Anies
Baswedan saat menjabat jadi Gubernur DKI Jakarta termasuk sosok pemimpin yang
paling menjunjung tinggi toleransi. Dalam hal toleransi dan kerukunan, Abah
Anies pernah berkata bahwa negara harus lakukan komunikasi dan dialog dengan
semua unsur masyarakat yang ada. Sebagai bagian dari penduduk Jakarta sejak
kecil, aku merasa bahagia karena rekam jejak Abah Anies telah menerbitkan banyak
surat izin pembangunan tempat ibadah yang merata di Jakarta ketika Ia menjadi
pemimpinnya.
Dari sinilah aku sadar bahwa toleransi harus dijaga tak hanya sebatas budaya dan sejarah saja. Stigma negatif terkait agama, ras, dan etnis tertentu harus punya ruang bebas untuk dialog terbuka. Sebab setiap warga negara punya hak kebebasan berpendapat karena negara tak mengatur pikiran atau perasaan seseorang, tapi negara hadir mengatur tindakan agar saling mengenal satu sama lain lebih baik.
Inisiatif ini yang memunculkan Festival Kebhinekaan
terselenggara pada pertengahan bulan Februari 2024. Suatu acara yang
menghapuskan diskriminasi terhadap kelompok tertentu karena siapapun yang
mendaftarkan diri bisa bebas datang. Rangkaian kegiatan pun terbilang kreatif
mulai dari pemutaran film, sesi diskusi, sampai wisata religi. Interaksi lintas
agama dan lintas budaya terwujud sehingga toleransi tetap terjaga. Kebebasan
berpendapat harus dibiarkan hidup agar tak ada yang tutup mata.
Dari rangkaian acara “Festival Kebhinekaan”
tahun ini, aku menghadiri pemutaran dua film dokumenter yang bertajuk Puan
Hayati dan Simalakama di Tanah Istimewa. Setelah menonton, ada interaksi dan
diskusi yang berlangsung seru karena menghadirkan narasumber yang terlibat dalam
proses produksi masing-masing film. Berikut ulasanku terkait filmnya.
- Film
dokumenter “Puan Hayati”
Film dokumenter yang disutradarai Noor Huda Ismail menceritakan
awal mula penganut agama Sapta Darma berkembang sampai sekarang. Dalam film,
ditampilkan sosok Dwi Setyani Utami yang aktif sebagai Perempuan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Hyang Maha Esa. Prosesi atau ritual agama seperti
sujud dan berdoa terekam jelas dalam film tersebut. Film dokumenter ini juga
mewawancarai Nata Hening Graita Prameswari, seorang mahasiswi yang tergabung dalam
paham agama itu karena sudah mendapat dukungan keluarga. Meski sempat jadi
korban intoleran, Nata aktif dalam kegiatan masyarakat tempat tinggal. Sampai
status agamanya tertera jelas pada e-KTP yang dipunya. Ini yang menjadi visual
paling menarik perhatian.
Selain Nata, film juga melakukan wawancara dengan Syamsul Alam Agus sebagai Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela
Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Menurutnya “negara harus hadir memberi
perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat maupun advokasi pada agama-agama
yang dianut leluhur supaya negara mengakui kebhinekaan tunggal ika”
Diskriminasi terhadap keyakinan beragama ini memang tampak pelik. Kekurangan terhadap film dokumenter Puan Hayati tak mampu menjelaskan seperti apa awal mula agama Sapta Darma bisa hadir di Indonesia. Penonton masih sulit menerka peran dari narasumber-narasumber yang juga diminta pandangan terhadap agama tersebut. Seharusnya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan Nata bisa masuk dalam visual sehingga memperkuat argumen yang dikemukakan.
- Film
dokumenter Simalakama di Tanah Istimewa
Film dokumenter kedua diproduksi WatchDoc
Documentary mengisahkan perjuangan etnis Tionghoa di Jogja yang sulit punya hak
milik tanah. Mereka selalu terlihat sebagai minoritas yang jauh atau nyaris tak
dianggap dampak anomali sosial politik yang terjadi atas instruksi kepala
daerah sejak tahun 1975. Adapun deretan narasumber yang merepresentasi pandangan
dari etnis Tionghoa sebut saja Harry Setio (pemilik Paguyuban Budi Abadi), almarhum
Willie Sebastian (aktivis Tionghoa yang tinggal di Jogja), Andry Lesmono
Bintoro (sekretaris Forum Peduli Tanah DIY), dan Elin Sugianti (Pengusaha
sekaligus Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia). Ada juga opini dari
para pakar seperti Samsul Maarif (akademisi UGM) dan Suwito (Kepala BPN Jogja)
Dalam
film disampaikan bahwa untuk dapat sertifikat tanah, mereka selalu terbentur
larangan yang menyebutkan warga dari Asia dan Eropa termasuk Tionghoa tidak
boleh memiliki tanah di Jogja. Dimana penolakan harus terjadi saat si ‘kulit
putih’ dan ‘mata sipit’ mengurus sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN)
regional Jogja.
Namun,
kalau kita lihat pada kenyataan di Jogja justru sudah ada kelenteng dan kawasan
pecinan (Kampung Ketandan) yang menjadi tempat beraktivitas Tionghoa disana. Bila
ditelusuri sejarah masa lalu, Tan Jing Sing juga pernah menjabat sebagai bupati
Yogyakarta keturunan Tionghoa. Lalu, apakah para penguasa sadar akan jejak masa
lalu atau hanya terpaku pada instruksi kepala daerah yang berlaku?!
Seolah
tak cukup nonton melalui tayangan audio visual, aku pun mengikuti sesi diskusi bersama Muhamad Sridipo selaku produser film dokumenter ini. Dari diskusi,
aku bisa merasa ada guncangan politik yang terjadi di Jogja sehingga kondisi
sosial ekonomi menimbulkan masalah penguasaan tanah yang menyimpang. Abdikasi,
keuangan, dan pertanahan menjadi isu berkelanjutan yang diperjuangkan melalui
pesan film dokumenter ini.
Demi
mendapat hak atas tanah, teman-teman Tionghoa tetap bertahan hidup melalui aktivitas
kesenian seperti atraksi Barongsai atau berwira usaha guna dukung ekonomi kreatif
berkembang. Adapun mereka tetap berjuang agar dialektika ruang antar warga
negara dan aturan bisa hidup meski dibatasi aturan. Mereka tetap punya hak
bicara dan dapat perlakukan yang sama sebagai warga negara lainnya.
Kekurangan
film dokumenter ini terletak pada suara narator seperti pembaca berita. Intonasi
suara narator terdengar meyakinkan bahwa dokumenter ini seperti menitikberatkan kliping. Padahal kalau narator bisa punya nada bercerita bukan baca berita, mungkin
dokumenter bisa menyuarakan lebih berani etnis Tionghoa yang berjuang demi
hak atas tanah dan terhapus diskriminasi terhadap etnis yang tidak bersalah.
Dari kedua film dokumenter tersebut, aku coba
berpikir positif tentang agama tertentu yang masih jadi minoritas. Dengan memahami
stereotipe yang berkembang di masyarakat, maka keharmonisan bisa digaungkan lebih
luas. Festival Kebhinekaan mengingatkanku pada toleransi terhadap keberagaman
yang sejatinya sudah lama mengakar di Indonesia.
Apalagi semboyan negara kita yaitu Bhineka
Tunggal Ika. Filosofinya menjamin kebebasan beragama dan
meredam konflik antar pemeluk agama. Kondisi ini sejatinya bisa mewujudkan
kesetaraan sehingga perbedaan terhadap suku, ras, maupun golongan agama di
Indonesia bukan lagi penghalang dalam berkomunikasi untuk menjadi satu bangsa.
Selain pemutaran film, Festival Kebhinekaan
juga mengadakan tur berbayar atau wisata religi untuk jelajah
tempat-tempat ibadah dari berbagai agama. Pengenalan ini tak hanya sebatas
menelusuri jejak sejarah yang pernah tercipta di Jakarta, tetapi juga menambah
pengetahuan bagi peserta. Interaksi dan dialog lintas agama pun bisa tercipta
sehingga sikap saling menghormati satu sama lain makin erat terjaga.
Antusiasme
penonton yang memenuhi Perpustakaan daerah Kotamadya Jakarta Pusat Sabtu lalu membuat
Festival Kebhinekaan selalu diminati tiap tahunnya. Semoga saja festival serupa bisa diadakan
di daerah-daerah lain. Dengan begitu, kerukunan antar bangsa bisa dikawal bersama. Indonesia terancam terpecah belah bila generasi muda tak mampu junjung
tinggi markah toleransi dalam lingkungannya.
Generasi tangguh masa depan harus menjunjung tinggi perbedaan sehingga mampu tampil lebih kritis, terbuka, dan simpati dalam konteks kebangsaan. Perkuat kolaborasi bersama para pemangku kepentingan untuk wujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Satu kesamaan narasi yang dibawa dalam festival tahun ini yaitu Anjangsana Kebhinekaan. Siapa saja diharap bisa ambil peran sebagai aktor perdamaian yang punya sikap saling menghargai perbedaan ke depan. Menjadikan Indonesia yang damai bisa dimulai dari langkah berani menghormati perbedaan yang dihadapi kita saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar