(Sebuah Resensi Pertunjukan Monolog –
Dialog Repetitif Putri Ayudya dan Randhy Prasetya)
Randhy Prasetya dan Putri Ayudya dalam pentas di Galeri Indonesia Kaya (dok. Indonesia Kaya) |
Putri Ayudya bukan hanya
seorang dosen, namun Ia sudah hadir menjadi aktris teater dan film. Banyak
genre film yang telah dimainkan dalam industri perfilman nasional, debutnya
dimulai dari film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Putri terus bergelut dalam dunia
seni peran tak hanya sebatas kebutuhan panggung. Melalui pengajaran dan penelitian
pun, Putri menggali unsur-unsur pemeranan secara personal. Dalam pentas pekan
ini, Ia mengajak Randhy Prasetya yang menjadi teman diskusi sekaligus kawan
yang bikin tertawa. Randhy sudah dikenal publik lewat karya kaos kata-kata yang
viral di bawah jenama Yajugaya. Pikirannya rumit, tapi tak mau cara yang
berbelit. Makanya mereka selalu korelasikan karya-karya dengan kehidupan nyata.
Kedekatan mereka yang
sepertinya sudah lama jadi magnet untuk perbincangan dalam pentas ini. Saling
mengenal satu sama lain justru membawa mereka pada kisah baru yang tak bisa
dipungkiri. Ada hal-hal yang mungkin saja tak pernah terungkap lewat
dokumentasi atau pemberitaan media. Inilah poin dari pentas untuk
memperkenalkan sosok masing-masing individu antara yang sudah lalu atau yang
mana lebih dulu kenal.
Menonton pertunjukan ini
seakan dibawa dalam gedung pertunjukan yang kedap suara dan diarahkan menyimak
hal-hal personal diantara mereka yang sudah tak bertemu sejak lama. Mereka
hanya berbincang di atas panggung terkait hal-hal yang sudah lama mereka
lakukan, kegiatan terkini, sampai project yang ingin mereka garap sebulan
ke depan. Semua itu seperti Ngerjain PR meski ujungnya mereka bakal sadar bahwa
ada sesuatu yang sebenernya terjadi diantara mereka yaitu cinta yang bertepuk
sebelah tangan.
Artistik panggung
ditampilkan sangat minimalis. Hanya ada 3 set kursi dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Mulai dari kursi panjang, kursi standar, sampai kursi yang posisinya lebih
tinggi. Seperti sebuah masa (lalu, kini, dan nanti) set ini menjadi saksi saat
mereka harus duduk bareng atau pun berada dalam posisi yang lebih tinggi dalam
kehidupan.
![]() |
Set artistik untuk pentas monolog dan dialog repetitif (dokpri) |
Menonton pertunjukan
menarik ini, kita akan melihat sikap yang saling bertolak belakang. Setiap individu
punya “agenda” dalam hidup. Menakar asa dan rasa tentang apa yang terasa dari
orang-orang di sekitarnya. Sejatinya, kita memang kadang sulit berpikir jernih
bila asumsi tercipta. Apalagi kalau sudah main hati.
Emosi yang keluar dalam
pentas ini tak bersifat tendesius semua dimainkan dalam tiga plot penting tentang
hal-hal yang sudah berlalu, hal-hal yang terjadi masa kini, dan hal-hal yang akan
berlangsung nanti. Dramaturgi untuk pentas kolaborasi ini sudah jelas mau
diarahkan ke mana.
Bagian pertama, penulis
melihat Putri dan Randhy saling kemukakan opini terkait sosok yang sudah
dikenalnya sejak lama. Saat satu tokoh mengenalkan diri temannya tentu tokoh
lain dibuat freeze (berdiam diri). Rasa sesal dan jual mahal yang muncul
dalam pertemanan tak membuat mereka gengsi untuk saling ungkapkan kekurangan sifat
temannya satu sama lain. Meski hanya dilontarkan melalui kata-kata, masa lalu
ini berhasil tertata.
“Ngapain kita latihan,
kalau kita disini tidak tahu mau bikin apa?!”
Kalimat
tersebut mulai merajut pada konflik yang terjadi antar sosok yang keras kepala.
Mereka cari cara seperti apa supaya pertemuan tak terkesan sia-sia.
Analogi-analogi yang satu sudah lama fokus ke film dan satu karakter lagi sudah
lama tak menyentuh panggung teater menjadi dinamika. Teks pun hidup dalam babak
ini dan bertaut pada apa yang telah lepas dari kehidupan tokohnya.
Menjadi penting untuk
diperhatikan saat konflik tak terbatas untuk persiapan pementasan atau perkara
latihan. Dimana Randhy juga membeberkan kegelisahannya karena pertemuan yang
intens dengan Putri hanya akan membawa pada kisah asmara yang baru. Penonton
pun harus memaksakan diri untuk bersimpati terhadap harapan dan kekecewaan bila
ada hati yang tak bisa dipaksakan.
Pada babak akhir, mereka
belum juga mendapat ide pementasan. Adegan menelepon orang yang sama sampai dialog
repetitif secara bersamaan terus dilontarkan. Ini sebenarnya menjadi simbol bagian
representasi dari latihan teater atau metode belajar akting itu sendiri.
Pengadeganan yang menunjukkan aksi reaksi yang bertolak belakang menghasilkan
tontonan yang sarat unsur edukasi.
Teater sejatinya adalah
mengajarkan kita tentang bagaimana berkehidupan. Melatih aksi reaksi dengan
ekspresi dan emosi yang pas sesuai situasi. Sampai akhirnya, mereka sempat temukan
satu konklusi cerita pementasan tentang cinta yang klasik tapi ujungnya tak mau
dicoba.
Dialog-dialog pun
mengalir menjadi fundamental katarsis untuk menyudahi pentas ini. Aksi reaksi, perkataan
saling bergantian, atau ucapan yang dilontarkan secara bersamaan jadi usaha
mereka untuk bercerita kepada penonton tentang hal-hal personal. Bagi diriku
yang berada dalam sirkel teater tentu berasa sekali makna dalam setiap babak
pentas ini. Pementasan berhasil meramu kekuatan makna kata dan pesan yang
tersirat sehingga tak terelakkan lagi saat masa lalu bertemu justru bisa
membuat cerita baru seperti yang telah lalu. Dulu, penikmat seni begitu sulit
mencintai pertunjukan teater. Kini, situasi berbalik bahwa banyak konsep
pertunjukan dengan sajian segar yang bisa disuguhkan.
Putri Ayudya kembali bermonolog di panggung teater (dok. Indonesia Kaya) |
Sayangnya, musik sama
sekali tak terdengar padahal kalau dimasukkan bisa menambah konflik batin yang
menguasai diri mereka masing-masing. Soundman yang hadir ke atas
panggung juga seolah hanya figuran yang ingin menyematkan clip on ke
pemainnya. Padahal kalau unsur-unsur tata panggung diajak sampai akhir cerita,
mungkin penonton akan lebih merasakan bahwa itu semua terjadi secara natural
tanpa terlalu mengada-ada. Apalagi spotlite dari lampu juga kurang dimunculkan
sebagai simbol pergerakan karakternya.
Nasib masing-masing tokoh yang terjadi di atas panggung didominasi dialog tek tok saja. Mereka hanya ingin bangkitkan ingatan bahwa seni peran harus dipandang sebagai cara memahami dan merayakan kehidupan. Menceritakan semua yang terjadi di sekitar dari masa lalu, kini, dan nanti. Semoga pertunjukan-pertunjukan seperti ini selalu ada dan sering ditunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar