Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Film Dua Hati Biru, Edukasi Rumah Tangga biar Tidak Kaku

 

Film-lebaran
Adam dan Iqi sedang memikirkan bisnis baru (dok. Starvision)


Momen lebaran yang masih diselimuti semangat kekeluargaan, membawa film Dua Hati Biru begitu dekat temui penonton sejak 17 April 2024. Konflik khas keluarga baru yang hangat tentu ditunggu para penggemar film Dua Garis Biru sebelumnya. Emosi yang dimainkan Angga Yunanda dan Aisha Nurra Datau berupaya menjaga anak satu-satunya agar tumbuh menjadi sosok yang sesuai harapan orangtua.

 Kepergian Dara (Aisha Nurra Datau) untuk studi ke Korea Selatan membuat Bima (Angga Yunanda) harus merawat Adam (Farrell Rafisqy) bersama orangtuanya. Adam selalu menanti kepulangan mamanya. Sebagai orangtua muda, mereka harus memberi yang terbaik untuk anaknya.

Kepulangan Dara ke Indonesia setelah 4 tahun berlalu nyatanya tak disambut Adam dengan hangat. Dara berupaya bina hubungan lebih dekat terhadap anaknya yang sudah lama tak bersua. Adam malah sering dimanja oleh ibu nenek Yuni (Cut Mini Theo) yang merawatnya sejak lahir.

Perjuangan Bima dan Dara untuk membesarkan Adam tidaklah mudah. Tuntutan pekerjaan, ikut campur orangtua, proses bertahan pada peran sebagai suami dan istri harus dipertaruhkan. Apakah mereka bisa mempertahankan rumah tangga yang masih seumur jagung atau harus ada yang dikorbankan dari keduanya?!

film-keluarga
Hadiah untuk keluarga Indonesia (dok. Wahana Kreator)

Diantara dua film Indonesia yang bergenre horor, aku lebih rekomendasi nonton film Dua Hati Biru di bioskop. Sinema yang melanjutkan kisah Dua Garis Biru ini begitu mengena dalam kehidupan keluarga yang tak mengenal kata ‘sempurna’. Penonton bisa turut melihat, mendengar, dan merasakan segala hal yang terekam jelas dalam tiap adegan yang diproduksi Kharisma Starvision Plus.

Film memotret fenomena pasutri muda yang bukan kisah cinta dari dalam istana. Pasutri Bima dan Dara harus bertahan hidup dalam garis ekonomi serba prihatin. Apalagi mereka jadi representasi dari pasangan yang mengalami pernikahan dini. Tentu mereka bakal diuji dengan sederet konflik rumah tangga untuk saling memahami.

Kepulangan Dara dari Korea sampai perbedaan pendapat untuk memilih tempat tinggal yang layak kerap mewarnai permasalahan sosial dalam filmnya. Belum lagi latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang dijalani suami istri tersebut terbentur dengan urusan mendidik anak. Ditambah bumbu intervensi dari orangtua atau mertua yang sayang terhadap cucu pertama. Intinya, komunikasi harus dibina!

Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus. Setiap pernikahan pasti ada ujian kehidupan. Mungkin pernyataan tersebut yang ada dalam pola pikir duo sutradara Dua Hati Biru, Gina S. Noer dan Dinna Jasanti. Mereka menempatkan konflik keluarga di Indonesia sebagai refleksi. Ketika istri yang berpendidikan tinggi harus bekerja dan suami mengurus anak serta rumahnya jadi fenomena yang belakangan terjadi dalam tatanan masyarakat. Ada juga karakter psikolog Ibu Inti (Putri Ayudya) yang ditampilkan untuk buka diskusi. Meski screentime saat sesi konseling tak memberi pengaruh besar, kehadiran karakter ini tetap memberi dampak supaya film terkesan tak menggurui.

Habis nonton setiap adegan dalam film Dua Hati Biru dijamin penonton bisa buka ruang diskusi akibat pernikahan dini. Tentang hubungan rumah tangga yang dicampuri orangtua, harga diri lelaki sebagai kepala keluarga, sampai lika liku pasutri muda. Dialog dan lapisan emosi yang menumpuk membuat film ini sama rasa dengan prekuelnya. Pernikahan nyatanya bukan hal-hal manis seperti pacaran. Ada ujian sabar, setia, dan sanggup hadapi apapun secara bersama.

Secara visual, color grading Dua Hati Biru yang digarap mas Andhy Pulung juga sama tampak jernih seperti film sebelumnya. Warna dan simbol-simbol semiotika masih hadir seperti ondel-ondel dan kerang dara. Meski tak begitu magis atau sepowerful dalam film pertama, penempatan penanda tersebut masih relate dengan cerita alter ego antar karakter. Apalagi suasana film yang diangkat lebih mengarah ke kalangan masyarakat menengah ke bawah dan coba bercerita tentang kita bukan sekadar tokoh “aku” atau “kamu” saja.

Adegan one take shot yang memorable juga masih ada. Tetap bertahan pada koridor realis seperti apa Baba dan mamanya ingin memberi yang terbaik untuk Adam. Tanpa harus bergantung pada siapapun.

Meski ada pergantian pemain, Aisha Nurra Datau sebagai Dara cukup berhasil menyatukan chemistry dengan karakter-karakter lama. Hanya saja saat Nurra harus sedih ada ekspresi yang belum maksimal terutama saat Ia butuh waktu untuk membiasakan diri sebagai ibu dari Adam. Beberapa bagian terlihat juga tata rias yang agak memoles berlebihan untuk karakternya.

Untung totalitas cameo seperti Keanu Angelo sebagai Iqi begitu lucu karakternya. Keanu tampil komedi seperti versi dirinya sendiri yang apa adanya sebagai tetangga atau kawan Bima yang punya usaha Iqinclong Cleaning dan Iqiyut Fashion. Dengan dialog khas celetukannya, Ia mampu mengundang tawa dan membuat penonton tak henti bertepuk tangan.

Hal ini juga berlaku pada aktor cilik, Farrell Rafisqy dengan akting menggemaskan sebagai Adam. Dari wajah saja, Ia sudah mirip alias seperti perpaduan Angga dan Nurra. Belum lagi melihat tingkah yang menggemaskan saat salat, bicara dengan hewan, atau bermain di playground. Kiyowo!

Hampir sama seperti prekuelnya, pilihan lagu yang mengiringi adegan dalam film Dua Hati Biru begitu kuat. Lirik, musik, dan emosi dari karakter berhasil membangun tiap adegan. Ada lagu Satu-Satu dari Idgitaf, lagu Tak Ada Keluarga yang Sempurna dari Hara, lagu Asimetris dari Kunto Aji, dan lagu Growing Up dari Rara Sekar. Semua wajib masuk ke dalam playlistku untuk didengar berulang.

Mungkin hanya beberapa detail yang terasa berlalu begitu saja. Misal boneka hiu atau ikan oyong yang jatuh dan cincin kawin yang dilepas. Sayang sekali seperti tak berhasil dieksekusi lebih lanjut. Adegan saat mencari Adam hilang juga masih banyak pilihan shot yang harusnya bisa dipertontonkan.

keluarga-muda
kehangatan keluarga kecil Bima, Dara, dan Adam
(dok. Film Dua Hati Biru)

Biar bagaimanapun Dua Hati Biru sukses menghargai pendapat tiap karakternya. Film Indonesia ini punya cerita realistis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari bak kisah nyata nikah muda. Ini tontonan berkualitas yang tak boleh terlewatkan untuk ditonton di bioskop. Drama keluarga yang mengangkat persoalan awal membina rumah tangga mampu direpresentasikan pada hubungan keluarga yang memang tak sempurna. Saat ada gap dalam tingkat pendidikan dan pekerjaan kadang membawa masalah baru yang bisa jadi perdebatan.

Tumbuh menjadi satu keluarga tak hanya butuh cinta, tetapi juga butuh ilmu serta konsistensi untuk menerapkannya. Film Dua Hati Biru paham bentul menjaga konsistensi antar karakter dan hubungan dalam ceritanya. Pasutri yang baru berumur kepala dua itu mampu mengajak penonton agar menanamkan komunikasi yang lebih hangat dalam berkeluarga. Susahnya membina rumah tangga pada usia muda tampil begitu bijak dan endingnya sungguh bernyawa!

     Tantangan dalam mengurus anak dan menyeimbangkan peran sebagai orangtua membawa film Dua Hati Biru sebagai edukasi bahwa pernikahan bukan perlombaan. Menikah bukan cuma romansa saja, tapi ada hal lain untuk mengenal pasangan lebih dalam baik sifat maupun sikap. Sebagai individu yang belum menikah, aku bisa berucap “Menikahlah! Jika dirimu sudah siap . . .”

2 komentar:

  1. Banyak dengar juga nih tentang film lanjutan Dua Garis Biru ini. Pesan moralnya bagus ya, konfliknya juga cukup relate dengan kehidupan sehari-hari. Tentang parenting, hubungan suami istri dan orang tua serta mertua.

    BalasHapus
  2. Film seperti Dua Garis Biru ini yang harus diperbanyak di negara kita. Karena banyak pesan yang bisa disampaikan melalui film, mulai dari permasalahan pernikahan dini, kehidupan pernikahan dan lainnya.
    Meskipun belum menonton film ini secara full baru melihat skuelnya saja. Tapi dari sinopsis ini sudah mengetahui kalau film ini memang layak untuk ditonton.

    BalasHapus