Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Film Mariposa Punya Kegemasan yang Berbeda


“Dari semua kisah cinta yang melegenda. 
Pasti ada perjuangan dan pengorbanan didalamnya”
Para pemain film Mariposa

       Kolaborasi Falcon Pictures dan Starvision Plus menghasilkan sebuah karya film bertajuk Mariposa. Film bergenre komedi romantis ini diadaptasi dari cerita Luluk HF yang pernah viral pada platform Wattpad. Pada platform tersebut, cerita ini berhasil dilihat lebih dari 100 juta viewers. Sementara dalam format layar lebar, film ini terus mengejar target 1 juta penonton. Meski penayangannya masih tertunda efek pandemik corona.

         Adhisty Zara dan Angga Yunanda yang pernah terlibat dalam film Dua Garis Biru tahun lalu dipercaya menjadi pemeran utama dalam film Mariposa. Chemistry mereka seperti magnet yang menjadi daya tarik utama bagi Zarangga Family. Hampir sama seperti film sebelumnya bahwa mereka diceritakan memiliki kisah cinta. Hanya saja film Mariposa lebih fokus pada kisah kasih di sekolah.

         Sejak pandangan pertama, Acha dengan nama lengkap Natasha Kay Loovi (Adhisty Zara) yang baru pindah sekolah  tiba-tiba jatuh cinta terhadap Iqbal Guana Freedy (Angga Yunanda). Kedua pelajar SMA Arwana ini memiliki kecerdasan masing-masing. Acha cerdas dalam pelajaran Kimia, sementara Iqbal lebih jago untuk pelajaran Fisika.

         Mereka dipersatukan dalam sebuah tim yang mewakili Olimpiade Sains tingkat nasional. Selain Acha dan Iqbal, hadir sosok Juna (Syakir Daulay)  yang pintar dalam pelajaran Matematika. Juna senang bergabung dalam tim tersebut karena Ia juga menaruh hati terhadap Acha yang cantik, cerdas, dan pantang menyerah.

      Cinta segitiga diantara mereka sempat membuat kekompakan tim ambyar. Ada hal-hal yang mengganggu dan membuat tidak fokus. Peran keluarga juga mempengaruhi persiapan mereka menuju lomba.

         Perjalanan cinta meluluhkan hati Iqbal yang dingin tak semudah membalik telapak tangan. Penolakan mentah atas pendekatan Acha yang berlebihan mulai mengganggu kenyamanan. Ragam cara dilakukan Acha demi mendapat perhatian. Hingga Acha layak disebut sebagai bucin alias budak cinta yang tak mengenal putus asa. Bisikan dari sahabatnya, Manda (Dannia Salsabilla) juga tidak menggentarkan hati Acha untuk terus berjuang.

         Maju mundur cantik memang dilakukan Acha. Ia punya kehalusan tingkat dewa untuk mengejar pujaan hatinya. Pesona paras dan otak yang cemerlang didukung dari keluarga yang tampak bahagia. Ayah Acha (Baim) diceritakan sedang bertugas di Korea Selatan dan ibunya (Ersamayori) diceritakan begitu suka dengan K-Pop.

     Sampai hari ulang tahunnya tiba, Acha yang agresif mulai sadar bahwa Iqbal bagai kupu-kupu yang bisa dikejar, tapi sulit untuk digapai. Iqbal bak MARIPOSA.

Adhisty Zara berperan sebagai Acha dalam Film Mariposa

         Apakah Acha yang hatinya mengalir seperti air bisa menaklukkan hati Iqbal yang mengeras bagai batu?!

     Dalam bahasa Spanyol, Mariposa bermakna kupu-kupu. Fajar Bustomi sebagai sutradara tentu mengajak penonton untuk mengejar kupu-kupu yang lucu. Dari kursi penonton, kita bisa ikut menuju jalan cerita yang kadang membuat tersenyum sendiri melihat setiap adegan yang terjadi.

      Penonton diajak memandang cerita dari sudut pandang Acha. Ada suara hati yang terbang karena Ia berani mengungkap kata dan rasa. Menurut ayahnya, Acha itu kupu-kupu yang tidak bisa langsung menjelma dengan segala keindahannya tanpa menjadi ulat sebelumnya. Seekor ulat berani spekulasi untuk berubah demi cita-citanya. Dengan kesabaran, keyakinan, dan optimisme pada dirinya, ulat berkontemplasi dalam evolusinya. Ulat akan berubah menjadi makhluk menakjubkan yang disebut mariposa. Analogi tersebut ditulis oleh Alim Sudio sebagai penulis naskah. 

       Sutradara dan penulis skenario pun berupaya merajut benang merah mengenai remaja pria yang seolah memberi harapan terhadap seorang wanita yang masih remaja namun terkesan tak punya harga diri alias murahan. Bagaimana caranya seorang gadis harus termehek-mehek supaya perjaka yang dicintainya bisa klepek-klepek. Babak awal sampai pertengahan cerita terasa lamban. Kekuatan karakter hancur secara perlahan

        Kisah cinta diantara mereka terbilang klise dengan formula standar ganda. Rumus cinta segitiga terlihat mutlak. Romansa pasangan Acha dan Iqbal  tak memiliki konflik yang berarti. Terkesan datar alias B aja. Bisa dibilang kurang gereget karena ending hanya menyiratkan premise PURA-PURA BAHAGIA.

        Kisah manis perjuangan bucin yang sudah overdosis ini seolah identik dengan film televisi atau drama korea santapan generasi micin. Sutradara masih membayangi kisah romansa Acha dan Iqbal seperti Milea dan Dilan. Blogger Eksis justru lebih menikmati film Dilan 1991 dengan segala gombalannya dibanding film ini. 

         Bisa dikatakan Mariposa memang tak ditujukan untuk segmentasi penonton dewasa. Hanya anak-anak zaman now yang bisa relate dengan cerita yang selalu berakhir dengan happy ending seperti ini. Ada beberapa sisi yang tidak berani dieksplorasi demi bertahan pada romantisasi.

         “Hei! Mereka sakit apa?” Mimisan yang menimpa Acha dan wajah Iqbal yang pucat saat keletihan tak dikembangkan lebih lanjut. Padahal hal itu bisa dieksplorasi untuk meyakinkan penonton sehingga tetap menaruh simpati terhadap keduanya.

      Entah apa yang merasuki Acha. Tak ada alasan juga yang bisa menjelaskan kalau cintanya terhadap Iqbal begitu tulus. Tingkahnya hanya terlihat giat, genit, dan gigih dalam memperjuangkan cintanya. Kondisi demikian hanya membuat penonton GEMASH.

       Pun Acha terlihat bar bar untuk menaklukkan hati Iqbal yang dingin. Kadar bucin yang terkontaminasi dalam diri Acha seolah tak terkontrol. Apa mungkin ada remaja wanita seusia Acha yang cerdas, tapi rela menjatuhkan harga dirinya pada pria yang menolak cintanya. Rasanya sulit dicari dalam dunia nyata.

      Kecentilan Acha yang punya otak cerdas sulit diterka oleh pikiranku. Ia tampak seperti gadis halu yang cute dan bisa menghancurkan karakter Iqbal dengan alasan cinta itu buta. Padahal semua pergerakan emosi karakternya terasa cacat logika.

      Beruntung ketika semua pemeran bermain dalam porsi yang pas. Meski para figuran saat olimpiade dan pesta sweet seventeen terlihat tampak tempelan semata. Tak ada ketegangan dan keceriaan yang bisa ditampilkan pada adegan tersebut.

         Aku hanya bisa menikmati timing jokes yang mengalir. Saat adegan lucu tentang kue belanda, debat ilmiah di perpustakaan, dan penjaga perpustakaan yang menjadi tim Acha. Adegan-adegan tersebut menjadi hidangan sense of humour dibalik bumbu persahabatan dan keluarga yang kadung diaduk dalam film Mariposa.
         
Mariposa juga unggul pada tone visual yang memanjakan mata karena terlihat aura muda. Warna-warni pastel seperti pink dan biru muda membuat gambar bergerak semakin unyu. Elemen gambar menjadi teduh sehingga mata tak terasa lelah menatap layar lebar selama 1 jam 58 menit.
Selain itu, musik menyelematkan babak akhir karena mampu mendukung suasana. Ada Hivi dengan lagu Tersenyum, untuk Siapa dan Langit Sore dalam lantunan Rumit. Scoring music terasa easy listening.
Sinkronisasi otak dan hati sepertinya memang sulit dilakukan saat menonton film Mariposa. Hanya ada pesan moral yang tersirat supaya kita bisa lebih jujur terhadap hal apa yang kita suka dan apapun yang tidak kita sukai. Film ini hanya bisa dinikmati bagi mereka yang terjebak pada toxic relationship receh.
Review Film Mariposa

Jatuh cinta itu bisa sedetik, 
tapi untuk mendapatkannya butuh ribuan detik!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar