Kesuksesan film drama roman Magic Hour (2015)
dan London Love Story (2016) yang selalu berada dalam posisi
jajaran film Indonesia terlaris tampaknya mendorong Screenplay Films untuk
meningkatkan production value di film selanjutnya, ILY from 38.000
ft (I Love You from 38.000 Feet). Meski masih mengusung cerita cinta
dengan target penonton remaja, film yang dibintangi pemeran utama yang masih
sama dengan dua film sebelumnya ini menawarkan beberapa konflik dewasa ala
Screenplay yang selalu ditayangkan versi film televisinya (FTV).
Singkat cerita, ILY from 38.000 ft mengisahkan pertemuan
Aletta (Michelle Ziudith) dan Arga (Rizky Nazar) di atas pesawat dari Jakarta
menuju Bali yang berujung pada perkenalan unik karena ada sosok remaja alay
(Lionil Hendrik) yang mengganggu Aletta sebelum lepas landas pesawat. Sampai di
Bali, Aletta yang sedang menunggu taksi secara kebetulan bertemu dengan
Arga yang menawarkan untuk naik mobil menuju tujuannya secara bersamaan. Hingga
akhirnya, belum sempat mengucapkan kata ‘terima kasih', Aletta menemui Arga
di kantornya dan menawarkan diri untuk menjadi host program jelajah alam yang sedang diproduksi Arga.
Kisah asmara dimulai saat mereka menjalani
syuting di tempat-tempat eksotis di Indonesia. Ini yang membuat Blogger Eksis takjub dan langsung membuat starting
expectation bahwa film akan menampilkan begitu banyak adegan travelling penuh romansa. Aku pun
langsung tertarik untuk mengikuti adegan demi adegan selanjutnya.
Jajaran pemain yang
mengisi film ini memang sudah pas. Popularitas pemeran utama yang sudah ternama
sebagai pasangan kekasih dalam dunia nyata mampu menarik perhatian jutaan mata
penonton Indonesia. Menurut aku, Michelle Ziudith dan Rizky Nazar tidak akan
pernah terlihat perkembangan aktingnya, jika mereka hanya bisa berdialog tanpa
berakting karakter. Karier mereka sebagai selebritis akan terlihat flat seperti
itu saja.
Penghayatan karakter yang diperankan setiap tokoh
justru coba didalami oleh Tanta Ginting (sebagai Jonah) yang antagonis. Ada
Derby Romeo (sebagai Rimba) yang juga berusaha mencari perhatian Aletta, dan
Ricky Cuaca (sebagai Bugi) yang selalu menghadirkan tawa dan mencairkan suasana bioskop
dengan hal tak terduga. Walau mereka hanya terlihat pembentukan karakter yang sedikit
saja tidak terlalu kuat untuk konteks sebuah penokohan film layar lebar. Selain
itu, tersisa beberapa figuran crew
yang seharusnya terlibat saat adegan syuting di hutan hanya terlihat
berkeliaran di tenda bukan saat pengambilan gambar.
Untuk masuk ke ranah layar lebar, film ini coba
berusaha tampil beda dengan syuting di lokasi alam terbuka hingga penggunaan special
effects demi
menguatkan cerita. Produksi film arahan Asep Kusdinar ini memilih Taman Nasional Baluran, di Bali dan hutan di Lumajang, Jawa Timur. Namun,
visualisasi eksotisme alam dan pemandangan cantik yang ditawarkan gagal
dieksekusi karena kualitas gambar hanya menjadi bagian dari transisi. Padahal tata kamera sudah mencoba mengambil dengan angle
yang berbeda.
Special effects juga coba diset
oleh tim produksi saat adegan kecelakaan pesawat terbang yang mengalami
gangguan karena cuaca buruk. Tapi, tak didukung dengan pencahayaan
yang kurang sinematis dan make up effect saat kecelakaan (bekas luka) masih standar layaknya sinetron di Indosiar. Semua unsur artistik pun hanya tampak unggul di awal
melalui point of view yang menjadi point of interest. Tak mampu dipertahankan sampai akhir film.
Selebihnya, aku hanya bisa mengikuti quote-quote BaPer yang tercipta pada
dialog, meski semua terkesan FTV bangeettt!.
Tata kamera juga coba menampilkan change focus camera technique di awal
cerita. Beberapa diantaranya justru hadir merusak visual karena seharusnya
penggunaan tehnik kamera itu memiliki motivasi gambar atau alasan yang kuat
untuk ditampilkan bukan untuk ditonjolkan. Efeknya, visual pun tak sejernih
atau sebagus film-film Screenplay sebelumnya. Mungkin saja penggunaan kamera
drone dengan kualitas berbeda juga mengganggu keindahan gambar yang ditangkap
lensa. Kamera gagal!
Kabar yang didapat penulis dari berbagai netizen,
film ini memang terinspirasi dari sebuah pesan bertuliskan 'I love you from
38.000 ft' yang diunggah ke media sosial oleh Khairunnisa, pramugari yang menjadi
salah satu korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 di tahun 2014 silam.
Namun, tim Screenplay menyatakan bahwa cerita film ini seutuhnya baru dan tidak
berkaitan dengan kejadian nyata tersebut. Ini yang membuat aku sebagai penyuka
film Indonesia based on true story
kehilangan selera.
Apalagi unsur penceritaan ILY from 38.000 Ft
tidak memperhatikan logika cerita. Banyak adegan yang terkesan kebetulan,
muncul tiba-tiba. Plotnya pun menjadi biasa dan dialog terlontar basi
untuk didengarkan. Penonton dibawa pada suatu titik perpisahan pasangan yang
seharusnya sementara menjadi berkepanjangan tanpa kejelasan. Dilengkapi efek time lapse yang menyiksa aku sebagai
penonton pada akhirnya.
ILY from 38.000 ft memang tayang di bioskop saat moment yang tepat pada libur lebaran dan berhasil tembus jutaan pasang mata yang always booking full seat in the theater. Dan akhirnya, aku memang gak suka sama endingnya. Kenapa mereka harus hidup bahagia dan semua kisah cinta terlihat kebetulan semata?!?.
Overall, ekspetasi
tertinggi Blogger Eksis terhadap film itu adalah sebuah cerita. Jika cerita kuat, film
akan bagus. Begitu juga sebaliknya. Teknis juga penting, tapi bukan segalanya.
I Love You from 38.000 Ft sudah memiliki modal untuk bercerita hanya saja
terpaku pada segmentasi yang ada. Film ini juga sudah berusaha memperkuat
teknis sinematografi yang berbeda, namun gagal pada eksekusi unsur kreatif yang
seharusnya bisa banyak tercipta. Setidaknya ILY from 38.000 Ft telah menjadi
film hiburan pada momen lebaran di Indonesia.