Kisah tentang orang-orang terpinggir dan akar rumput selalu jadi objek menarik dalam pertunjukan teater. Konseptual pementasan tersebut biasanya disajikan kelompok teater dalam dinamika yang beradaptasi pada intrepretasi naskah. Narasi naskah yang sudah dibedah kembali ditampilkan asyik oleh Teater Mandiri melalui lakon ADUH di Teater Salihara, Minggu (12/5/24) sore.
Naskah legendaris ADUH, pertama kali
dipentaskan tahun 1974 di Taman Ismail Marzuki (TIM). Entah seperti apa konsep
pementasan pada tahun itu, setidaknya pementasan yang diusung Teater Mandiri kali
ini cukup bernas. Mereka masih bertahan pada sebuah proses “kreatif” yang
absurd.
Alkisah, sekelompok orang sedang
bekerja. Namun, mereka hentikan pekerjaan saat ada seorang lelaki datang yang
menyelimuti tubuhnya dengan kain putih atau kafan. Lelaki itu tampak sakit
lahir batin dan hendak mengadukan nasib. Orang-orang yang berkerumun mulai
penasaran dan mengajukan pertanyaan “Sakit apa yang diderita lelaki itu?”.
Ada yang terlihat simpati dan ada juga yang curiga dalam hati.
Babak kedua, orang yang sakit tersebut
terbujur jadi mayat dan kaku. Diantara orang-orang berkerumun tadi, ada juga yang
kesurupan minta dikuburkan segera. Sementara yang lain masih sibuk berbagi
balsem karena bau mayat terus menusuk hidung.
Malangnya, babak ketiga ada oknum yang
merampok jam tangan mewah si mayat. Anjing-anjing pun melolong dan pertengkaran
dalam kelompok tersebut terus terjadi lagi dan berulang lagi tanpa henti.
Adegan-adegan dalam lakon tiga babak ADUH seakan mengajak penonton untuk renungi momen kemanusiaan yang belakangan terus mengikis di Indonesia. Hidup ADUH kembali jadi simbol kaum minoritas atau kemanusiaan yang tak ayal terus munculkan polemik. Intrik tipu muslihat antar individu dan interaksi semu yang penuh kecurigaan makin membuat lakon ADUH terus jadi bahan renungan meski setengah abad berlalu sudah sering dipentaskan.
Berdurasi dua jam, ADUH sebenarnya lebih menonjolkan seperti apa kemanusiaan, kesulitan, atau perangkap lain yang menyuarakan simpati antar individu. Pementasan ADUH tahun ini bisa dinikmati dari sisi tata panggung khas Putu Wijaya dengan layar hitam dan kain putih yang membentang kuasai set artistik. Adegan awal dan akhir untuk lakon ADUH patut diacungi jempol. Kursi penonton pun terisi penuh melihat segala sesuatu yang tercipta di atas panggung.
Putu Wijaya sudah paham betul mengemas pertunjukan panggung dengan pendekatan absurd. Properti seperti bahan makanan, mentimun, balsem, atau bebatuan sengaja dibuat dan dipersiapkan di pinggir panggung. Babak kedua pun terlihat sosok mayat justru diganti dengan manekin yang mungkin akan lebih leluasa untuk digotong kesana kemari.
Adapun kekuatan utama dalam pementasan Teater Mandiri seperti biasa yaitu grouping. Terlihat antar lawan main mampu menutupi atau melengkapi pemain lainnya biar cerita terus mengalir. Mereka mungkin terbiasa lewat teknik latihan bonding untuk pererat hubungan satu sama lain.
Memang dalam pementasan ADUH tahun ini didukung aktor dan aktris berbakat seperti Agung HS, Ari Sumitro, Bambang Ismantoro, Jose Rizal Manua, Khairul Fiqih Achong, Imron Rosyadi, Laila Uliel El Na’ma, Penny Moehaji, Siti Rukoyah, Taksu Wijaya, dan Widi Dwinanda. Mungkin saja mereka sudah berpengalaman sebelumnya atau ada yang pernah merasakan satu panggung.
Dari semua pemain, dua aktor sebenarnya mencuri perhatian yaitu Bambang Ismantoro dan Taksu Wijaya. Mereka berhasil bangun karakter dengan kepiawaian akting yang cergas. Begitu juga Ari Sumitro dengan dialek bicara lambat. Sayangnya, konsistensi karakter mereka tak terjaga sampai akhir.
Belum lagi, banyak karakter lalu lalang dan tiba-tiba muncul seenaknya serta tanpa tujuan jelas. Meski ini naskah memang bisa memaknai karakter sesukanya, tapi kemunculan karakter termasuk figuran sekalipun harus ada motivasinya. Minimal, bisa jelas latar tempat dan untuk apa mereka di sana. Bukan justru hanya terlihat meramaikan kerumunan semata. ADUH!
Menjaga Spirit ADUH ala Putu Wijaya
Lebih dari sekadar pementasan, Setengah Abad ADUH sebenarnya
bawa semangat untuk menjaga spirit dari naskah yang lazim dibawakan kelompok
teater lain. Tongkat estafet dan semangat berkesenian dari pendiri Teater
Mandiri harus tetap dirawat generasi selanjutnya. ADUH dalam pementasan hari
lalu, menempatkan istri Putu Wijaya, Dewi Pramunawati selaku Pimpinan Produksi
dan anaknya Taksu Wijaya masuk dalam deretan aktor.
Nonton ADUH di Salihara ini jadi hal pertama yang aku lakukan
untuk datang ke galeri seni tersebut. Cuma ini menjadi kesempatan kedua yang
aku dapat untuk nonton produksi Teater Mandiri. Sebelumnya, aku pernah nonton
pentas lakon AH di Teater Kecil, TIM.
Tentu aku tak mau melewatkan sajian menarik ini. Bagi diriku
sebagai bagian dari seniman teater yang sudah lama mengikuti karya-karya Putu
Wijaya, ADUH menjadi naskah multitafsir yang gaya pertunjukannya bisa dibuat
sesuai arahan sutradara. Aku bisa menemukan lapisan interpretasi dalam tiap
pertunjukan yang ditonton.
Melalui tangan dinginnya, Eyang Putu telah membuktikan bahwa
naskah ADUH punya sejarah panjang dalam seni pertunjukan di Indonesia. ADUH
menjelma jadi konsep tontonan kritis dan menghibur. Keberpihakan Eyang Putu untuk
terus ‘membadut’ dengan naskah-naskahnya memang buat hidup di dunia nyata
terkesan amat lucu. Tapi, disisi lain ada teror mental yang terus digaungkan
melalui pendekatan budaya dan tradisi yang telah mengakar selama ini.
Bila ada pertanyaan “Mengapa ADUH harus dipentaskan kembali?”
Sebenarnya jawabannya sederhana karena naskah ADUH masih terus mengabarkan
kenyataan. Maka jangan heran akhir cerita atau ending ADUH terlihat ada
repetisi seperti adegan yang kembali membuka pementasan. Sejak naskah lakon
ADUH jadi juara pertama dalam Sayembara Penulisan Naskah Lakon Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) 1973, maka beranjak dari situ pula naskah ADUH bisa diterima
banyak lapisan masyarakat. Pasalnya, ide cerita paling mendasar dari lakon yang
ditulis pada dekade tahun 70an ini masih relevan dengan kondisi Indonesia
sekarang.
Selain memunculkan ragam pemaknaan, menyaksikan kembali ADUH
juga mengingatkan sejarah penting Teater Mandiri. Sosok Putu Wijaya mampu
memiliki kepercayaan diri untuk berkreasi dan terbukti banyak lahirkan seniman ternama
yang berangkat dari belajar seni peran. Sebut saja Arswendy Bening Swara, Butet
Kertaredjasa, Cobina Gillitt, Rachel Maryam, dan Rieke Dyah Pitaloka.
Sebagai tambahan informasi, sebelum nonton pementasan sore itu, penulis sempat ikut diskusi Aduh setelah 50 Tahun. Dalam diskusi tersebut penulis bisa memahami bahwa ADUH menjadi sesuatu lakon yang jernih dan luas. Bisa disampaikan dengan dialog sederhana yang mudah ditangkap semua orang. Meski pemaknaan dan intrepretasi karakter didalamnya butuh sisi afeksi yang mendalam. Hadir pula dalam diskusi yaitu Jajang C. Noer, Niniek L. Karim, Simon Karsimin, dan beberapa seniman teater lain.
Panjang umur,
ADUH!
Terima kasih sudah mengADUHkan pikiranku . . .
Hai, terima kasih sudah mereview pementasan Aduh yang digagas oleh Teater Mandiri dan Komunitas Salihara.
BalasHapusSilakan subscribe Salihara.org untuk mengetahui perkembangan info program-program kami selanjutnya ya. Sebelumnya perkenalkan saya Cliff dari Humas Salihara Arts Center; bolehkah saya meminta alamat emailmu untuk memberi undangan terkait event-event Salihara selanjutnya? Terima kasih.