Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Ulas Pertunjukan Monolog “Ular, di Meja Revolusi”

 

Perjuangan Revolusi Tan Malaka terhadap Para Pesohor

pentas-monolog
Aktor Joind Bayuwinanda sebagai Tan Malaka

Revolusi adalah kerangka tubuh yang tidak utuh. Revolusi tidak memerlukan apapun, kecuali kebencian. Serupa Pemerintah kolonial mengusir saya,” ujar Tan Malaka.

Sebagai penampil, Joind Bayuwinanda menjerumuskan akal sehat penonton dalam imaji ketika Tan Malaka berjuang melawan penjajahan Belanda dengan caranya sendiri sampai merumuskan Republik Indonesia yang berjaya hingga kini.

Pertunjukan monolog Ular, di Meja Revolusi karya Ahda Imran disajikan 6 hari berturut-turut di BlackBox Wahyoedin Noersan, Grogol, Jakarta Barat pada pukul 20:00 WIB. Blogger Eksis sudah menonton pentas ini pada hari ketiga, tepat tanggal 6 Februari 2024 lalu. Tampak dari bangku penonton, ada teman-teman dari Titimangsa, Salindia Teater, dan beberapa sutradara ternama.

Sebagai pembuka pertunjukan, Bang Joind selalu punya cara untuk memperkenalkan diri sebagai Tan Malaka dengan versi yang berbeda. Karakter Tan Malaka seolah sudah masuk dalam dirinya sebelum Ia dikelilingi penonton. Meski minim interaksi, secara tidak langsung Tan Malaka yang dihayati oleh Joind Bayuwinanda berhasil cerita lebih dekat tentang peran dari seorang pemikir dan revolusioner yang pengaruhnya masih terasa sampai saat ini. Ia bagai ular berbisa yang memainkan peran sentral dalam revolusi di atas meja perjuangan.

Aku memang tidak pernah mengikuti kisah sejarah Tan Malaka. Bahkan, sepertinya nama pahlawan nasional ini sudah terlupa dalam buku catatan pelajaran di sekolah. Untuk nonton pertunjukan kali ini pun, aku tidak berekspektasi apa-apa. Aku hanya hadir sebagai penonton yang rela melihat aksi Tan Malaka dari sebuah pentas monolog dan akhirnya aku tahu bahwa kisah hidupnya dari penjara ke penjara karena punya pandangan politik yang beda pada masa perjuangan dulu.

Bagiku, pentas monolog ini cukup menarik karena dari cerita yang masuk ke dalam tubuh aktornya saja membuatku ingin kenal lebih dalam tentang sosok Tan Malaka. Kegelisahan diupayakan hadir di atas panggung kecil untuk laku gigih dan berani Tan Malaka yang melawan penjajah serta hadapi banyak rintangan. Dalam bayangan kepalaku, harusnya aktor bisa lebih banyak melakukan gerakan untuk membangun gimik supaya penonton bisa turut merasakan keresahannya.

Untungnya, kisah Tan Malaka mampu dikenang sebagai “Bapak Republik Indonesia” karena sebagai bagian dari pemuda yang penuh gejolak emosi, Ia tak mau lagi mendengar para pesohor. Ia hanya ingin melakukan politik diplomasi dengan Belanda. Sebab diplomasi itu menempatkan republik dengan cara yang berdaulat dibanding perang. Lagi-lagi diplomasi perlu dilakukan agar seluruh dunia Internasional mengecam Belanda.

Sebetulnya, aku tidak paham siapa saja pemuda-pemuda yang sepemikiran dengan Tan Malaka, tapi hal yang bisa jadi pijakan yaitu semangat perlawanan rakyat yang ada dalam dirinya. Ia terus saja melakukan seruan-seruan ketidaksepahaman untuk melaksanakan diplomasi dengan penjajah. Bagaimanapun, Ia menekankan penting persatuan dan kesatuan dalam mencapai kemerdekaan.

Disisi lain, kontribusi Tan Malaka ternyata tidak main-main. Aku mendengar jelas dalam pentas monolog tersebut bahwa Ia bersama para pemuda juga menghimpun 141 organisasi perjuangan, beragam partai dan golongan, laskar rakyat, dan tentara republik dalam Persatuan Perjuangan nama organisasinya. Seluruhnya bermufakat bahwa pokok penting perundingan dengan Belanda patut dilakukan setelah kemerdekaan diberikan 100%. Pemerintah harus menjalankan revolusi ini sesuai dengan kemauan rakyat lewat partai dan golongan yang duduk di Komite Nasional.

Berkali-kali Bang Joind coba menceritakan peran Tan Malaka. Tapi, memang tak ada narasi yang menyebut bahwa Tan Malaka juga menjadi pendiri atau anggota aktif Partai Komunis Indonesia (PKI). Mungkin karena Ia sudah keluar dari PKI pada 1921 atau memang istilah “PKI” ini masih terlihat menakutkan untuk diungkap lagi kepada penonton.

ulas-pertunjukan

Seperti halnya saat Belanda dalam mengurus pendidikan di Indonesia dahulu. Prinsip mereka ialah “Anak-anak pribumi harus tetap menjadi kacung atau pesuruh di pabrik perkebunan milik kaum-kaum borjuis kapitalis”. Kewajiban seperti ini membuat mereka tumbuh jadi penakut bahkan untuk berpikir sekalipun. Mendidik anak-anak pribumi untuk berdiri di atas kakinya sendiri kelak dianggap suatu kejahatan bahkan sebagai penghasut.

Aku juga melihat pentas monolog ini beberapa kali menyebut ‘romusha’ dan ada layar multimedia yang ditembakkan menembus dinding seolah aktor melihat ke dalam masa penjajahan yang pernah dilaluinya dulu. Konsep ini juga membentuk perhatian penonton untuk ikut lihat mesin waktu sehingga hubungan emosional yang dibentuk dalam semangat perjuangan Tan Malaka bisa terasa betul menembus sukma bagi generasi selanjutnya meski tak pernah hidup pada masanya.

Apa yang aku lihat dalam multimedia itu ialah perjuangan masa kemerdekaan dan kebangkitan Indonesia yang tiada henti untuk menuntaskan garis kemiskinan dan ketimpangan. Lagi-lagi multimedia jadi efektif memberi representasi sudut pandang dari rangkaian video yang diputar pada proyektor menyala. Mungkin saja yang agak membuat bingung yaitu saat multimedia diulang saat tengah dan akhir entah sebagai transisi penanda waktu atau memang buat memberi impresi penekanan adegan setelah itu.

Kata ‘dikejar’ dan ‘diburu’ juga masuk dalam kalimat yang ditekankan dalam intonasi yang mudah diingat. Maka, aku sadar bahwa Tan Malaka seolah diusir dan dibungkam dari tanah airnya sendiri terutama ketika Ia mendirikan sekolah sosialis di Bandung dan Semarang yang ingin berdikari. Bagi Pemerintah kolonial itu dianggap kejahatan yang membahayakan.

“Pengejaran demi pengejaran membuat saya harus dicurigai siapapun. Saya sudah terlalu lama hidup dalam situasi dimana beda tipis antara perbedaan seorang kawan dengan seorang pengkhianat. Lalu, para pemuda itu saling mewaspadai atau mencurigai seorang asing yang bernama Ilyas Husein sebagai penyamaran.”

Joind-Bayuwinanda

Kemudian kalimat-kalimat yang dilontarkan dalam monolog ini mudah sekali dicerna sehingga penonton bisa merasakan seperti benar-benar Tan Malaka hidup kembali dengan pemikiran tajam. Aku juga baru paham kalau Tan Malaka punya banyak nama samaran untuk menyebarkan prinsip pengetahuannya yang selalu berproses dan tidak ada ujungnya.  Sepasang mataku diajak bernostalgia untuk melihat tekad dibalik kuat perlawanan dan pesan penting bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tidaklah mudah. Butuh satu kata kunci “PERSATUAN INDONESIA

 

Saya mencium udara revolusi yang begitu harum. Udara yang akan menyongsong kematian dengan harga diri,” kata Tan Malaka dalam akhir perjuangan revolusi.


34 komentar:

  1. Keren ya, pentas yang menghadirkan cerita seperti ini mungkin penikmatnya memang kalangan tertentu. Tapi jika aktornya bisa menghadirkan tokoh yang diceritakan dengan baik tentunya penonton bisa terbawa pada alur ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju! Aktor yang baik memang harus bisa menjiwai karakter dan menerjemahkan ceritanya ke atas panggung.

      Hapus
  2. Tan Malaka. Sosok pejuang yang terlupakan di negeri ini, beruntung Om Blogger Eksis nonton dan menuliskannya, makasih ya.Sebagai jembatan, untuk lebih mengeksplor seni peran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, Mas Topik. Tak hanya mau kenal lebih dekat dengan Tan Malaka. Mau belajar monolog juga soalnya.

      Hapus
  3. sajian monolog yang semakin jarang ditemukan. perlu upaya bersama untuk saling menyebarkan ya. Tulisannya ini menginspirasi, apalagi untuk remaja masa kini, perlu tahu akan hal ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Pentas monolog harusnya lebih sering digiatkan bukan hanya sekadar pembacaan puisi saja untuk kegiatan seni kini.

      Hapus
  4. Saya merinding lo bacanya, keren banget berarti Bang Joind memerankan Tan Malaka. Belum pernah saya melihat monolog seperti ini, karena belum ada kesempatan untuk menontonnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Bang Joind sudah memerankan beberapa kali jadi Tan Malaka. Makanya terlihat menjiwai sekali.

      Hapus
  5. Wow ini pentas monolog? Keren bangeeet. Salut aku sama seniman yang sukses membius penonton di pentas monolog gini. Pemilihan kalimatnya, ekspresinya, bahasa tubuhnya, semua bersatu membuat penonton larut dalam pertunjukan. Btw, gara-gara artikel ini aku jadi gugling dong tentang Tan Malaka lalu makin kagum jadinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gara-gara nonton monolog ini juga aku auto browsing siapa Tan Malaka sebenarnya

      Hapus
  6. Dengan representasi Monolog yang penuh penjiwaan terhadap tokoh Tan Malaka, sangat mungkin akan menjadi cara baru untuk belajar sejarah dengan lebih menarik dan akan sangat diminati. ( Untuk nama Tan Malaka, cukup familiar, tapi tentang bagaimana perjuangan beliau, sejujurnya saya pun harus membaca-baca kembali buku sejarah)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, itu dia. Belajar sejarah lebih asyik saat dikemas dalam bentuk pertunjukan seperti monolog Tan Malaka.

      Hapus
  7. dari ulasannya, Joind Bayuwinanda ini berhasil dong ya berhasil dong ya menghipnotis penonton dengan lakon monolognya sebagai Tan Malaka. Keren sih ya, bisa menjiwai dan masuk ke karakter yang ingin ditampilkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Sepertinya proses latihan atau masuk ke karakternya begitu panjang. Istrinya sempat bilang kalau Joind Bayuwinanda riset dahulu sebelum ambil peran sebagai Tan Malaka.

      Hapus
  8. Salut dengan kesuksesan Joind Bayuwinanda membawakan karakter dalam monolognya sebagai Tan Malaka. Review ini juga tak kalah menariknya, setiap diksinya luar biasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mas Yonal sudah berkunjung. Sukses juga untuk dirimu.

      Hapus
  9. Belum lama ini daku melihat di fyp ada konten tentang Tan Malaka, semisal dia yang memimpin negeri ini. Eh gak menyangka baca artikel ini ternyata ada tentang monolog-nya. Semoga banyak seniman lainnya yang mengangkat kisah sosok keren negeri ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin. Semoga makin banyak seniman yang berkarya dari kisah-kisah heroik para pejuang dahulu kala ya.

      Hapus
  10. Tan Malaka memang sosok legenda dalam perpolitikan Indonesia. Buah pikirnya banyak menjadi rujukan tokoh-tokoh di Indonesia. mudah-mudahan nilai-nilai perjuangan masih bisa diwariskan kepada generasi muda saat ini. Lewat kegiatan monolog ini semoga menumbuhkan semangat itu. Kalau tidak salah ada ulasan tentang Tan Malaka di museum Multatuli dekat daerahku. Saat ini Tan Malaka sudah tidak ada mudah-mudahan perjuangannya masih mengalir pada generasi muda bangsa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi pengen belajar sejarah sosok legendaris ini ke Museum Multatuli deh.

      Hapus
  11. Belum pernah menonton pertunjukan monolog atau pertunjukan teater. Sepertinya seru ya nonton pertunjukan monolog. Apalagi jika pemainnya bisa membawakan perannya dengan apik. Seperti di peran Tan Malaka ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesekali nonton deh. Biar merasakan langsung seperti apa bentuk karya seni yang bisa dilihat, didengar, dan dirasakan dari bangku penonton.

      Hapus
  12. Sosok yang sangat pantas dijuluki 'Bapak Republik Indonesia'.
    Semoga ada masa, jejak keterlibatannya di salah satu partai yang terhitung beberapa kali berseberangan dengan nilai Pancasila, terkubur dan lebih mengedepankan jejak pemikirannya yang inspiratif, serta memantik untuk lebih cinta tanah air.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul. Meski dicap sebagai golongan kiri, tapi jejak pemikirannya ternyata ada juga yang bisa diilhami untuk generasi terkini.

      Hapus
  13. Asli keren banget sama Pola Pikir Tan Malaka yang memilih diplomasi dibanding perang melawan penjajah. Tidak heran mendapat julukan sebagai Bapak Republik Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, itu dia. Agak laen memang pola pikirnya untuk masa perjuangan dulu.

      Hapus
  14. Tan Malaka merupakan sosok pengajar, filsuf, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Semoga akan ada lagi Tan Malaka lainnya di Indonesia yang dapat menginspirasi anak muda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga anak muda bisa punya pemikiran seperti Tan Malaka ya. Biar bisa mencerdaskan kehidupan bangsa.

      Hapus
  15. Seru sekali membayangkan saat menonton pertunjukan ini. Saya pribadi kurang menyukai pelajaran sejarah saat sekolah, karena terlalu banyak nama, tanggal dan peristiwa yang harus dihafalkan. Tapi lain cerita jika mendengarkan kisah seperti ini. Akan jauh lebih menyenangkan menyimaknya karena ada penekanan, emosi dan konteks yang lebih dapat digambarkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama nih. Sebagai bagian dari anak IPS, aku juga lebih suka belajar sejarah dari hal seperti ini dibanding harus hafalan.

      Hapus
  16. His motto, "Hidup atau Mati" (Life or Death), encapsulated his unwavering dedication to the cause of Indonesian independence. This motto reflected Tan Malaka's belief that the struggle for freedom and justice was so paramount that individuals should be willing to risk their lives for the greater good of the nation. Throughout his life, Tan Malaka remained a fervent advocate for the rights of the oppressed and marginalized, leaving a lasting impact on Indonesia's political landscape.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Agree! Tan Malaka's thoughts and movements must be able to inspire today's youth.

      Hapus
  17. Menikmati langsung monolog tentang Tan Malaka tentu lebih bisa merasakan bagaimana sosok ini sebenarnya. Bisa merasakan juga keseruan dan emosi yang disampaikan oleh setiap tokoh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tepat sekali. Meski raganya sudah terkubur, semangatnya bisa dirasakan terus menyala setelah lihat langsung monolog ini.

      Hapus