Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Film Ben & Jody, Sahabat Sejati sampai Mati


Ulas-Film

Tak pernah kita pikirkan ujung perjalanan ini

Tak usah kita pikirkan ujung perjalanan ini… .

         Jody sempat menghibur diri di atas sebuah losbak saat Ben berada dalam pangkuannya terlihat sekarat. Entah kisah persahabatan sejati mereka bakal berakhir atau ada kejutan lain untuk sekuel selanjutnya. Blogger Eksis berharap Visinema Pictures akan membuat kisah film Ben & Jody yang lebih bromance untuk film berikutnya.

       TEGANG! Itu yang aku rasakan saat berada di kursi penonton dalam studio bioskop Hollywood XXI ketika menonton film Ben & Jody. Aku dan sahabatku baru sempat nonton film ini hari Rabu, 9 Februari 2022 lalu. Trilogi dari film Filosofi Kopi ini punya cerita dan genre beda dari film-film sebelumnya.

    Benang merah film Ben & Jody diikat dalam konflik agraria. Ben (Chicco Jerikho) menjadi pemimpin aksi demo di suatu kecamatan terpencil untuk membela rakyat jelata yang tanahnya diambil paksa penguasa. Ia menolak relokasi lahan milik warga yang konon bakal diubah jadi perkebunan sawit.

   Ben yang membela kepentingan banyak orang justru dianggap ancaman. Ia diculik setelah berkomunikasi dengan Jody (Rio Dewanto) melalui video call. Sadar ada sesuatu yang tak beres, Jody bergegas ke desa untuk mencari keberadaan Ben.

    Jiwa penyelidikan Jody terusik. Percuma lapor polisi karena Jody tetap tak bisa menemukan Ben secepat mungkin. Jody berupaya menelusuri jejak-jejak yang ditinggalkan Ben melalui ponselnya. Sampai Jody mengikuti kawanan pembalak liar ke dalam rimba.

   Jody ingin menebus Ben dengan harta yang dipunya. Tapi, pimpinan pembalak liar yang dipanggil dengan sebutan Aa Tubir (Yayan Ruhian) merasa punya integritas untuk tetap menawan para rakyat jelata. Mereka yang tertindas juga dipekerjakan secara paksa di rimba tersebut.

     Suatu ketika, timbul pemberontakan. Ada ide untuk keluar sebagai tahanan rimba yang kejam. Ben & Jody harus menghadapi situasi hidup dan mati karena hanya mereka berdua yang masih terbilang muda diantara tahanan lainnya. Kisah persahabatan mereka pun terancam bahaya.

         Sanggupkah Ben & Jody keluar dari rimba itu? 

Mampukah mereka menolong tahanan lain untuk bebas dari kerangkeng Aa Tubir dkk??

    Adegan demi adegan membuatku sesak nafas. Bukan karena menonton pakai masker, tapi visual yang disajikan memang terjadi baku hantam dengan sentuhan personal. Penonton bagai diajak ikut bertarung di rimba yang penuh kegelapan dan kengerian.

      Aksi laga tak hanya sekadar pukul-pukulan saja. Ada adegan kejar mengejar sambil berlari, pakai kendaraan (mobil dan motor), sampai tembak-tembakan yang membangun dramaturgi dengan pekik. Mas Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara paham betul seperti apa formula berkelahi atau muatan action didalam rimba yang harus tersaji dalam bentuk visual audio yang nyata.

      Selain itu, sutradara mampu merumuskan adegan yang memaksa naik turun emosi penonton. Kecemasan tentu bisa dirasakan penonton apalagi Ben & Jody harus kejar-kejaran dalam rimba yang menguras stamina dan mengancam nyawa. Seolah pertarungan itu memberi kesan tinggal bagaimana semesta bekerja untuk menyelamatkan mereka.

    15 menit awal film memang terasa begitu cepat. Jody yang buru-buru mencari Ben sampai bertemu sosok asing dan terjebak dalam rimba belantara rasanya kurang ditarik ulur. Selipan aksi Ben yang mengaku jago meracik kopi juga hanya menjadi tempelan semata. Padahal bila itu dijadikan sebagai siasat cerdik untuk meloloskan diri, maka cerita pada babak awal makin menarik perhatian. Meski demikian, semua tertutupi saat adegan demi adegan aksi terjadi didalam rimba penuh siksa.

   Setelah 1 jam penonton disuguhi aksi Ben & Jody yang coba kabur dari Aa Tubir dan kawan-kawan. Babak berikutnya, petualangan ditambah lagi dengan personil baru yang bernama Rinjani, Tambora, Jago, dan Musang. Mereka hadir sebagai masyarakat adat yang tinggal dalam rimba sekaligus keluarga dari para tahanan yang disekap geng Aa Tubir.

   Ditinjau dari segi cerita, unsur BROMance juga berhasil membuat penonton geregetan sampai akhir. Babak awal, Ben sempat menolong Jody untuk bertahan dari luka tusuk. Sementara Jody berupaya melindungi Ben saat kondisinya kritis akibat luka tembak. Sungguh formula cerita film aksi yang sangat dinanti karena ada gesekan antara perasaan dan logika yang saling terbentur.

   Belum lagi konflik batin yang terus menerus dirasakan Jody saat harus membunuh penjahat yang mengejarnya atau saat dia hampir terbunuh karena sisa nyawanya. Jody konsisten dengan identitasnya. Karakternya terlihat lebih matang dalam berpikir alias dewasa. Jody pun hadir sebagai role of storyline sehingga cerita berhasil dirajut dengan pengembangan karakter dan konflik didalamnya.

Rangkaian cerita makin terasa out of the box tanpa ada embel-embel konflik dalam ruangan. Semua berusaha menyelamatkan diri di dalam rimba demi satu kata, NYAWA. Skenario yang layak diapresiasi untuk film aksi tanpa basa basi.

        Ditambah suara tembakan dan sayatan benda tajam yang menyayat telinga penonton. Nafasku terasa sesak saat peluru-peluru terasa ditembakkan ke bangku penonton. Pukulan demi pukulan juga ditampilkan melalui sorot kamera atau point of view yang mengajak penonton menjadi korban dari penindasan itu. Walau beberapa shot ada yang melesat sehingga terkadang kita berpikir seperti salah sasaran.

       Dibalik itu, pemeranan begitu pas. Tak hanya Chicco Jericho dan Rio Dewanto yang tampil macho alias shirtless dalam film ini. Aghniny Haque sebagai Tambora, Hana Malasan sebagai Rinjani, Reza Hilman sebagai Jago, dan Muzakki Ramadan sebagai Musang tampil sesuai porsinya masing-masing.

Kehebatan mereka dalam melawan setiap musuh patut diacungi jempol. Rinjani tampil dengan kekuatan memanahnya. Tambora hadir sebagai perempuan yang handal bela diri, dan Musang yang apa adanya melawan musuh hanya menggunakan ketapel.

Adegan pamungkas yang paling dinanti tentu aksi Musang. Ia bak pendekar cilik atau Doraemon yang serba bisa. Ia selalu mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami orang dewasa.

Aksi laga menarik lain juga tampak saat adegan baku hantam. Masing-masing bisa memainkan pukulan atau senjata yang dipegang secara apik. Salut buat fight coordinator yang juga bermain dalam film ini, Kang Yayan Ruhian.

Yayan-Ruhian

       Karakter Ben & Jody juga tak tampil bak pahlawan kesiangan. Mereka tetap menunjukkan jati diri masing-masing. Hanya karena utang budi, Jody merasa harus kembali lagi ke camp Aa Tubir untuk melawan. Begitu juga dengan Ben yang sikap bersahabatnya tak pernah luntur karena persahabatan mereka sudah dimulai sejak kecil. Kedua karakter ini meyakinkan penonton bahwa Ben & Jody sudah ditakdirkan sebagai sahabat sejati.

      Blogger Eksis puas menonton film Ben & Jody yang berdurasi 1 jam 54 menit ini. Sepertinya celah kekurangan hanya terjadi dibabak awal saat Ben & Jody coba keluar dari rimba, tone color rada gelap. Entah memang kondisi rimba berkabut atau sengaja tidak diberi efek pencahayaan. Selebihnya, adegan laga begitu berhasil menyiksa penonton seolah ikut dalam setiap petualangan yang tersaji didalam filmnya.

         Buruan ke bioskop untuk nonton film Ben & Jody sebelum turun layar!!

Mungkin semua ada hikmahnya
Untuk mensyukuri apa yang kau miliki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar