“Aku mending
hidup seperti Bapak tidak berada dalam golongan manapun sehingga tidak perlu
menyakiti siapapun”, ujar Ihsan kepada Ibunya. Saat kisah cinta Ihsan sebagai pemuda NU harus bersentuhan dengan sejarah PKI. Mungkinkah ada kata 'damai' yang disepakati?!
Diantara film horor dan komedi, drama romantis yang dibalut sejarah tragis kembali mewarnai layar bioskop Indonesia. Film Kupu-Kupu Kertas sudah bisa disaksikan mulai tanggal 7 Februari 2024. Blogger Eksis pun sudah nonton saat hari pertama penayangannya di Cinema XXI Blok M Square.
Film Kupu-Kupu
Kertas bercerita tentang gejolak cinta yang terjadi dari pemuda Nahdlatul Ulama
(NU) bernama Ihsan (Chicco Kurniawan) dan gadis dari kalangan Partai Komunis
Indonesia (PKI) bernama Ning (Amanda Manopo). Benih cinta yang tumbuh diantara
pasangan muda mudi ini terhalang ideologi yang dianut masing-masing keluarga. Dibalik
romansa ada hal yang bertentangan.
Disisi
lain gejolak pertikaian NU melawan PKI di Banyuwangi makin memanas. Kedua kubu
saling mempertahankan kekuasaan masing-masing. Tak hanya konflik verbal,
namun kontak fisik juga terjadi hingga pemuda Anshor yang bernama Rasyid (Samo
Rafael) harus dikorbankan.
Dalam
kegentingan konflik, muncul pasukan Gagak Hitam yang juga mengobrak-abrik
keadaan desa untuk ambil alih kuasa. Keadaan yang terus mendesak, memaksa Ihsan
dan Ning berjuang demi cinta. Lalu, apakah asmara mereka bisa dipersatukan pada
akhirnya? Mungkinkan pihak yang bertikai bisa berdamai?!
Inilah Cinta dan Air Mata. Film Kupu-Kupu Kertas yang disutradarai Emil Heradi sungguh berani memasukkan unsur cinta dan dibenturkan dalam ketimpangan sosial sekaligus tragedi politik 1965. Ideologi PKI dan NU yang terbentuk dalam tatanan masyarakat pada masanya menimbulkan pertentangan dan mustahil ada yang mau mengalah. Adaptasi film dengan kisah nyata yang terjadi tentu bakal memberi asumsi baru “Apa benar anak perempuan dari kalangan PKI ada yang masih hidup sampai kini?” “Mungkinkah para penyintas 65 masih bisa hidup tenang atau justru masih alami diskriminasi?”
Dari judul “Kupu-Kupu Kertas” saja rasanya tak ada yang bisa digali. Adegan bersama kupu-kupu ataupun untaian lagu sepertinya tidak ada sama sekali. Aku belum bisa menangkap makna dari “Kupu-Kupu Kertas” ini. Bila harus memilih, sepertinya film-film unsur PKI lain justru terlihat lebih meyakinkan contoh Film Pemberontakan G30S/PKI, Sang Penari, atau Surat dari Praha.
Kupu-Kupu Kertas pun tampak sebagai film sejarah yang harusnya punya masalah krusial malah terlihat bersalah. Tiap romansa yang ditampilkan justru tak mampu menumpahkan rasa diantara karakter yang jatuh cinta. Memang ada penghalang diantara mereka, tapi pertemuannya selalu saja terkesan disengaja. Terutama adegan malam di gubuk yang lebih tinggi. Saat pertikaian terjadi, Ning dan Ihsan malah ketiduran di tempat itu.
Akting Amanda Manopo sebagai Ning pun berupaya meyakinkan pada babak awal. Tapi, tampil kedodoran jelang babak akhir. Beberapa adegan menangis tak bisa dijiwai sepenuh hati. Sebagai aktris yang punya paras cantik, tata rias pun terlihat berlebihan bahkan saat akhir cerita yang seharusnya Ning terlihat sedih malah riasan memberi tafsir lain. Penonton akan lebih bersimpati saat melihat Amanda Manopo akting dalam sinetron Ikatan Cinta dibanding film ini.
Sayangnya durasi
113 menit tak bisa bingkai visual yang memanjakan mata. Entah penata kamera malas
bergeser dari tempatnya atau stok shot yang sedikit. Belum lagi ada flare
atau pantulan cahaya yang tampak di kamera saat adegan Ihsan diintimidasi
ketika mengantar Ning pulang sampai ke rumahnya. Disengaja atau tidak, itu
tetap saja mengganggu. Visual latar Langit-Langit Surga dan Halaman yang Damai
pun tak ada yang istimewa. Ini patut disayangkan karena penata kamera kurang
cermat menangkap momen-momen sekitar dan gerak-gerik tokoh secara detail.
Kalau ada yang
bilang film Kupu-Kupu Kertas sadis, bahasa visualnya memang terlihat ‘main aman’.
Walau dibekali rating 17+ adegan pembunuhan yang divisualkan tergolong biasa
dan beberapa justru hanya disorot dari kejauhan saja. Sensasi menonton untuk
adegan laga pun tampak gerakan berkelahi yang terlalu dibuat-buat. Mungkin para pemain tak mendapat pelatihan beladiri (fighting workshop) sebelum
syuting.
Hal yang memikat dalam film Kupu-Kupu Kertas sepertinya
hanya latar tempat misal sungai dengan aliran darah atau pemukiman
penduduk yang mendekati masa tahun 65. Unsur sejarah kelam penuh darah justru ternodai akibat kisah cinta yang harus hadir seketika itu juga. Dengan
kata lain, film tidak terlalu menarik untuk ekspos adegan yang berdarah-darah
ataupun kisah cinta yang konon bisa membasahi mata.
Asumsi penulis setelah menonton justru bertanya-tanya “Siapa
sebenarnya pasukan Gagak Hitam?” “Siapa pula anak perempuan PKI yang masih
hidup sampai sekarang?” Kedua pertanyaan tersebut masih mengawang di kepala dan
pada akhirnya siapa yang kalah dari konflik 65 ini cenderung subjektif.
Semua hanya menjadi debu yang tersisa.
Konteks ketimpangan sosial pada masanya kurang
direpresentasikan dengan asyik. Film pun terlalu sengaja menyiratkan ambiguitas
atas perasaan cinta yang seolah mereka tak bisa dipisahkan sehingga tinggalkan
logika. Bila kalian semata-mata hendak mencari genre lain dibanding horor dan
komedi, mungkin Kupu-Kupu Kertas bisa segara ditonton sebelum turun layar. Meski
kisah cinta terkesan dipaksakan setidaknya film memuat unsur sejarah Indonesia tahun
65 yang tak akan pernah terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar