Film “Buya Hamka”
volume 1 sudah dapat disaksikan via platform OTT Netflix. Kisah perjuangan
sosok tokoh Muhammadiyah tersebut yang berdakwah melalui media tulisan sarat
makna religi. Kisahnya dibuat menjadi trilogi film yang tentu dinantikan
kalangan umat muslim.
Suatu kebanggaan, Blogger Eksis sudah menonton dua kali filmnya. Banyak informasi terkait sejarah dan kiprah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau kerap disapa Hamka. Sebagai ulama yang jadi panutan, Ia juga merupakan sastrawan dan jurnalis sejak masa sebelum kemerdekaan. Menonton film Buya Hamka ibarat menambah luas akal dan memperluas pandangan hidup atau wawasan.
Sebagai film
biografi yang diproduksi Falcon Pictures dan Starvision Plus ini, film Buya Hamka mengangkat lika-liku hidup dan karyanya yang dikenang sepanjang masa. Hamka
lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya (Donny Damara)
seorang ulama besar di Sumatera Barat bernama Haji Rasul atau Haji Abdul Karim
Amrullah. Sementara ibunya (Dessy Ratnasari) sering dipanggil Ummi Safiyah.
Di Yogyakarta, Hamka (Vino G. Bastian) remaja mulai bergabung
dengan organisasi Islam yang dikenal dengan sebutan Muhammadiyah di bawah
kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan. Kala itu, Buya Hamka menjadi bagian dari pejuang
yang melawan penjajah dengan caranya sendiri. Ia turut memberi saran dan kritik
kepada Pemerintah yang masih dipimpin Bung Karno (Anjasmara).
Dalam Islam, kebodohan adalah kejam dari segala macam perbudakan.
Hamka mulai menulis sastra koran dan cerita romannya disukai para pembaca. Ia
pun menulis naskah roman bertajuk Di Bawah Lindungan Ka’bah yang menjadi jalan
dakwahnya dengan warna tersendiri pada masanya.
Selanjutnya, Hamka diangkat menjadi pemimpin redaksi majalah
Pedoman Masyarakat. Hamka mulai terbentur dengan pihak Jepang dan dianggap pengkhianat
bangsa. Ia sempat bertemu dengan Gubernur Nakashima (Ferry Salim) sampai
mendapat ancaman. Belum lagi, kehidupan Hamka makin terguncang saat anak
pertamanya yang bernama Hisyam serta ayahnya meninggal dunia.
Pendekatan Hamka pada pihak Jepang dianggap sebagai posisi yang
bahaya bagi bangsa Indonesia. Hamka pun harus mundur dari jabatannya sebagai
pengurus Muhammadiyah. Tapi, Hamka yang selalu didampingi istrinya Siti Raham
(Laudya Cynthia Bella) sadar betul untuk menegakkan jiwa tauhid yang sebenarnya
demi kepentingan bangsa. Jalan dakwah tetap menjadi pilihannya.
Kemerdekaan suatu negara dapat dijamin teguh berdiri apabila berpangkal pada kemerdekaan jiwa.
(Buya Hamka)
Film Buya Hamka yang menceritakan sosok inspiratif ini memang
berupaya mengemas keteladanan sosok ulama besar yang punya kontribusi bagi
bangsa Indonesia dengan caranya sendiri dan sesuai masanya. Edukasi nilai
sejarah yang diangkat dalam film ini seharusnya mampu menciptakan informasi
bagi para penonton seperti diriku yang belum tahu kisah hidup Buya Hamka. Tapi,
periode Hamka dan konsep trilogi film yang dibuat kilas balik atau flashback
justru membuat historiografi dan character development tidak bisa
terikat dengan baik. Ini yang menjadi titik kritis untuk film biografi yang
ingin angkat sisi historis atau nasionalis.
Adegan demi adegan dalam film Buya Hamka tidak begitu intens
diungkap. Penonton pun sulit menaruh simpati untuk paham betul seperti apa
kiprah Buya yang sedang dilakoninya. Dari adegan satu ke adegan lain terasa
jelas melompat sehingga film trilogi ini justru tak disusun secara runut.
Padahal kalau volume 1 diawali dengan kisah masa kecil Hamka, mungkin pembacaan
visual dari kacamata penonton bisa lebih jernih.
Kiranya film biografi akan menampilkan sosok perjuangan yang
penuh gereget. Nyatanya, Hamka hanya ditampilkan sebagai penulis dan jurnalis dalam
adegan mengetik yang terlalu sering. Sementara konflik hanya terasa saat
kedatangan Jepang dan Hamka harus mundur dari jabatannya sebagai ketua umum
Muhammadiyah Sumatera Timur.
Untungnya, latar tempat area Padang Panjang dan Medan tahun
1930-an berhasil ditampilkan dengan indah. Kombinasi color grading dalam
film membawa penonton menelusuri masa-masa perjuangan Buya Hamka. Kondisi
demikian dilengkapi dengan tata kostum dan tata rias yang mendekati zamannya.
Salut juga untuk pemeran utama pria, Vino G. Bastian yang
memerankan Buya Hamka dengan rancak bana! Ia begitu tampil maksimal dengan
karisma khas Buya Hamka yang punya pengaruh besar pada Persyarikatan
Muhammadiyah sampai harus berhadapan dengan masa penjajahan Jepang. Ikhtiar
Vino untuk masuk ke dalam sosok Buya Hamka dengan observasi literatur sepertinya
dieksekusi dengan rutin.
Film dengan genre religi ini juga mengandung nilai dakwah. Bahasa
dakwah tak perlu disampaikan di surau atau masjid. Melalui roman yang memikat
hati justru akan lebih mengena. Sepertinya, hal ini yang ingin disampaikan dalam
film biografi dengan kemasan religi yang berupaya menarik hampir lebih dari dua
juta penonton bioskop pada masa libur lebaran lalu. Banyak kutipan dari Buya
Hamka dalam penggalan kisah melodrama yang membuat pergerakan visualnya bawa
penonton ke masa Buya Hamka hidup. Hal ini menyadari kita bahwa ada sikap dan
jalan dakwah yang telah ditempuh seorang Buya Hamka dalam keadaan sulit atau
masa kemerdekaan sekalipun.
“Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat”
(Buya Hamka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar