Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Kelangkaan Air Mengancam Keberlanjutan Kehidupan

Air untuk kehidupan



Banyak netizen yang sambat: 
“Kok 2020 gini amat? 
Banyak bencana yang menjadi pertanda akan terjadi kiamat!!”

       Seperti yang kita ketahui, bencana banjir mulai mengawali musibah yang datang ke Indonesia di bulan Januari dan Februari. Berlanjut ke bulan Maret dan April, virus Corona masuk ke Indonesia dan statusnya berkembang menjadi darurat bencana atau pandemi global. Mungkinkah di bulan Juni ini semua akan berakhir?
    Bencana yang datang bertubi-tubi nyatanya tak akan berhenti bila kita tidak mengubah pola pikir dan perilaku yang merusak bumi. Kondisi ini mengingat usia bumi yang semakin tua. Bencana berikutnya yang mengancam yaitu bencana kekeringan karena wilayah Indonesia mulai masuk musim kemarau.
      Bencana kekeringan menjadi ancaman yang menakutkan. Hal ini disebabkan krisis air bersih yang meningkat setiap tahun. Belum lagi air diprediksi akan langka di tahun 2030. Krisis air yang terjadi di Indonesia tentu berbeda dengan kondisi di Timur Tengah atau Afrika. Buruknya air dan sanitasi di Indonesia telah berimbas pada stunting.

fakta Bencana Kekeringan di Indonesia
Status bencana kekeringan di Indonesia 2017-2019 (sumber: www.validnews.id)

        Blogger Eksis jadi teringat pengalaman sulit mendapat air bersih ketika berada di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2017. Di Indonesia bagian timur tersebut, daya tampung air sudah rusak. Disisi lain, komersialisasi air tinggi karena perusahaan-perusahaan dibiarkan menyedot air tanah dan dijual ke rumah tangga.
    Saat itu, memang ada sebuah Bendungan Rotiklot yang sedang dibangun dan baru diresmikan oleh Presiden pada tanggal 20 Mei 2019 lalu. Namun, pembangunan waduk yang menelan biaya milyaran rupiah itu belum dapat memenuhi kebutuhan air minum atau memasok air untuk irigasi. Kondisi demikian justru menjadi sumber masalah baru.
Musim kemarau di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur
Musim kemarau di Kabupaten Belu, NTT tahun 2017

krisis air bersih di NTT
Seorang anak sedang mencari air bersih di NTT

    Domisiliku di daerah Jakarta Barat juga dianggap sebagai area yang mengalami krisis air bersih akibat sanitasi yang masih kotor. Sifatku yang terkadang masih suka boros terhadap air harus segera diubah. Hal ini jelas menjadi potret buruk memalukan karena secara tidak langsung aku merusak sirkulasi air secara alamiah.

    Aku harus merawat air untuk kehidupan. Tubuh itu membutuhkan air. Meski air diproduksi secara alamiah, bumi harus tetap eksis di semesta. Oleh karena itu, air menjadi elemen ideal yang wajib terpenuhi. 
       Indonesia seharusnya bersyukur termasuk negara yang cukup lembap dan memiliki curah hujan tinggi. Tapi, Indonesia terbilang emoh terhadap krisis air yang sudah menghantui. Padahal bencana terkait air menjadi pelanggaran hak asasi manusia karena telah terjadi berulang kali.

Air untuk kehidupan hadir di ruang publik demi keberlanjutan

     Bicara tentang air untuk kehidupan, aku dapat materi lengkap dari program radio Ruang Publik KBR. Dalam tema Antisipasi Ancaman Bencana Kekeringan 2020 dihadirkan narasumber Muhammad Reza. Beliau adalah Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHa). Beruntung, aku bisa menyaksikan pemaparannya melalui siaran youtube Berita KBR.
      Penjelasan diawali dengan definisi dari siklus air. Ada pola sirkulasi air dalam ekosistemnya yang dimulai dari proses pemanasan air yang ada di permukaan bumi, penguapan air yang naik ke atmosfer, kondensasi uap air, sampai menjadi titik air yang kembali jatuh ke bumi atau sering disebut hujan. 
     Siklus tak kenal henti tersebut dikenal dengan istilah siklus hidrologi. Siklus ini berlangsung terus menerus selama bumi masih eksis. Hal tersebut ternyata membuat jumlah air di bumi tak akan pernah berkurang atau bertambah.
Siklus Hidrologi (sumber: www.teknosains.com)

         Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia tidak hanya terjadi secara alamiah. Namun, ada campur tangan manusia didalamnya. Lihat saja saat Daerah Aliran Sungai (DAS) dirusak. Semua hanya terpaku pada pola pembangunan infrastruktur demi mengejar keuntungan atau profit ekonomi. Inilah yang tak bisa ditolerir ketika solusi bisnis bertentangan dengan keadaan alam. 
       Sejatinya, krisis air dipandang sebagai masalah paradigmatik. Fakta dan data sudah bertebaran sejak lama. Tapi, semua itu sirna karena tidak mampu mengubah kebijakan yang ada. 
      Muhammad Reza berpendapat “Hal yang diperlukan itu perubahan cara pandang, baik pemerintah maupun masyarakat. Keduanya harus memiliki otoritas masing-masing
    Untuk mengubah mindset tentu harus dilakukan secara bertahap. Perubahan green lifestyle (gaya hidup hijau) di masyarakat tidak akan berpengaruh terhadap keberlanjutan bumi kalau tidak diimbangi perubahan kebijakan.
      Ketika semua daerah harus ramah air. Maka, lahan-lahan yang ada di daerah tersebut jangan diuruk. Apalagi penambangan air jangan sampai dilegalisasi.

Sosialisasi Pelestarian Air dengan Pendekatan Kebudayaan
Acara Ruang Publik KBR
Screenshot dari kanal youtube Berita KBR
     Narasumber kedua akrab dipanggil Cak Purwanto sebagai perwakilan Yayasan Air Kita di daerah Jombang, Jawa Timur. Yayasan ini bergerak untuk mensosialisasikan manfaat air bersih, khususnya air minum. Mereka punya gerakan akar rumput. Maksudnya, terjun langsung ke masyarakat dan sekolah. 
   Yayasan tersebut sering melakukan panen air. Suatu kegiatan untuk menampung air hujan supaya bisa diminum. Hal itu dilakukan agar air hujan tidak terbuang begitu saja apalagi hanya mengalir sampai ke laut.
     Yayasan Air Kita juga mendampingi para pelajar TK sampai SMA untuk membagi ke dalam beberapa kelompok supaya bisa belajar dan berkesenian. Selain materi belajar secara umum, tambahan materi diberikan berupa pemahaman tentang kelestarian air, baik air tanah maupun air hujan. Kelompok belajar ini diberi nama Kelompok Kesenian Republik Air Indonesia.
     Dengan pendekatan kebudayaan, kelompok tersebut berupaya melakukan sosialisasi pentingnya kelestarian air melalui wayang beber. Dengan begitu kedua pelestarian bisa dilakukan, baik kebudayaan dan lingkungan hidup sehingga berjalan seiringan. Ibarat istilah setali tiga uang. 
    Setiap tahunnya, Yayasan Air Kita selalu mengadakan kegiatan Festival bertajuk Selawatan Air Hujan. Acara ini menjadi kesempatan berbagai elemen masyarakat berkumpul dan menyadari bahwa penting bagi setiap individu untuk memanfaatkan air hujan, memanfaatkan sumber mata air, dan melestarikan seni tradisi. Kegiatan tersebut meliputi diskusi, workshop, pengajian, hingga pertunjukkan seni. 

    Acara yang sungguh menginspirasi dan menyadarkan ku bahwa air memang penting bagi kehidupan. Hemat air harus menjadi pedoman untuk melanjutkan hidup ke depan. Bila kita bisa menjaga kualitas air, niscaya kita bisa membentuk perilaku hidup bersih dan sehat. 

    Di akhir segmen Ruang Publik KBR hari itu, ada beberapa pesan pamungkas yang disampaikan oleh masing-masing narasumber untuk mengatasi bencana kekeringan, yaitu:
1.  Solidaritas air.
2. Pemerintah harus menaati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2005 dan 2013 terkait pembatalan UU Air.
3.  Kembangkan potensi air hujan sebagai air yang berkualitas.
4. Setiap rumah harus punya sumur resapan dan lubang biopori untuk memanen air.      

    Solusi atas kelangkaan air tentu jadi harapan sama bagi setiap manusia. Ancaman bencana kekeringan bisa dihadapi bila ada sinergi antar elemen masyarakat sehingga mudah menarik benang merah atau titik temu terharap krisis air. Semoga lebih banyak lagi orang yang peduli terhadap air untuk kehidupan.


      "Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Kamu juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa lihat di sini"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar