Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut
manja
Sutradara, Razka Robby Ertanto, merilis film horor panjang terbaru yang berjudul Possession (Kerasukan). Ini merupakan film horor remake dari Perancis yang berjudul sama dan pernah rilis tahun 1980-an. Dalam versi orisinal, sutradaranya memang buat film horor ini karena alami perceraian dengan istrinya. Melalui pendekatan kreatif tanpa batas, Robby justru menumpahkan keresahan visual audio yang angkat isu feminisme lawan budaya patriarki karena telah lama mengakar di Indonesia. Apakah film Possession (kerasukan) bisa diterima penikmat horor Indonesia?
Genre film horor Indonesia masih dominasi layar bioskop. Memang setiap negara punya referensinya masing-masing dan Indonesia dianggap sebagai negara yang punya cerita mistis paling kaya. Konon film horor disukai para pencinta film sebab dipandang hidup di Indonesia begitu misterius. Para penonton butuh melampiaskan emosi dan hiburan yang bisa menakut-nakuti kehidupannya. Biar tidak bosan, film horor Indonesia tentu harus punya sisi kebaruan.
Selaku rumah produksi, Falcon Pictures berani membawa cerita horor dari Perancis ke Indonesia. Sosok hantu
berwujud monster berubah menjadi pocong yang begitu menyeramkan siap menakuti
para penonton di bioskop. Cerita dibangun dengan konsep horor psikologis yang
fokus pada aspek mental dan emosi untuk memberi efek menyeramkan. Mungkinkah
film Possession tak hanya berpusat pada jumpscare atau adegan berdarah
saja?!
Ratna (Carissa Perusset) merupakan
penulis naskah teater yang minta cerai terhadap suaminya bernama Faris (Darius
Sinathrya). Mungkin Ratna merasa telah khianati suaminya saat ditinggal lama
bertugas sebagai tentara Angkatan Laut (AL). Anehnya, Ratna justru lebih
memilih berhubungan dengan sosok pocong misterius. Perkawinan yang dialaminya berubah jadi sesuatu yang kaku seolah memperlakukan istri sebagai milik
suaminya, termasuk anaknya Budi (Sulthan Hamonangan).
Drama keluarga Ratna terkonstruksi
dalam intrik, teaterikal, dan seketika berubah jadi teror. Ketika Ratna
dituntut untuk menyelesaikan naskah teaternya dari seorang sutradara bernama
Wahyu (Nugie), kengerian terus menghantuinya. Ratna tak hanya diteror oleh
sosok pocong, perilaku orang-orang sekelilingnya juga kerap ganggu
konsentrasinya menulis naskah.
Disisi lain, Faris mulai curiga
dan menyelidiki alibi permintaan cerai tersebut. Tragedi kematian yang
menyeramkan pun mulai menyerang satu per satu. Siapa sebenarnya pelaku dibalik
teror kerasukan yang masuk ke dalam diri masing-masing karakter?!?
Kamu yang membuat saya tidak
berdaya.
Kamu dan pikiranmu adalah
SETAN!
Sebagai remake dari film
Perancis, agaknya tak perlu heran bila film Possession menghadirkan gaya film
yang lebih mengarah pada unsur teater. Narasi pengenalan karakter, dialog kaku,
sampai gestur para pemeran bisa dibilang menyentuh. Bagi penyuka teater
sepertiku, mungkin film horor ini sangat cocok dinikmati. Aku bisa merasakan
sosial realis pengadeganan dan camera movement seperti pentas teater
dengan dukungan akting para pemeran yang berupaya natural.
Uniknya, adegan demi adegan
lebih banyak menampilkan unsur kekerasan dan darah. Sosok Ratna digambarkan
sebagai korban yang kurang perhatian karena sudah terlalu lama ditinggal tugas
oleh suaminya yang tentara. Ia bangkit dari titik sepi tersebut dengan menulis
naskah teater. Namun, malang baginya naskah teater berjudul Kerasukan justru
terperangkap dalam dirinya sendiri yang membuat Ia hampir gila.
Film Possession tak malu menyelipkan unsur seksualitas sebagai gambaran dari diri seorang Ratna. Suasana dibangun mencekam dengan perpaduan warna merah dan hitam dalam kostumnya. Sebagai perempuan yang sudah kerasukan, Ratna pun harus siap beradegan tempur dengan lawan jenis kelaminnya.
Berbeda dengan kondisi Faris
yang tergambarkan sebagai lelaki gagal untuk pertahankan rumah tangga. Status
maskulinitasnya dipenuhi rasa takut sebab Ia merasa hilang “kejantanan” karena
istrinya sudah enggan berhubungan badan dengannya lagi. Faris mulai menduga
bahwa Ratna lakukan affair dengan sutradara teater yang tingkahnya tidak
maskulin itu.
Tuntutan cerita tak hanya
sebatas pecahnya hubungan antar suami istri yang sudah lama ditinggal berlayar.
Retaknya orangtua dan anak justru mampu menimbulkan tekanan batin tersendiri
sehingga anak punya rasa ketidakpercayaan diantara orangtua yang sudah tak bisa
saling mencintai dan mendukung. Apalagi saat hadir orang ketiga.
Babak awal yang menghadirkan percakapan
intens antar karakter tampil secara teaterikal. Alhasil, penonton masih bisa
menangkap maksud atau jalan cerita yang ingin disampaikan sutradara dan penulis
skenario. Semua masih terasa masuk akal sebab alur cerita tampak beraturan dan
penuh teka-teki atas apa yang sebenarnya terjadi dalam diri Ratna.
Horor psikologis bernuansa artsy
ini makin jelas memperkenalkan karakter sekeliling Ratna satu per satu. Tiap
karakter selalu dilekatkan pada posisi gender yang punya unsur patriarkinya
masing-masing, termasuk figuran seperti supir taksi sekalipun.
Sayangnya ada beberapa adegan
yang tidak dikulik secara mendalam, terutama saat Ratna harus berhadapan
langsung dengan Wahyu dan Pak Toni. Sepertinya penulis skenario kurang peduli
terhadap pengembangan cerita dari dua karakter ini. Hal yang perlu diperhatikan
yaitu saat Wahyu menekan Ratna untuk menyelesaikan naskahnya. Begitu juga saat
Pak Toni melakukan ritual terhadap Ratna untuk mengusir gangguan jahat yang ada
dalam dirinya. Kedua adegan tersebut terlihat sekali disengaja dan kurang
mendalam pendekatan intensitas adegannya. Semua terkesan sudah disiapkan tanpa
ada aba-aba atau adegan pendahulunya. Ibarat lagu, intronya belum dimainkan.
Selain plot hole tadi,
hal yang masih belum bisa memuaskan diriku sebagai penonton yaitu dari sisi
karakter hantu yang muncul masuk ke dalam lift. Agaknya sosok nenek yang selalu bilang “dia
akan datang” sungguh misterius. Siapa sebenarnya nenek tersebut dan apa
motivasinya masih jadi tanda tanya.
Possessions tetap jadi sajian
horor yang bisa dinikmati dari sisi sinematografi, set artistik, dan scoring.
Pilihan shot yang menampilkan kondisi mulai dari adegan lari menuju
kamar dan adegan di dalam kamar sungguh memanjakan mata. Simbol-simbol semiotik
seperti rambut, foto, dan jumlah lilin juga sengaja disebar untuk menambah
unsur teka-teki dalam film yang penuh adegan kekerasan dan darah. Bagi penyuka
teater sepertiku tentu narasi film yang dibungkus dengan unsur-unsur tadi dan penjiwaan akting yang mendalam bak menyaksikan pertunjukan panggung teater sehingga bisa memberi impresi tersendiri.
Apalagi para pemeran mampu melebur dalam set artistik yang begitu dekat dengan unsur 80an. Mulai dari
Majalah Mystics yang sering dibaca Pak Toni, telepon rumah, sampai mobil
vintage yang dipersiapkan dengan matang oleh Frans X.R. Paat. Semua
properti tampak hidup saat tata cahaya mendukung suasana horor yang juga bangkitkan
adrenalin.
Dari semua pemeran yang
terlibat, mereka berakting seolah tanpa beban. Gesture dan ekspresi masing-masing
karakter bisa menyesuaikan diri sesuai dengan porsinya. Ensamble cast
yang hebat mampu mengimbangi satu sama lain. Terutama dua karakter perempuan
dalam film ini seperti Carissa Perusset sebagai Ratna dan Sara Fajira sebagai
Mitha.
Carissa Perusset menampilkan
karakter istri sekaligus penulis naskah teater yang suka menyendiri, tapi bisa
bersikap sadis. Bahkan, sampai membenturkan kepalanya berkali-kali seperti
orang depresi. Bagian menarik dari aktingnya yaitu saat jalani ritual di
atas ranjang. Tangan dan kaki yang terikat kain menyiratkan sosok perempuan
yang sering merasa tak berdaya. Belum lagi saat Ia harus menyalurkan hasratnya
dengan guling yang berubah jadi pocong. Ditambah cara Carissa membangun chemistry
dengan Darius sebagai suaminya dan Sulthan sebagai anaknya begitu pas.
Jangan lupakan juga akting dari Sara Fajira sebagai asisten Ratna sekaligus punya niat lain untuk hadir dalam keluarga yang sedang diambang perpisahan. Meski terkesan cegil, Sara bisa memainkan sensualitasnya baik dari segi ekspresi maupun ketubuhan. Bahkan ada adegan kayang saat Mitha harus kerasukan di tengah hujan dan terowongan.
Ada pula Nugie, seorang sutradara
teater yang berhasil memikat Ratna. Ia mewakili sosok laki-laki feminis yang
tidak takut kehilangan maskulinitasnya karena Ia sadar bahwa ketakutan hanya
hadir saat naskah teaternya tak kunjung selesai. Ia hanya butuh pembebasan diri
untuk sekadar berekspresi saja.
Seiring berjalan durasi, alunan
Lagu Sabda Alam yang dinyanyikan Danilla Riyadi dan Rahara menjadi sesuatu yang
berhasil mempermainkan emosi penonton. Perbedaan posisi pria dan perempuan
tentang kekuasaan dan kekuatan begitu terpancar. Sama seperti Ratna dalam film
ini yang direpresentasikan sebagai objek para lelaki. Seolah Ratna berhak
diperangkap dan tidak memiliki kebebasan atas dirinya. Tapi, disisi lain justru
Ratna mampu melemahkan laki-laki lewat pesona kecantikannya.
Akhir kisah Ratna tampil sebagai sosok
feminisme berjuang melawan patriarki dari para lelaki. Ia harus mengorbankan
kesehatan mental, hubungan suami istri, bahkan kehidupannya sendiri sebagai
perempuan. Sebab saat budaya patriarki dalam segala aspek menguasai, maka akan
terjadi ketidakharmonisan. Untuk hilangkan perlahan budaya tersebut, tentu
dengan pikiran dan perbuatan atas apa yang disebut kesetaraan bukan kerasukan. Inilah ending
film horor yang bisa memancing diskusi secara berkelanjutan.
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar
madu
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di sudut kerling wanita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar