Film Eksil menjadi dokumenter dari orang-orang Indonesia yang menjadi
korban diskriminasi penguasa tanah air. Tragedi itu sisakan trauma ketakutan
yang berkepanjangan. Ada yang dibungkam karena pihak yang memutar sejarah masih
berkuasa dan siap mengancam.
Kuburan kami berserakan di
mana‐mana
di berbagai negeri, di
berbagai benua.
Kami adalah orang‐orang
Indonesia
yang dicampakkan dari
tanah‐airnya.
Paspor kami dirampas sang
penguasa
tak boleh pulang ke
kampung halaman tercinta.
Penggalan puisi karya almarhum Chalik Hamid yang berjudul Kuburan Kami Ada Dimana-Mana menjadi adegan pembuka film yang disutradarai Lola Amaria. Saat penguasa pada era Orde Baru (OrBa) begitu sesuka hati atau berbuat sewenang-wenang, sungguh hal ini bikin sesak dalam dada.
Blogger Eksis mulai
berpikir “Bagaimana rasanya mereka harus cari cara untuk jalan pulang ke
negara asalnya?” Mereka masih ada, tapi malah dianggap tiada. Ini jadi
bentuk ketidakadilan dari diktator sang penguasa.
Aku termasuk
generasi yang disesaki tontonan film Pengkhianatan G 30S PKI. Propaganda anti
komunisme tentu mengakar kuat sehingga aku kerap benci “pemikiran dari golongan
kiri”. Dari sekolah sampai lingkungan kampus, rasanya doktrin ini terlalu masif
padahal kita cukup mewaspadai setiap apa yang terjadi dalam bentuk penindasan
di negeri ini. Belakangan, aku pun mencari tahu kisah-kisah yang tak pernah
ku baca, ku lihat, dan ku rasakan. Sepertinya bukan paham yang menyesatkan.
Hanya ulah oknum-oknum saja yang kadang terasa berseberangan dengan akal
pikiran. Aku pun kembali mendapat pandangan baru terhadap sejarah bangsa
setelah nonton film dokumenter ini di XXI Plaza Senayan, Rabu (21/2)
![]() |
Blogger Eksis nonton bareng Film Eksil |
Film Eksil
berhasil merangkum momen-momen traumatik dari 10 eksil yang tercampakkan.
Mereka dilabeli orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Seperti yang
kita ketahui, banyak tragedi yang terjadi pada masa itu karena kekerasan
menjadi memori kolektif yang panjang bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Dari sudut
cerita-cerita masa silam diungkap langsung Asahan Aidit,
Chalik Hamid, Djumaini Kartaprawira, Kuslan Budiman, Sardjio
Mintardjo, Sarmadji, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Tom Iljas, dan Waruno
Mahdi. Mereka yang pilu karena tak punya tempat untuk pulang sejak rezim Orde
Baru bertindak kaku. Mereka hanya coba bertahan hidup, tapi mereka yakin hanya
mampu hidup selama hayat dikandung badan.
Para eksil tersebut merupakan laskar muda harapan bangsa yang dapat beasiswa dari Presiden Soekarno ke beberapa negara seperti Albania, Cekoslowakia, Cina, Uni Soviet, dan Romania. Hanya saja, ketika Soeharto berkuasa lahir undang-undang tentang kewarganegaraan. Keputusan penguasa yaitu menolak kepulangan mereka sehingga status warga negara harus pindah ke negara lain seperti Jerman, Belanda, Ceko, dan Swedia. Tentu hal ini menjadi trauma yang diwariskan bagi generasi yang tidak mengalaminya dan pasti harus bergema untuk generasi yang akan memimpin bangsa ini ke depan.
Tutur jujur dari para eksil tersebut sungguh membuatku merasa mujur. Sebab mereka jadi bagian dari jejak-jejak sejarah bangsa Indonesia yang mungkin saja hanya sebatas saksi bisu yang terbungkam. Dari raut muka para eksil tersimpan kerinduan yang begitu besar terhadap kampung halaman. Sempat ada pertanyaan yang terlontar “Maukah para eksil kembali menjadi warga negara Indonesia?”
Durasi film 119 menit pun berhasil memancarkan aura kekhawatiran dari wajah-wajah eksil yang bawa pesan bahwa penguasa diktator bisa muncul kembali di negeri tercinta ini. Sebab pengalaman mereka saat ditelantarkan tentu berimbas pada luka batin yang tak kasat mata. Ada yang rela istrinya dinikahi oleh teman sendiri di kampung halaman. Ada yang ditolak bertemu keluarga karena sama-sama diliputi hawa ketakutan. Ada juga yang trauma sehingga sulit jalin hubungan. Sampai pertanyaan agak lain muncul “Bapak, mau nikah lagi atau nggak?”
Aku salut pada momen wawancara yang terasa sangat hati-hati sekali untuk menjaga perasaan batin. Ada beberapa pertanyaan Lola yang ditanya dengan tutur lembut. “Seperti apa perasaan pisah dengan keluarga?” serta banyak pertanyaan lain yang mungkin kalau aku ada dalam posisi mereka untuk jawab tentu sulit ungkap dengan kata-kata.
Momen favoritku dalam dokumenter ini yaitu saat mendiang Chalik Hamid yang menjadi tukang masak sengaja menanam bambu dan pohon pisang di negaranya. Hal tersebut sebagai obat rindu bagi Indonesia yang kaya karena punya buah pisang yang bisa dimakan, baik daun dan jantungnya.
Iya, kehidupan mereka yang terbungkam harus tetap berjalan. Rumahnya ada yang masih dipenuhi buku-buku tentang Indonesia. Ada juga yang terus santap berita perkembangan tanah air terkini. Masing-masing individu punya gaya hidup tersendiri untuk menulis atau mengarsipkan Indonesia dalam bentuk daya kritis meski harus bersikap lapang dada.
Wajah negeri Indonesia yang kejam juga ditampakkan dalam visual dokumenter ini. Seperti apa rezim militer berkuasa 32 tahun lamanya. Sampai raut bopeng wajah Indonesia yang merampas hak dasar para eksil sehingga harus lepas kewarganegaraan dengan terpaksa.
Penggalan para eksil yang terasing sejak rezim militeristis orde baru mencabut paspornya makin mengenaskan. Selain ada eksil yang bercerita tentang perceraian dengan keluarga. Ada juga yang pilu karena tak sempat memikul keranda orangtuanya yang sudah meninggal di Indonesia. Dari mimik mereka bercerita, ini adalah pengalaman kisah nyata tanpa bumbu dramatisir yang penuh reka. Intonasi menyiratkan kesedihan yang muncul dari lubuk hati terdalam.
Ragam footage makin kaya setelah para Eksil pernah memutuskan pulang kampung untuk menengok daerah kelahirannya. Ada yang ke Belitung, Jakarta, dan Sumatera Utara. Perpindahan footage dari kota satu ke kota lain sempat membuatku bingung tapi latar waktu memang sengaja dibuat beda. Sampai akhirnya, film dokumenter ini mengusung konsep sudut pandang bak kakek yang bercerita ke cucunya.
Data, fakta, grafis, dan animasi telah disunting Shalahuddin Siregar untuk optimalkan elemen visual dan audio dalam bentuk narasi penceritaan yang dinamis. Pesan tersampaikan dari suara hati lirih para eksil yang pernah menjalani hidupnya. Sungguh pilu memang lihat sejarah kelam bangsa Indonesia masa lampau. Tapi, kehilangan status kewarganegaraan dan nasib buruk yang menyebabkan kondisi mereka berantakan harus diceritakan lintas generasi. Hal ini dilakukan supaya tak ada lagi oknum yang memutar sejarah.
Masa muda hingga masa tua yang terasing dipinggirkan membuat para eksil tetap merasa lahir di Indonesia, tapi tidak merasa punya tanah air. Mereka sudah tak punya kuasa untuk menentang rezim Orde Baru. Mereka hanya butuh keadilan dari para pemimpin negeri yang mungkin saja ada yang mau memberi perlindungan. Akhirnya, mereka menyerah setelah ajal menjemput tanpa mereka pernah merasakan para penguasa itu bisa diadili atas kejahatan-kejahatan yang pernah diperbuat.
Hanya saja, aku rasa ada yang janggal dari kekuatan bukti yang
ditampilkan. Mungkin film dokumenter ini tak memasukkan dokumentasi atau arsip
keberangkatan para eksil dulu. Bisa juga foto-foto saat mereka mengenyam
pendidikan di luar negeri. Lebih bagus bila ada seremoni atau upacara pengiriman
delegasi yang mungkin dulu juga dilakukan bisa terlampir sebagai penguat
visual. Sepertinya hanya ada bukti ijazah dari pendidikan yang mereka pernah
tempuh atau paspor keberangkatan ke luar negeri.
Meski dosa-dosa kejahatan yang dilakukan rezim Orde Baru masih membayangi kita. Jeritan suara hati dari para eksil justru terus-terusan menyesakkan dada. Aku doakan buat para eksil yang sudah mendahului kita dan bersedia mengeluarkan keluh kesah atas apa yang menimpanya bisa dilapangkan kuburnya. Sementara bagi para eksil yang masih hidup semoga senantiasa diberi sehat sentosa.
Berharap keadilan di depan rakyat tetap harus berdiri tegak.
Film Eksil sudah diapresiasi menjadi film dokumenter panjang terbaik versi
Festival Film Indonesia dan Festival Film Dokumenter Jogja tahun 2023. Jangan
ada lagi kobran yang trauma berat akan masa lalu bangsa yang kelam. Rakyat
harus bangkit melawan atas semua penindasan karena maju tak gentar membela yang
benar.
Sejarah tak perlu ditulis siapa yang kalah atau menang. Mereka yang terbungkam harus punya kesempatan untuk mengungkapkan. Indonesia harus menjadi tempat berlindung di hari tua, siapapun mereka yang lahir dan tutup mata di negara ini. Tak boleh ada diskriminasi dan intimidasi sebab siapapun yang lahir di Indonesia punya hak untuk habiskan usia senja di tanah kelahirannya.
Sebagai manusia sebenarnya mungkin ga perlu dijauhkan ke LN seperti itu ya, mungkin dibina apakah cukup? Ah entahlah
BalasHapusMereka ke luar negeri dapat beasiswa pendidikan pas zaman presiden Ir. Soekarno, tapi tak boleh kembali pulang ke tanah air setelah berganti penguasa di Indonesia.
HapusBaca ulasannya aja udah nyesek banget. Kalau nonton filmnya pasti bakal mewek. Sedih banget pasti nggak bisa pulang ke kampung halaman sendiri ðŸ˜
BalasHapusNah, itu dia. Menahan rindu itu berat, apalagi pada masanya.
HapusEh serius film seperti ini bisa tayang yah? Saya jadi khawatir sama sutradaranya, takutnya jadi incaran oknum yang merasa dirugikan atas film ini.
BalasHapusMasih aman sih. Mba Lola Amaria bahkan hadir saat pemutaran. Aku justru mendukung supaya film-film seperti ini bisa disebarkan lintas generasi biar buka wawasan.
Hapusmenarik ini film dokumenternya, mengungkap sejarah bangsa yang jrang di ketaui orang
BalasHapusYup, betul. Ada banyak kesaksian dari mereka yang pernah terpinggirkan..
HapusBerarti ini filmnya menceritakan tentang sisi lain yang jarang diketahui oleh banyak orang yaa terkait orde baru. Barangkali pada saat itu ini adalah hal-hal minor atau memang karena saking tertutupnya informasi jadi orang kebanyak tidak mengetahui, tapi ini menarik untuk diceritakan sekarang.
BalasHapusAda memang ada oknum yang sengaja menutup-nutupi sejarah yang pernah terjadi di bangsa ini.
HapusGak nyangka film ini bisa tayang di bioskop. Menarik juga dokumenternya, kabarnya sebagian dari mereka ada yang sempat buka restoran masakan indonesia di luar negeri ya? Saya lupa siapa, dulu pernah baca.
BalasHapusIya, betul. Ada yang jadi koki juga karena mereka rindu makanan dari bangsa yang kaya rempah dan khasiatnya. Seperti buah pisang yang dirindukan.
HapusAhh...di bioskop kotaku ga ada film ini. Sepertinya peminatnya kurang dibanding film-film viral. Sayang bangettt gak nonton.
BalasHapusPemutarannya memang terbatas karena masih dianggap sebagai film yang mengkritik masa Pemerintahan kala itu.
Hapusagak kaget jujurly film dengan based on dokumenter dan ngangkat isu sensistif bisa ada layar di bioskop.. semoga siapapun itu semua bisa hidup dengan lebih baik ke depannya. dan generasi muda bisa membangun Indonesia menjadi negara maju di masa depan.
BalasHapusAmin. Semoga para penerus bangsa bisa membawa perubahan Indonesia ke arah yang lebih adil dan makmur.
HapusJujur penasaran banget sama film ini. Tapi kayaknya belum ada di Kotaku. Aku jadi inget novel pulang karya Leila S Chudori yang menceritakan tentang eksil juga.
BalasHapusIya. Novelnya belum sempat aku baca juga..
HapusBaru tahu tentang film dokumenter ini. Ada banyak sisi Sejarah terungkap yang belum banyak diketahui orang. Eh Ini tayang di semua bioskop?
BalasHapusSepertinya hanya di bioskop tertentu saja. Soalnya ada komunitas yang mengadakan pemutaran juga, tapi sempat dibubarkan aparat.
HapusIni film yang lg dibahas di-x. Beberapa kali aku ketemu tweet yang ngereview film ini. Dan sekarang ketemu di sini. Jadi makin penasaran. Semoga makin banyak film-film yang mengangkat cerita sejarah negeri ini
BalasHapusIya, betul. Biar sudut pandang sejarah bisa didapat dari saksi-saksi yang pernah hidup di zamannya..
HapusKalo gak salah film ini gak tayang lama gitu deh di mana gitu daku lupa. Apa karena bahasannya atau kurangnya penonton
BalasHapusKarena topik yang diangkat begitu sensitif dan pandangannya sesuai realita.
HapusMasih tayang nggak kak di bioskop. Menarik sih, terlebih mengangkat fakta dan sejarah
BalasHapusKalo di Jakarta masih tayang di XXI Plaza Senayan ya.
HapusSejujurnya, bisakah kita menilai sejarah hanya dengan "Siapa yang salah dan siapa yang benar?"
BalasHapusKarena pastinya, masing-masing memiliki sudut pandangnya masing-masing. Dan melalui film Eksil, ada banyak jeritan hati WNI yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena rezim orba.
Nah, itu dia. Kita harus memahami sejarah dari berbagai sudut pandang. Itulah yang membuatku putuskan nonton film Eksil.
HapusAku udah liat treaser nya dan penasaaran bangeeet. Apalagi memang topik panas banget ini, sayangnya di purwokerto belum ada nobarnya.
BalasHapusSemoga ada komunitas yang mau mengadakan pemutaran eksklusif ya. Bisa hubungi mba Lola Amaria selaku sutradaranya.
Hapusjadi kepo filmnya, jujur ada juga keluarga yang kena fitnah PKI terus harus pisah sama ayahnya, sampai gak tau lagi kabarnya.
BalasHapusSerius, kak? Ditunggu cerita selanjutnya ya..
Hapus