Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Pentas NGERJAIN PR, Personal Aksi Reaksi yang Terus Mengalir

 (Sebuah Resensi Pertunjukan Monolog – 

Dialog Repetitif Putri Ayudya dan Randhy Prasetya)

Pentas-Monolog
Randhy Prasetya dan Putri Ayudya dalam pentas di Galeri Indonesia Kaya
(dok. Indonesia Kaya)


     Lampu digelapkan. Pintu samping panggung terbuka. Seorang lelaki dan seorang perempuan berpakaian hitam masuk ke ruangan. Mereka seolah baru ingin memulai latihan teater. Ya, ini adalah adegan pembuka pertunjukan monolog dan dialog repetitif di Galeri Indonesia Kaya (3/2). Pentas ini berhasil mendekat pada hal-hal personal untuk seni pertunjukan. Terlebih ketika mereka menjadi diri sendiri di atas panggung. Mereka yang jauh dari pemberitaan media, tapi sudah dikenal menjadi bagian dari seniman kreatif di dalam negeri ini. Pertunjukan punya konsep baru sebab nuansa pemeranan hadir sesuai arahan Sanford Meisner. Apalagi dibawakan duo seniman yang sudah malang melintang dalam industri ekonomi kreatif seperti Putri Ayudya dan Randhy Prasetya.

Putri Ayudya bukan hanya seorang dosen, namun Ia sudah hadir menjadi aktris teater dan film. Banyak genre film yang telah dimainkan dalam industri perfilman nasional, debutnya dimulai dari film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Putri terus bergelut dalam dunia seni peran tak hanya sebatas kebutuhan panggung. Melalui pengajaran dan penelitian pun, Putri menggali unsur-unsur pemeranan secara personal. Dalam pentas pekan ini, Ia mengajak Randhy Prasetya yang menjadi teman diskusi sekaligus kawan yang bikin tertawa. Randhy sudah dikenal publik lewat karya kaos kata-kata yang viral di bawah jenama Yajugaya. Pikirannya rumit, tapi tak mau cara yang berbelit. Makanya mereka selalu korelasikan karya-karya dengan kehidupan nyata.

Kedekatan mereka yang sepertinya sudah lama jadi magnet untuk perbincangan dalam pentas ini. Saling mengenal satu sama lain justru membawa mereka pada kisah baru yang tak bisa dipungkiri. Ada hal-hal yang mungkin saja tak pernah terungkap lewat dokumentasi atau pemberitaan media. Inilah poin dari pentas untuk memperkenalkan sosok masing-masing individu antara yang sudah lalu atau yang mana lebih dulu kenal.

Menonton pertunjukan ini seakan dibawa dalam gedung pertunjukan yang kedap suara dan diarahkan menyimak hal-hal personal diantara mereka yang sudah tak bertemu sejak lama. Mereka hanya berbincang di atas panggung terkait hal-hal yang sudah lama mereka lakukan, kegiatan terkini, sampai project yang ingin mereka garap sebulan ke depan. Semua itu seperti Ngerjain PR meski ujungnya mereka bakal sadar bahwa ada sesuatu yang sebenernya terjadi diantara mereka yaitu cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Artistik panggung ditampilkan sangat minimalis. Hanya ada 3 set kursi dalam berbagai bentuk dan ukuran. Mulai dari kursi panjang, kursi standar, sampai kursi yang posisinya lebih tinggi. Seperti sebuah masa (lalu, kini, dan nanti) set ini menjadi saksi saat mereka harus duduk bareng atau pun berada dalam posisi yang lebih tinggi dalam kehidupan.

Indonesia-Kaya
Set artistik untuk pentas monolog dan dialog repetitif (dokpri)

Menonton pertunjukan menarik ini, kita akan melihat sikap yang saling bertolak belakang. Setiap individu punya “agenda” dalam hidup. Menakar asa dan rasa tentang apa yang terasa dari orang-orang di sekitarnya. Sejatinya, kita memang kadang sulit berpikir jernih bila asumsi tercipta. Apalagi kalau sudah main hati.

Emosi yang keluar dalam pentas ini tak bersifat tendesius semua dimainkan dalam tiga plot penting tentang hal-hal yang sudah berlalu, hal-hal yang terjadi masa kini, dan hal-hal yang akan berlangsung nanti. Dramaturgi untuk pentas kolaborasi ini sudah jelas mau diarahkan ke mana.

Bagian pertama, penulis melihat Putri dan Randhy saling kemukakan opini terkait sosok yang sudah dikenalnya sejak lama. Saat satu tokoh mengenalkan diri temannya tentu tokoh lain dibuat freeze (berdiam diri). Rasa sesal dan jual mahal yang muncul dalam pertemanan tak membuat mereka gengsi untuk saling ungkapkan kekurangan sifat temannya satu sama lain. Meski hanya dilontarkan melalui kata-kata, masa lalu ini berhasil tertata.

Ngapain kita latihan, 

kalau kita disini tidak tahu mau bikin apa?!

        Kalimat tersebut mulai merajut pada konflik yang terjadi antar sosok yang keras kepala. Mereka cari cara seperti apa supaya pertemuan tak terkesan sia-sia. Analogi-analogi yang satu sudah lama fokus ke film dan satu karakter lagi sudah lama tak menyentuh panggung teater menjadi dinamika. Teks pun hidup dalam babak ini dan bertaut pada apa yang telah lepas dari kehidupan tokohnya.

Menjadi penting untuk diperhatikan saat konflik tak terbatas untuk persiapan pementasan atau perkara latihan. Dimana Randhy juga membeberkan kegelisahannya karena pertemuan yang intens dengan Putri hanya akan membawa pada kisah asmara yang baru. Penonton pun harus memaksakan diri untuk bersimpati terhadap harapan dan kekecewaan bila ada hati yang tak bisa dipaksakan.

Pada babak akhir, mereka belum juga mendapat ide pementasan. Adegan menelepon orang yang sama sampai dialog repetitif secara bersamaan terus dilontarkan. Ini sebenarnya menjadi simbol bagian representasi dari latihan teater atau metode belajar akting itu sendiri. Pengadeganan yang menunjukkan aksi reaksi yang bertolak belakang menghasilkan tontonan yang sarat unsur edukasi.

Teater sejatinya adalah mengajarkan kita tentang bagaimana berkehidupan. Melatih aksi reaksi dengan ekspresi dan emosi yang pas sesuai situasi. Sampai akhirnya, mereka sempat temukan satu konklusi cerita pementasan tentang cinta yang klasik tapi ujungnya tak mau dicoba.

Dialog-dialog pun mengalir menjadi fundamental katarsis untuk menyudahi pentas ini. Aksi reaksi, perkataan saling bergantian, atau ucapan yang dilontarkan secara bersamaan jadi usaha mereka untuk bercerita kepada penonton tentang hal-hal personal. Bagi diriku yang berada dalam sirkel teater tentu berasa sekali makna dalam setiap babak pentas ini. Pementasan berhasil meramu kekuatan makna kata dan pesan yang tersirat sehingga tak terelakkan lagi saat masa lalu bertemu justru bisa membuat cerita baru seperti yang telah lalu. Dulu, penikmat seni begitu sulit mencintai pertunjukan teater. Kini, situasi berbalik bahwa banyak konsep pertunjukan dengan sajian segar yang bisa disuguhkan.

Putri-Ayudya
Putri Ayudya kembali bermonolog di panggung teater
(dok. Indonesia Kaya)

   Warna hitam sebagai pilihan pakaian membuat mereka tampil layaknya anak teater sejati. Lagi-lagi warna ini menyesuaikan kebutuhan panggung. Tak perlu tampil nyentrik dengan rambut gondrong atau berantakan. Seniman-seniman ini punya penampilan yang menggemaskan sesuai situasi.




Sayangnya, musik sama sekali tak terdengar padahal kalau dimasukkan bisa menambah konflik batin yang menguasai diri mereka masing-masing. Soundman yang hadir ke atas panggung juga seolah hanya figuran yang ingin menyematkan clip on ke pemainnya. Padahal kalau unsur-unsur tata panggung diajak sampai akhir cerita, mungkin penonton akan lebih merasakan bahwa itu semua terjadi secara natural tanpa terlalu mengada-ada. Apalagi spotlite dari lampu juga kurang dimunculkan sebagai simbol pergerakan karakternya.

Nasib masing-masing tokoh yang terjadi di atas panggung didominasi dialog tek tok saja. Mereka hanya ingin bangkitkan ingatan bahwa seni peran harus dipandang sebagai cara memahami dan merayakan kehidupan. Menceritakan semua yang terjadi di sekitar dari masa lalu, kini, dan nanti. Semoga pertunjukan-pertunjukan seperti ini selalu ada dan sering ditunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar