Film
Surat Cinta Untuk Kartini menjadi kisah fiksi yang diadaptasi dari sejarah. Ada
pelepasan diri dari tradisi dan adat istiadat. Ada perjuangan terhadap kelas
sosial. Namun, semua itu dijejali dengan eksekusi yang basa-basi.
Keputusan
kreatif yang dibuat oleh rumah produksi MNC Picture untuk film Surat Cinta
Untuk Kartini menjadi pertanyaan dari awal bagi Blogger Eksis. Apakah mereka akan membawa
pada penceritaan sejarah atau penceritaan fiksi?. Aku coba menjawab bahwa
penceritaan film ini terbawa ke arah fiksi sehingga kemasan terlalu ringan untuk
dicerna.
Penggunaan framing device di film ini berfungsi sebagai setup
yang menggiring perspektif penonton bahwa kisah yang diceritakan adalah
fiktif. Hanya saja apakah tepat guna bila menceritakan sebuah kisah romansa pelik
orang dewasa seperti di film ini kepada siswa taman kanak-kanak?
Seperti
yang Blogger Eksis sudah review dipostingan sebelumnya bahwa film ini memiliki alur mundur kebelakang yang gampang dipahami.
Namun, penonton hanya disuguhkan kilas balik narasi fiktif yang cepat beranjak.
Seperti cerita seorang guru kepada murid-muridnya dengan kisah yang banyak ada
di buku sejarah. Its freak development
story*.
Kisah Sarwadi sendiri merupakan rekaan dan
menempel pada kisah asli R.A. Kartini yang dituturkan melalui sosok sang
pengantar surat tersebut. Sebuah sudut pandang yang cukup menarik namun
plot seharusnya mampu menampilkan sosok Kartini dengan kuat sebagai tokoh
perjuangan pendidikan yang patut kita kenang.
Tidak banyak adegan maupun dialog
yang membuat penonton dapat mengagumi sosok Kartini. Apakah perjuangan sosok
pahlawan di negeri ini hanya seperti ini saja? Seolah tidak ada usaha yang
keras dari Kartini untuk mengubah situasi.
Menurut aku, sosok Kartini sebagai pahlawan
nasional yang memperjuangkan hak perempuan Jawa tidak ditampilkan kuat dalam
film ini. Usaha pembuat film untuk mengangkat kisah pahlawan perempuan ini
patut kita hargai namun Surat Cinta untuk Kartini seharusnya mampu
menggambarkan sosok sang putri untuk bisa kembali diingat dan diteladani
generasi muda masa kini.
Aku harus bilang bahwa ini film sejarah yang
mengejutkan. Aku melihat bagaimana cara mengemas film ini yang biasa saja. Aku kira penonton
akan dibawa ke era dimana R.A Kartini berada. Ternyata tidak seperti yang
dibayangkan tadi.
Di
sepanjang film, Kartini coba digambarkan sebagai penjunjung kesetaraan. “Panggil
aku dengan Kartini saja” begitu pintanya agar lawan bicaranya menanggalkan
atribut kebangsawanan. Tetapi di lain adegan yang berada di luar wilayah
keraton, Kartini duduk di atas ayunan, sedangkan para dayang duduk lesehan
di bawah.
Sebuah
penggambaran kontradiktif dari apa yang digembar-gemborkan. Untuk sebuah film yang menyinggung soal kesetaraan,
film ini terlihat masih pro pria dan masih memandang wanita sebagai makhluk yang
layak diselamatkan.
Banyak tokoh wanita yang hanya berdiri saja untuk
terlihat manis. Kedua adik Kartini bahkan tidak mendapat penggalan dialog yang
berarti. Adik-adik Kartini itu tampil nyaris tanpa dialog sehingga hanya
ikut kesana kemari bak dayang-dayang yang menemani sang putri tanpa ada
penokohan kuat.
Untuk
konteks nyata serasa sangat sulit membayangkan Kartini yang ningrat dengan adat
feodal yang ketat saat itu bisa bertemu dengan mudah bersama orang-orang biasa. Film ini pun seolah begitu cair, Sarwadi bisa masuk ke dalam
kehidupan Kartini tanpa bersusah payah menembus ’birokrasi’ setingkat bupati
yang pada zaman kolonialisme begitu ketat peraturannya.
Semua itu berdasarkan
pola yang sudah diadopsi berbagai film romansa berlatar periodik, yang
mengerucutkan pada suatu pertanyaan, “Bagaimana mungkin dua manusia dengan
strata bertolak belakang sering melakukan pertemuan intens, tanpa memicu
pergunjingan masyarakat di era itu?”. Penentangan yang terjadi hanya ada ditingkatan
secondary characters, lewat tokoh Mujur dan mbok-mbok abdi dalem
yang semuanya berfungsi sebagai comic relief.
Padahal sosok tiga gadis Belanda di awal cerita rasanya bisa
menampilkan konflik lebih menarik namun penonton tidak pernah melihat mereka lagi. Beberapa karakter lain tidak ditampilkan dengan porsi yang cukup
sehingga terlihat sekedar karakter tempelan. Sebagai contoh, karakter Yu (ibu
kandung dari Kartini). Jika karakter ini
ditampilkan lebih kuat dengan adegan dan dialog yang lebih baik, maka pesan dan
kesan seorang ibu yang berpengaruh pada sosok putrinya akan menjadi lebih
bermanfaat. Justru karakter sahabat Wadi, yang bernama Mujur dan diperankan
Ence Bagus memberi sentuhan komedi yang cukup menghidupkan film namun karakter
ini pun hanya terlihat separuh awal.
Film
Surat Cinta Untuk Kartini coba berusaha menggambarkan sisi humanisme Kartini dan
tukang pos yang bisa berinteraksi secara intens. Kartini ditampilkan dalam
penokohan wajah yang lebih membumi di film ini seolah garis feodalisme
ternafikan.
Kepentingan
nilai historis pun tampak berkurang. Penonton hanya bisa apresiasi sampai pada
kesimpulan di depan wanita yang kuat masih ada pria kuat yang mempercayainya. Padahal aku menunggu kisah familiar tentang sosok Kartini yang membela hak-hak kaum
perempuan terutama dalam bidang pendidikan, tapi sepertinya kalah dengan adegan
dimabuk asmara ala Sarwadi.
Sebagai sebuah period piece, visual film
ini direncanakan cukup matang. Banyak benda di luar zona waktu terkini
berseliweran, memperkuat kesan tahun 1903an. Tata artistik pun dibuat asyik
dengan pemandangan indah nan unik. Namun, ada hal yang menganggu saat setting pantai selatan (pantai wisata
Goa Cemara) yang berbukit juga tampak tidak sesuai dengan kondisi geologis
pantai utara sehingga tampak tidak real
untuk lokasi kisahnya.
Tata kamera dari Muhammad Firdaus pun hanya memenuhi fungsi estetika, menangkap landscape dan pemandangan indah saja
demi meningkatkan production value. Memang hal itu berhasil menghadirkan
nuansa romansa. Gambar terang, tajam, dan menarik. Tetapi, kamera Firdaus
gagal dalam menyajikan kedalaman cerita hingga menangkap detail emosi yang
menggugah jiwa.
Overall, Surat Cinta Untuk Kartini gagal
juga memenuhi fungsi edukasi. Dibangun di atas premis menarik, namun berujung
pada eksekusi generik. Dengan pendekatan fiktif, sineas hanya bisa berkilah, toh
semua hanyalah cerita fiksi!.
Sebenarnya,
Blogger Eksis sebagai penonton tidak masalah dengan pendekatan fiksi saja selama durasi
film. Namun, sebuah film dengan pendekatan fiksi mesti menjalankan
fungsi membangun dunia dan logika yang meyakinkan. Seharusnya tetap ada
kedalaman informasi tentang sosok Kartini yang bisa penonton dapatkan.
Karakter
fiksi yang disempilkan hendaknya mampu “mengorek” sebuah gagasan dan pemahaman
baru tentang Kartini yang tidak kita ketahui dari laman mesin pencari Google
dan buku-buku sejarah tanpa menjadi upaya domestikasi karakter yang memiliki
gagasan dan ambisi besar. Jangan hanya terlihat stuck bahwa film ini lantas menyibukkan pada premisnya sendiri dan
berakhir pada sebuah kisah klise pupusnya asmara hingga Surat Cinta Untuk
Kartini memiliki makna begitu sempit.
Kehadiran
konflik hanya bisa kita mengerti seperti menonton drama percintaan. Hal ini
disebabkan terlalu banyak sentuhan genre drama romansa. Ekspetasiku pun mulai
tinggi karena tak ada alasan sinematis yang etis. Kecenderungan untuk melakukan
hal keharusan pun
terlihat diberbagai pengadeganan lain pada film ini. Adegan romantis di pasar
tradisional, adegan mengajar di alam terbuka; semua bagai keharusan.
Jatuh
cinta Sarwadi dibuat mabuk kepayang karena hanya melihat Kartini dari tampilan
fisik semata. Pendekatan diambil dari point
of view pria berlatar rakyat jelata yang jatuh cinta kepada wanita
bangsawan. Polarisasi karakter yang jamak pun tercipta. Sarwadi rakyat jelata,
sedangkan Kartini berdarah biru; Sarwadi hanyalah tukang pos berpengetahuan ala
kadarnya, sedangkan Kartini adalah perempuan dengan cakrawala berpikir yang
pernah mencicipi sebagai kaum terpelajar; Sarwadi, duda tanpa pengharapan masa
depan, lalu Kartini, salah satu bunga harum semerbak yang jadi idaman.
Dialog
yang tercipta antara Sarwadi dan Kartini terlontar lewat pertemuan keduanya,
yang dieksekusi sebagai pendekatan seorang jejaka terhadap gadis pujaannya.
Dialog-dialog pun terjadi secara sepihak karena Sarwadi tidaklah mampu
mengimbangi intelektualitas Kartini. Gagasan Kartini pun lantas hanya lahir
dari retorika semata, tanpa lewat tindakan bahkan gesture yang menginspirasi.
Sepertinya
penulis naskah yang bernama Vera Varidia mencari berbagai informasi trivia tentang
Kartini melalui mesin pencari Google dan kemudian memasukkannya ke dialog dan
adegan. Tanpa kedalaman intrepretasi dialog, semua hanya menjadi serangkaian platitude
yang kurang ciamik.
Sarwadi
lantas seperti hidup dalam ilusi angan-angan. Meski sering diingatkan oleh secondary
characters di film ini agar ia kembali memijak bumi. Sarwadi kukuh dalam
pendirian. Penonton pun diberitahu Kartini terkenal karena ke’aneh’annya, literally
tokoh sahabat Sarwadi bernama Mujur bilang demikian. Namun, kita enggak pernah
benar-benar melihatnya. Penonton tidak cukup diberi bukti seperti apa sih
Kartini yang kuat itu? Penonton hanya diperlihatkan Kartini secara
personal justru saat dia dicap tidak mau membela hal-hal yang sudah diperjuangkan
oleh Sarwadi.
Penonton
diajak melihat Kartini dari sudut pandang Sarwadi. Orangnya cantik, misterius,
rebellious, dan tidak sombong. Film alternate history dengan lihai
memasukkan data historis sebagai penunjang cerita. Shot Kartini sedang
menulis “Habis Gelap Terbitlah Terang” menjelang akhir film cukup
fenomenal.
As for the performances, Rania Putrisari berhasil merefleksikan segala
pesona dan thread Kartini dalam
debutnya ini. Kartini versi Rania punya senyum tiga jari yang bukan
hanya menangkap hati Sarwadi, tapi juga hati para penonton. Secara fisik
mendukung, namun jiwa Rania Putri rasanya belum mampu memerankan seorang
perempuan Jawa yang lembut dan tangguh. Justru Acha Septriasa yang hanya tampil
sebagai cameo di akhir kisahnya banyak
yang memprediksi mampu memerankan sosok Kartini lebih baik.
Rania memang bukan aktris ternama pada umumnya
bahkan ia belum pernah bermain di layar lebar seperti film ini. Ia merupakan aktris pendatang
baru dari hasil seleksi khusus (casting)
untuk mencari karakter kartini yang membutuhkan waktu selama 6 bulan lamanya. Seorang
model asal surabaya yang berparas cantik nan mungil ini berhasil terpilih
karena mungkin keanggunan fisiknya bisa merepresentasi seorang kartini.
Peran utama pria dalam film ini yaitu Sarwadi yang
dimainkan oleh Chicco Jerikho. Sebagai peran utama, karakter ini
punya wide array of emotions karena
terkesan lebih mendominasi dibanding Kartini. Aktor sekelas Chicco
Jerikho memang berhasil bermain didalamnya dan menjadi (pitching point).
Namun, tak mampu
diimbangi dengan aktor berpengalaman seperti Donny Damara yang menjadi bupati
Jepara R.M Adipati Ario Sosroningrat atau ayah dari Kartini. Penampilannya
dalam film ini terkesan kurang berwibawa dan memang kurang pas memerankan seorang
raja.
Penggunaan
bahasa dan logat Jawa pun tidak mampu dilafalkan baik oleh para pemeran. Namun sepertinya
bukan masalah untuk kebanyakan penonton.
Blogger Eksis cukup terkesima dengan peran Ningrum yang dimainkan Christabelle Grace Marbun dengan
akting yang mengejutkan. Selain itu, Ence Bagus juga bermain gurih-gurih
enyoy dengan selera humor konyol yang cukup mencuri perhatian.
Dibalik
itu semua, tema cerita memang dibuat terlalu beragam dengan bumbu-bumbu yang
menjadi satu ramuan. Ada kisah tukang pos dan anaknya yang mencoba mengungkap makna
cinta kasih orang tua. Ada kisah sahabat tukang pos yang berhasil menikah
dengan wanita pujaan. Jadi, esensi dari Kartini itu sendiri tidak tergarap
secara bersinergi.
Mungkin
hal-hal di atas menjadi sebab film Surat Cinta Untuk Kartini tak memiliki suatu
rangkaian adegan utuh. Tak ada unsur sinematografi yang meyakinkan kita untuk
tetap stay mengikuti jalan cerita hingga
akhir. Entah sang sutradara yang masih bingung ingin membawa filmnya kemana
atau memang film ini dibuat sengaja untuk memainkan emosi penonton sesaat saja.
Cerita
pun hanya menjadi sekumpulan keping-keping informasi yang sekadar ditempelkan menjadi
satu fiksi. Film cinta ini pun berakhir dieksekusi seperti itu saja.
*Blogger Eksis
gives 6 gold stars out of 10*
Kritik film ini telah dikumpulkan dari berbagai sumber dan didraft dari tahun kemarin tepat bulan
April 2016. Namun, karena kesibukan penulis baru bisa diselesaikan tahun ini.
mantap gan penjelasan kritiknya ... kunjungi jugga blog saya masyis.com blog Ngapak
BalasHapusTerima kasih atas Blog Walkingnya Blogger Ngapak.
BalasHapusLaman situ juga keren membahas tentang blogger dari berbagai versi. Lanjutkan!