Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Kebebasan Berbicara lewat Film Istirahatlah Kata-Kata

Istirahatlah Kata-kata
 Jangan nyembur-nyembur  
           Orang-orang bisu 
        Kembalilah ke dalam rahim 
        Segala tangis dan kebusukan 
        Dalam dunia meringis 

       Tempat orang-orang mengingkari
       Menahan ucapannya sendiri
       Tidurlah kata-kata
       Kita bangkit nanti”


Ulas film Indonesia berjudul Istirahatlah Kata-Kata

Blogger Eksis sangat suka dengan film yang diadaptasi dari kisah nyata. Biasanya, film tersebut memiliki cerita yang autentik. Dibalik orisinalitas, kita bisa melihat ada riset yang harus dilakukan sebelum film diproduksi lebih lanjut.

Film jadi media tutur tentang sejarah. Film Istirahatlah Kata-Kata bercerita tentang penyair sekaligus aktivis bernama Wiji Thukul. Ia lantang meneriakkan ketidakadilan dari tahun 1996 sampai 1998. Pria yang hidup sederhana itu ditakuti oleh penguasa pada zaman yang dianggap penuh kesengsaraan. 
Sebagai manusia biasa, Ia hanya bisa berjuang melalui kata-kata. Namun, perlawanan terhadap rezim membuat statusnya sampai sekarang masih dinyatakan sebagai “orang hilang”

Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) terpaksa pergi ke Pontianak, Kalimantan Barat untuk bersembunyi. Ia tinggal bersama orang-orang asing yang tak dikenal seperti seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis asal Medan bernama Martin (Eduwart Boang Manalu) beserta istrinya Ida (Melanie Subono).
Ia dibayangi dengan tembakan-tembakan yang bisa mengantarnya pada maut. Ia sempat bergidik saat seorang tentara (Arswendi Nasution) bertanya tentang asal-usul dirinya. Beberapa kali, Ia juga harus mengganti identitas untuk mengelabui lingkungan sekitar.
Disisi lain, penonton bisa melihat kehidupan istrinya yang bernama Sipon (Marissa Anita). Istrinya tinggal di Solo bersama kedua anaknya, Fitri Nganti Wani (Putri Fathiya Hany Nurrohman) dan Fajar Merah (Franco Christo). Ada kegamangan yang dirasakan keluarganya yang hidup dalam pengawasan ketat. Hidup mereka serasa dikelilingi teror dan intel yang berkeliaran.
Muram dan pedih karena Wiji Thukul harus hidup penuh ancaman. Puisi yang dibuat menjadi simbol pemberontakan saat banyak orang bungkam dalam ketidakberdayaan. Kata-kata yang tertuang dalam syairnya menjadi peluru tajam bagi penguasa. Kontradiksi kondisi sosial ekonomi yang terjadi berhasil melahirkan karya sajak nan berani. 
Karya Wiji Thukul keluar dari pakem sastra yang puitis. Ia hanya berusaha untuk tampil jujur dan lugas menggoyahkan kepentingan para penguasa. Kondisi demikian menciptakan kekerasan budaya yang membentuk kebiri terhadap suatu pemikiran.
Wiji Thukul bergerak pada humanisme universal yang fokus pada kebebasan berpikir dan berpendapat setiap individu. Kata-katanya mungkin tampak biasa, tapi sarat makna. Pengaruhnya tentu tak bisa diremehkan. Karya puisinya hadir sebagai api penyulut sumbu perjuangan. Setiap larik puisinya mewakili nurani yang siap mengguncang ketidakadilan.

sutradara film Istirahatlah Kata-Kata bernama Yosep Anggi Noen

Film Istirahatlah Kata-Kata hadir penuh gejolak kecemasan, ketakutan, kesunyian, dan kerinduan. Film berdurasi 97 menit ini tidak menceritakan kehidupan Wiji Thukul dari lahir, remaja, hingga tua. Film justru mengambil sudut pandang saat Wiji Thukul menyamar dan bersembunyi dari kejaran militer. 
Adegan demi adegan dibuat tanpa meninggalkan kebosanan. Dominasi visual ditambah audio sebagai latar mampu memunculkan sesuatu yang dekat dengan keseharian. Sentuhan dramatis muncul pada kata-kata mutiara yang terdengar lewat voice over. Selebrasi tutur film penuh esensi dengan bahasa sinematik.
Sutradara (Yosep Anggi Noen) berhasil mengajak penonton ikut merasakan semesta persoalan batin atau kejiwaan yang dialami pemeran utama. Wiji Thukul harus hidup di lubuk kesunyian. Ia ditampilkan begitu hening dalam suasana mencekam.
Selebihnya sutradara berusaha untuk romantisasi kisah kehidupan Wiji Thukul. Keluarganya tetap utuh walau harus hidup sepenanggungan saat hadapi masalah. Mereka tetap hidup berdampingan selama masih bisa  berkomunikasi dengan emosi, perasaan, dan pemikiran yang kuat.
Hanya tipis sekali informasi yang diberi saat Wiji Thukul harus menghadapi represi Orde Baru. Konteks sosial politik bangsa tak ditampilkan secara utuh alias kurang menggigit zamannya. Tak ada adegan demonstrasi yang menghiasi layar sehingga eksposisi sejarah yang gundah gulana harus disimpulkan sendiri.
Tata kamera juga hanya mengambil gambar pada satu sisi. Pergerakan shot hanya ingin menangkap sepi. Kamera hanya menyorot Wiji Thukul yang terlihat gelisah atau berada di ruang gelap dalam kondisi minim cahaya. Blocking para pemain pun menjadi aset penting yang tak luput menyita perhatian penonton.
Para pemeran berupaya memberi ekspresi cemas dan putus asa seolah menahan pilu dalam kondisi tekanan yang berat. Gunawan Maryanto tampil bertubuh ringkih dan berdialog dengan kecadelan khas Wiji Thukul. 
Sementara Marissa Anita cukup melebur sebagai istri yang sebagian besar bercakap menggunakan bahasa Jawa. Tatap mata yang lesu berusaha memperlihatkan keresahan Sipon yang ditinggal oleh suaminya entah kemana.

Bagai sebuah puisi. Konstruksi adegan nyaris hadir dalam bentuk karya film yang langka di Indonesia. Film ini seolah ingin mengungkap kejujuran sehingga mengajak penonton larut dalam setiap emosi.
Film Istirahatlah Kata-Kata bisa membuka wawasan penonton untuk beranalisa terhadap perilaku manusia yang terjebak dari kasus-kasus yang dihadapi negara. Film coba bangun rasio baru, di mana mereka yang dihilangkan masih hidup meski dalam sebuah karya seni. Ada kehidupan yang terisolasi sampai kecemasan yang menjadi-jadi dalam kelambanan tempo film.
Istirahatlah kata-kata memang terbilang minim dialog. Tapi, pesan yang ingin disampaikan mudah dicerna. Pahit getir kehidupan menggores sampai akhir. 
Entah masih adakah harapan untuk mencari kebenaran akan misteri “hilangnya aktivis negeri”. Persoalan kemanusiaan terus bergulir sampai sekarang walau kepemimpinan telah berganti. Indonesia pernah bergolak di Orde Baru sampai melahirkan reformasi Pemerintahan dan sistem kebangsaan berbasis revolusi mental seperti saat ini.

    Wiji Thukul boleh lenyap. Namun, karya dan semangatnya tetap ada mengancam para penguasa. Kata-katanya belum binasa dan masih bisa mengungkap kebebasan berbicara.

   Kini, Wiji Thukul tetap tak diketahui. Dia menghilang untuk selamanya. Tak jelas rimbanya.


TVRI Nasional menyiarkan kembali film-film Indonesia
Film Istirahatlah Kata-Kata diputar kembali oleh stasiun TVRI

Aku tidak pernah mau kamu pergi.

  Tapi, aku juga tidak mau kamu pulang.

 Aku hanya ingin kamu ada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar