodoh, sampai membuat jebakan untuk menjatuhkan pasangan lawan terbilang
nekat dilakukan. Semua terjadi agar mereka bisa move on katanya. Tapi, Andrea pun semakin memanasi keadaan dengan membuat
konsep undangan pernikahan dengan James yang sama untuk resepsi pernikahannya
kala berpacaran dengan Dika.
Putus nyambung
kisah asmara Dika dan Andrea semakin seru. Banyak scene yang tak terduga dimana hal itu terjadi di kehidupan nyata
Raditya Dika. Ia menampilkan bagaimana melihat patah hati dari sudut berbeda.
Tak ada ungkapan galau mele atau tentang rasa sakit yang mendalam alias BaPer.
Penonton akan belajar dan memandang patah hati karena ditinggalkan oleh orang
yang kita sayang itu bukan akhir dari segalanya. Justru ketika kita
ditinggalkan orang yang kita sayang akan membuat kita bisa menjadi pribadi lebih kuat lagi dari sebelumnya.
Secara
keseluruhan, visual mampu mengungkap gambar jernih. Perpaduan angle dan shot type sudah tepat. Punch
line gambar dan visual tersinkronisasi dengan baik. Layak jika film ini
mampu memberi warna tersendiri dari segi sinematografi.
Jika dilihat
dari segi pemeranan, Sheryl Sheinafia berusaha totalitas memerankan karakter
Trisna. Secara tokoh, Sheryl mampu menempatkan diri saat Trisna harus menjadi
orang yang menyebalkan, menggemaskan, atau bahkan rapuh sekalipun. Aktingnya
natural binggo dengan didukung bakat yang proporsional menjadikan Ia pantas
diperhitungkan sebagai aktris multi talenta. Raditya Dika pun sebagai diri
sendiri mampu bermain bagus. Walaupun secara tokoh yang diperankan selalu sama
dari peran-peran sebelumnya. Yang berkesan bingits bagi aku, saat Dika sedang patah
hati dan disuruh Trisna menjadi gembel dihadapan Andrea itu jadi adegan tergokil.
Pemeran
pendukung lain, seperti Acha Septriasa dan Nino Fernandez juga memiliki
akting matang dibanding peran mereka di film lain yang sedang tayang.
Beberapa pemeran lain yang dimainkan oleh aktor dan aktris papan atas
seperti Cut Mini, Dwi Sasono, Ernest Prakasa, Lydia Kandou, Dede Yusuf, dan
Henky Sulaiman pun berhasil menjaga konsistensi flow film agar tetap berjalan seimbang di jalur komedinya.
Lelucon hadir
begitu cepat tanpa basa-basi. Jajaran cameo
yang berasal dari stand up comedy
atau berprofesi sebagai YouTubers juga
mampu mengalirkan suasana. Walaupun ada beberapa part yang bisa saja dihilangkan dan tidak berpengaruh dalam content cerita. Misalnya, saat adegan
James dan Andrea meributkan tentang flashdisk
di sebuah kamar pasien. Memang ini tak begitu logis, tapi ujungnya mampu
membuat penonton tertawa.
By
the way, ilustrasi musik
memang tidak ditonjolkan dalam film ini. Terkadang, jadi tidak mendukung
unsur humor yang kurang greget. Beberapa adegan pun terasa KenTang (dibaca: Kena
Tanggung). Meski demikian, tata audio berhasil tertutupi melalui original soundtrack yang dinyanyikan
oleh Sheryl Sheinafia, dengan judul Kedua Kalinya dan Kutunggu Kau Putus mampu
mengisi serpihan hati penonton yang pasti ejakulasi terhadap film ini.
Puncaknya, satu
adegan pun mampu mencairkan seisi bioskop saat Dika harus akting seperti
terkena stroke ringan setelah minum
obat pelemas otot. Komika yang satu ini memang tahu betul kapan momen tepat
mengocok perut penonton dan ini lucu*.
Sayangnya,
setelah menonton film ini, aku tidak bisa menemukan makna dari judul Koala
Kumal itu sendiri. Memang, ada adegan yang memperlihatkan saat Dika dan Andrea
kembali mengulang masa indahnya berpacaran dengan pergi ke sebuah galeri dan
melihat lukisan Koala Kumal, tapi saat Andrea menjelaskan makna lukisan itu, aku tak bisa menangkapnya dengan jelas. Maklum saja, aku menonton sambil
sibuk update status di Path.. hha
Ok, guys . . .
Yang paling aku suka di film ini itu endingnya
yang gak gampang ditebak dan diluar dugaan. Finally,
tentu akan ada fase dimana kita akan merasakan patah hati, tapi bukan berarti
setelah patah hati kita terlarut dalam kesedihan terus-menerus, karena itu hanya
akan mengganggu aktivitas kita saja. Sebuah pesan pun tersirat di akhir cerita :
"Jodoh itu bukan ditunggu tapi dicari !. Kita boleh patah hati, tapi jangan tutup hati. Semua terjadi pasti ada alasannya dan pintu hati harus berani dibuka kembali”. #ApresiasiFilmIndonesia
Langganan:
Postingan (Atom)