Rabu, 15 Mei 2024 akan jadi saksi
film How to Make Millions Before Grandma Dies tayang di jaringan bioskop
Indonesia. Film drama keluarga yang disutradarai Pat Boonnitipat ini bisa bikin
penonton larut dalam cerita. Wajib siapkan tisu karena bisa menangis lihat
hubungan nenek dan cucu.
Film
Thailand ini beranjak dari fenomena yang dekat dengan masyarakat di Indonesia.
Saat anak kadang melupakan orangtuanya ketika sudah sukses, sibuk bekerja, atau
malu hanya jadi pengangguran saja. Banyak dari kisah nyata tersebut berujung
pada orangtua yang kesepian dan akhirnya menghabiskan usia senja seorang diri.
Menariknya, film ini justru memperlakukan seperti apa seorang cucu yang rela jaga
neneknya sampai akhir hayatnya. Sungguh relate dengan kisah Blogger Eksis
dulu.
Aku hadir pada momen special screening di CGV Grand Indonesia (8/5). Respon positif dari para penonton yang menyaksikan malam itu tentu membuat film asing ini harus dinantikan. Sebab selama nonton, banyak sekali yang meneteskan air mata. Berikut ulas film How to Make Millions Before Grandma Dies.
Usia
senja, seorang ibu sekaligus nenek yang dipanggil Amah (Usha Seamkhum) merasa
kesepian karena tiga anaknya sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Belum
lagi, tubuh Amah makin lemah sejak harus jalani kemoterapi akibat idap penyakit
kanker usus. Awalnya, penyakit yang ada didalam tubuhnya itu malah
disembunyikan anak-anaknya.
Dalam rindu kehangatan keluarga,
muncul cucu pertama Amah yang dipanggil M (Putthipong Assaratanakul). Ia rela
merawat Amah yang sakit parah dan meninggalkan mimpinya sebagai atlet esport.
Kehadiran M di rumah Amah tentu mengubah hari-hari Amah lebih berwarna. Lantas,
apakah anak-anaknya akan terketuk hati untuk merawat sang Ibu? Atau justru ada
motif lain dari cucunya untuk dapat warisan Amah?!
Film How to Make Millions Before Grandma
Dies berhasil menunjukkan perasaan
seperti apa sosok Ibu sekaligus nenek saat usia senja. Ketika anak-anaknya
sudah punya urusan masing-masing, ibu hanya hidup sendirian di rumah. Tanpa ada
cucu yang kadang tak peduli juga dengan kondisinya. Perlahan rasa sepi itu bisa
buat siapa saja menjadi sesak.
Amah selalu menanti di depan rumah agar
anak-anaknya berkunjung. Rasa ‘kangen’ itu biasanya dipersiapkan juga dengan buat
makanan-makanan kesukaan anaknya. Bila anaknya tak ada yang datang, maka akan
jadi makanan sisa yang tersimpan di kulkas. Tapi, Amah memang tipe orang yang
tak mau ganggu kesibukan anaknya, tidak enak hati, dan mungkin saja gengsi
karena merasa masih bisa rawat diri sendiri tanpa harus minta bantuan anggota
keluarga lain.
Film Thailand ini tak hanya
menunjukkan bakti cucu kepada neneknya. Kekhawatiran tiga anaknya juga
ditampilkan. Alasan jarang berkunjung ke rumah Amah bukan berarti mereka tak
perhatikan masa tua sang ibu. Mereka juga coba lakukan berbagai cara untuk
bahagiakan ibunya, tapi ibu merasa mereka selalu ada maunya.
Memenangkan hati ibu sekaligus nenek
bukan hal yang mudah. Anak dan cucunya kadang tak bisa menyesuaikan dengan pikiran
dan isi hati dari sosok yang sudah berusia senja. Sangat sulit untuk dipuaskan
apalagi bila ada niat terselubung supaya dapat warisan. Padahal keinginan Amah
begitu sederhana hanya ingin menghabiskan waktu hidup tanpa kesepian yang membara.
Treatment yang diberikan
dalam pengadeganan film ini terasa agak lama seperti film drama keluarga lain.
Ada adegan family time di meja makan dan flashback kenangan terdahulu.
Untungnya konflik yang dihadirkan tak mudah ditebak sehingga penonton masih
bisa ikuti alur cerita dari satu adegan ke adegan lain.
Hal yang sungguh disayangkan, ada beberapa lapisan karakter yang tak dieksplorasi lebih lanjut sampai akhir. Misal hubungan M dengan sosok perempuan yang sepertinya bekerja sebagai care giver, bernama Mui. M mungkin termotivasi Mui dan ibunya untuk mengurus Amah. Tapi, sosok Mui hanya muncul pada babak awal dan tengah cerita saja. Mui tak tampak dalam pemakaman Amah.
Begitu juga hubungan Amah dengan abang kandung yang hidupnya lebih kaya raya darinya. Ada adegan Amah saat berkunjung ke rumah saudara kandungnya itu. Awalnya, mereka bisa lepas rindu dengan karaoke bersama. Tiba-tiba Amah justru dapat penolakan atas permintaannya sehingga menimbulkan rasa sesak dalam dada.
Kedua karakter tersebut hanya sebatas permukaan saja karena dipaksa tampil untuk masuk memenuhi jalan cerita. Meski adegan dibuat secara detail, tapi hubungan antara keduanya terasa kurang diangkat sehingga seolah berdiri sendiri sepanjang durasi. Film pun hanya fokus pada hubungan Amah bersama cucu dan anaknya.
Beberapa adegan kebersamaan keluarga seharusnya bisa eksplorasi lebih dalam sehingga makin berkesan. Misal saat nenek lelah diajak liburan ke salah satu kuil di Thailand. Semestinya ada adegan nenek digendong cucu atau anaknya disitu agar penonton lebih terenyuh.
Untungnya dialog-dialog dalam film terasa begitu dekat dengan keseharian. Setiap dialog yang diucapkan dari para karakter terasa membekas. Kata dan kalimat rasanya begitu relate dengan apa yang pernah aku alami saat mengurus nenek dahulu. Meski nenekku justru sehat walafiat dan selalu aku temani kemanapun dia mau.
Ada dua dialog yang begitu menyentuh dalam benak ku. Pertama, dialog cucu perempuan Amah yang bernama Rainbow saat Amah sedang sakit. Ia berucap “kalau aku sudah dewasa, aku yang bakal jadi dokter untukmu”. Begitu juga dialog anak perempuan Amah yang bernama Sew “Giliran anak lelaki dapat warisan aset, sedangkan anak perempuan malah dapat warisan penyakit genetik” Kedua dialog yang cukup menghujam jantung siapapun yang mendengarnya.
Konflik terus mengalir ringan menyisakan persoalan ibu sekaligus nenek yang merasa sepi atau hampa dalam hidup. Namun, ada cucu lelaki yang memutuskan untuk urus Amah demi mengejar warisan bernilai jutaan rupiah. Walau konflik ringan, siapa sangka usai nonton film ini, aku langsung kangen almarhumah nenek. Aku ingat betul banyak kenangan bersama nenek sewaktu tinggal satu rumah sejak kecil.
Sisi lain, Film Thailand ini tak hanya mengisahkan kesepian perempuan usia senja. Bila diperhatikan dengan seksama, ada beberapa isu kesehatan yang ikut diceritakan. Misal tentang menyimpan stok makanan di kulkas yang bisa menjadi basi. Adapula terkait pelayanan rumah sakit untuk berobat yang antri. Mungkin hal-hal sederhana ini kerap ditemui dalam kehidupan nyata masyarakat di Indonesia. Menarik sekali, ada film yang mau angkat polemik tersebut walau tak dijadikan fokus. Tapi, justru jadi sentilan atas perlindungan kesehatan yang belum sepenuhnya didapat tiap orang.
Kekuatan akting luar biasa dari Usha Seamkhum dan Putthipong Assaratanakul mendukung hubungan nenek dan cucu yang menguras air mata. Mereka nyawa untuk film keluarga ini. Ucapan dan gerak-gerik yang mendominasi membuat mereka mampu menyatukan chemistry. Tak ada yang terlihat overacting karena mereka bisa saling mendukung. Aku pun kembali teringat akan almarhumah nenek yang telah tiada di dunia.
Ini film Thailand yang bisa jadi pilihan tontonan layar lebar yang begitu hangat di tahun 2024. Segera nonton di bioskop dan siapkan tisu untuk meresapi tiap adegannya. Sampai pulang, ingatlah penggalan pesan dari film How to Make Millions Before Grandma Dies yaitu “Apa yang diinginkan orangtua tapi jarang diberikan anaknya?” Jawabnya ialah WAKTU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar