Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Menonton Pentas Repertoar “Lakon Tragedi Otak yang Bermigrasi”

 

Pentas-Repertoar

     Saat ini Bentara Budaya tengah rayakan ulang tahun yang menginjak usia ke 42. Umur memang tak terlalu penting sebab kreativitas tidak bisa diukur dengan angka. Hal yang paling penting dan menarik perhatian Blogger Eksis yaitu saat Bentara Budaya pernah memberi ruang bagiku untuk baca puisi. Daya cipta puisi dari seorang temanku mengajak jiwaku yang senang dengan karya sastra untuk usir rasa bosan kala itu. Aku pernah tampil bersama seni karawitan di Bentara Budaya Jakarta. Itu hanya sepenggal kenangan masa lalu sebelum pandemi.

      Aku merasa bahagia saat kembali ke Bentara Budaya. Tapi, kali ini bukan sebagai pelaku seni melainkan hanya menjadi bagian dari penikmat seni. Sebenarnya acara seni yang aku tonton juga bukan di BBJ, tetapi di gedung sebelah yang lebih megah yaitu Menara Kompas. Dari lantai 8 daerah Palmerah, aku nikmati dan maknai ingatan dalam Pameran Seni Rupa bertajuk Komunikasih VS Komunikacau. Pertemuan saat pembukaan pameran tersebut diisi dengan pentas Repertoar “Lakon Tragedi Otak yang Bermigrasi” pada (26/9)

     Garapan visual dari pentas repertoar tersebut suguhkan lintasan jalan seperti trotoar dan jembatan. Setidaknya aku mengerti bahwa representasi artistik ini akan mewakili hiruk pikuk kehidupan di jalan. Permukaan trotoar dilengkapi dengan tiga lampu jalan yang bergelantungan. Sementara tataran jembatan ada penanda seperti besi untuk pegangan. Lalu, pementasan seperti apa yang mereka pertontonkan pada malam itu?!

Paruh awal menonton, aku langsung disuguhkan dengan lalu lalang orang-orang yang tampak sibuk dengan gawai dalam genggaman. Entah apa yang mereka sedang lakukan di tengah deras hujan. Ada yang geret koper, menenteng banyak tas, bawa payung, pakai headphone, lindungi diri dari hujan dengan buku, dan masih banyak aktivitas berlarian kesana kemari layaknya orang-orang yang menghindar air hujan.

Aku putuskan menonton dengan rileks dan cenderung hanyut dalam suasana sebab situasi diluar gedung pada malam itu juga sama. Hujan begitu deras guyur kota Jakarta yang sebentar lagi tak menjadi ibukota. Kebetulan otak aku mulai tergerak untuk dokumentasikan pentas tersebut pakai ponsel daripada aku sibuk memikirkan kenapa hujan harus melanda. Sambil rekam, aku lihat ada dua aktivitas yang ganggu adegan awal repertoar itu seperti orang yang buka laptop dan sosok yang malah sibuk swafoto dengan tongsisnya. Tentu saja teknologi yang dipakai di bawah deras hujan bisa cepat rusak.

Bergantian aku perhatikan kembali gerak-gerik para pelakon. Selama layar multimedia yang menempel pada dinding belakang area panggung masih menurunkan air hujan, berarti selama itu pula aku harus memutar otak alias mengesampingkan logika berpikir. Toh, ini hanya sebatas pentas repertoar bukan pertunjukan realis yang harus mirip dengan kondisi aslinya.

Tiba-tiba layar multimedia berganti dan hujan tampak reda. Video mapping mulai menunjukkan lokasi diluar stasiun Sudirman. Masih dengan sorotan lampu malam, ada sosok wanita (Siti Rukoyah) yang tampak sibuk menelepon seseorang. Disisi lain, ada juga sosok pria (Ari Sumitro) yang serius teleponan juga entah dengan siapa. Dialog mereka bergantian, tapi terkesan beririsan. Untung, aku bisa segera menangkap bahwa mereka ingin memberitahukan satu sama lain sedang berada di suatu persimpangan jalan.

pentas-teater

Setelah adegan itu, keheningan penonton dipecahkan kembali dari alunan musik. Terdengar lagu Telepon Aku yang dipopulerkan Sandy Canester diputar. Aku bertanya-tanya lagi, mengapa bisa memilih lagu itu dan mengapa telepon menjadi otak komunikasi di jalanan malam ini. Para pemain pun kembali masuk ke panggung secara berpasangan; sepasang kekasih sambil berdansa mesra dan sepasang sahabat yang jalan ikuti irama. Sampai ketika, ada orang sombong di jalanan yang tiba-tiba tabrakan satu sama lain dan keributan memicu untuk saling memviralkan. Tindakan semena-mena di jalanan yang digarap sekenanya. Sepertinya ini jadi alasan sutradara untuk membangun tragedi dari awal untuk perkenalkan suasana.

 

Temaram lampu panggung mulai ganti warna jadi biru. Sosok perempuan (Inaya Wahid) tampak duduk diantara persimpangan jalan itu. Rasanya tak perlu ragu lihat kepiawaian akting dari salah satu anak mantan Presiden ini. Andaikan almarhum Gus Dur bisa melihat pasti dia bakal bangga dengan monolog yang dilakukan anaknya.

Inaya-Wahid

Seluruh ingatan kita pindah ke komputer atau gawai tercinta. Otak manusia yang tadinya menjadi bagian dari sistem ingatan dan emosi jadi kosong melompong. Otak manusia justru bermigrasi jadi artefak arkeologi. Ini yang terjadi dalam kehidupan kita dan harus diyakini sebagai bentuk masalah paradoks dan absurd

Babak akhir pada pentas repertoar ini adalah bagian penonton refleksi. Para penonton bisa melihat kembali seperti apa kentongan digunakan jadi alat komunikasi sebelum telepon-an. Kentongan diperlukan untuk alat jaga keamanan atau tanda bahaya sekalipun. Seperti adegan tiga lelaki yang tengah ronda sambil memegang senter; mereka seolah melihat ada hal-hal yang ganggu dalam keheningan malam. Adegan diulang-ulang supaya penonton bisa masuk dan cermat menangkap situasi.

Tanpa aku sadari, secara tidak linear adegan tersebut justru berganti dengan sosok lelaki bersarung yang tertidur di tengah banjir yang melanda suatu kampung. Ada kebebasan dari aktor untuk tidur dalam posisi apa didalam sarung. Perlahan aktor itu dihantui suara-suara dering telepon dan ketukan kentongan, tapi tak digubris sekalipun. Pencahayaan pun black out!

Kanan kiri panggung mulai dihantui para zombie. Aku langsung membuka layar ponsel lagi untuk merekam para pemain yang sudah berubah jadi zombie. Mata mereka terlihat ada lingkaran hitam, kepalanya ada yang terasa berat, beberapa bergerak tak beraturan. Tak disangka, mereka makin mendekati penonton diiringi alunan lagu Zombie dari The Cranberries.

Ketika aku menengok jam tangan, ternyata satu jam lebih lima belas menit aku menonton pentas repertoar ini. Aku nonton dengan rasa puas, untung tak tertidur pulas. Mungkin karena lagu Satu-Satu dari HiVi langsung diputar menutup pementasan. Para pemain kembali tampil satu per satu ke depan. Mereka berpose di tengah panggung saat dipanggil namanya oleh MC pementasan. Tak disangka jalanan berubah seperti runaway or catwalk stage yang mengasyikkan.

Bentara-Budaya

Suka atau tidak terhadap pentas repertoar tersebut, kembali lagi pada selera. Nyatanya, setelah menonton aku jadi meyakini kebenaran bahwa teknologi tidak bisa terus dijadikan pegangan sebab bukan tidak mungkin bisa membuat kita bertingkah “semena-mena”

Pentas repertoar garapan sutradara Putu Fajar Arcana telah berhasil lakukan migrasi terhadap otak ku. Tak ada rasa bosan atau terbebani dengan simbol yang tak bisa dimaknai. Aku sangat merekomendasikan supaya pentas repertoar ini bisa keliling Indonesia untuk ditonton lebih banyak orang lagi. Dengan demikian, kita bisa menilik dan membentengi diri terhadap teknologi.

Aku hanya bisa apresiasi pentas repertoar malam itu dalam otak sendiri. Kabarnya, pentas serupa juga akan digelar di Galeri Indonesia Kaya akhir tahun. Pasti aku tertarik melihat lagi, semoga bisa memberi konsep pertunjukan yang lebih baik lagi. Terima kasih juga kepada Bang Budi Renil yang telah memberi informasi pementasan repertoar ini melalui WhatsApp Group Teater Confeito.

Blogger-Eksis

Teknologi memang canggih dan asyik. Tapi, belum meninggalkan residu pada jejak kemanusiaan kita seperti yang terjadi di jalanan tadi. Kita kehilangan kemanusiaan. Tandanya ini sudah gawat!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar