Delapan
tahun terakhir perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) selalu menempatkan film
Indonesia terbaik yang punya kualitas mumpuni. Termasuk Jatuh Cinta Seperti di
Film-Film (JeSeDeF) yang menurutku layak bersanding dengan deret peraih Piala
Citra sebelumnya. Apalagi 3 dari nominasi film terbaik tahun ini juga belum
rilis resmi ke publik. Untungnya JeSedeF punya color grading ‘hitam
putih’ yang mampu memikat hati dewan juri FFI 2024. Sama seperti judulnya,
Blogger Eksis pun makin jatuh cinta mendalam terhadap sinema perfilman
nasional.
Keunggulan Jatuh Cinta Seperti di Film-Film tak hanya sebatas color grading yang memanjakan mata. Skenario asli yang ditulis langsung dari tangan sutradara, Yandy Laurens punya storyline yang rapi. Sutradara milenial ini berani menawarkan konsep meta, ada cerita tentang film didalam film. Premis segar didukung eksplorasi musik syahdu mampu bangkitkan imajinasi para pemeran sehingga masing-masing masuk ke dalam karakter secara emosional.
Meski tema film masih angkat romansa, tapi karya Yandy kali ini luar biasa. Mungkin saja dia sudah terbiasa dengan project-project sebelumnya seperti series dan mampu bedah cerita untuk beri sentuhan personal bagi siapa saja yang menikmati tiap karyanya. Dialog cinta yang ada dalam film ini begitu dekat bagi mereka yang pernah terjun ke industri film itu sendiri. Bumbu romantic pun jadi matang tanpa harus menampilkan adegan romansa yang berlebihan.
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film bercerita
tentang kisah cinta sosok penulis naskah film yang ingin dapat gadis pujaan
dengan cara diam-diam menuliskan kisah cintanya ke dalam skrip film. Bagus
Rahmat (Ringgo Agus Rahman) seolah ingin buat surat cinta melalui film dan
berharap Hana (Nirina Zubir) kelak menyukainya saat film tersebut sudah
diperkenalkan publik melalui gala premiere. Singkatnya, Bagus ingin buat
film untuk orang yang paling disayang saat itu. Tapi, akan selalu ada kejadian
yang mengubah suatu ekspektasi romansa di kepalanya.
Situasi awal pertemuan manis mereka berada di sebuah supermarket saat berbelanja. Dari situ, Bagus mulai curhat sedang dapat tekanan kerja saat menulis film. Apalagi Ia diminta untuk nulis cerita orisinal bukan kisah adaptasi seperti biasa. Hana yang pernah menonton karya film yang ditulis Bagus mulai bersimpati, meski Hana nonton via link bajakan seperti situs lebah ganteng.
Sosok Hana ditampilkan sebagai teman SMA Bagus
yang baru saja menjanda. Ia masih menyimpan duka yang sangat dalam akibat
kepergian suaminya 4 bulan lalu. Ia sulit beranjak untuk jatuh cinta lagi
karena baginya hubungan butuh penyesuaian, kompromi, penerimaan terhadap
konflik, dan masih banyak hal-hal lain. Hana coba bermain-main dengan perasaan
duka yang akhirnya menyamar sebagai cinta.
“Cinta yang manis-manis itu cuma miliknya
anak muda. Karena seumuran kita begini sudah tak masuk akal kalau jatuh cinta
seperti di film-film” (HANA)
Film JeSeDeF sepertinya tergolong film
Indonesia yang punya dana produksi murah sebab seper-empat adegan hanya ngobrol
saja. Bagi beberapa penonton tentu akan terasa membosankan, tapi menurutku rasa
jenuh itu terhempas dengan alur cerita yang mudah dipahami dan tak mudah
ditebak sama sekali. Durasi film hampir 2 jam pun berhasil memberi impresi film romantis tanpa harus mengandalkan bahasa puitis biar tetap manis.
Bila ada yang bilang ini bagian dari romance
comedy, bagiku tidak. Genre drama romantis lebih kental dibanding unsur
komedinya. Dialog yang apa adanya dan penjabaran karakter utama yang ingin
menata hidupnya kembali, berusaha melupakan duka, dan membuka hati untuk cinta
yang baru justru lebih seru.
Ada 8 sequence yang dibuat dalam skrip
film yang ditulis Bagus. Lapisan cerita ini terlihat diungkap dengan cara tutur visual dan dialog yang kritis. Penempatan adegan romansa antara
keduanya juga konsisten dijaga agar film hitam putih tetap hidup dan punya
nyawa dari akting para pemeran yang berkelas.
Tiap informasi penting tersaji dengan
kronologis sehingga penegasan 8 sequence bisa dipahami penonton awam
sekalipun. Sequence 1 (Situasi awal dan Kejadian yang Mengubahnya), Sequence
2 (Menetapkan Tujuan), Sequence 3 (Munculnya Hambatan), Sequence 4
(Klimaks pertama – Titik tengah), Sequence 5 (Sub Plot - Cheline Dion –
Julie: harus berkontribusi), Sequence 6 (Titik Terendah), Sequence
7 (Kebangkitan), dan Sequence 8 (Resolusi). Penulis skenario paham betul
seperti apa untuk mengalihkan fokus penonton agar tetap terbawa suasana dalam
filmnya. Tanpa gimik, semua terasa
penting dalam film ini dan tersaji mengisi kisah satu sama lain untuk dukung pengembangan
karakter dari dua tokoh utama, Hana dan Bagus.
Korelasi Hana dan Bagus dapat repetition
scene. Ada adegan syuting didalam proses syuting saat Julie Estelle harus
memerankan diri sebagai Hana dan Dion Wiyoko dapat peran sebagai Bagus.
Terselip juga beberapa kritik yang kerap terjadi dalam industri film nasional sehingga
menempatkan film ini mengalir lancar didukung penyutingan gambar yang solid.
Ibaratnya, sutradara punya misi tersendiri
buat surat cinta terhadap sinema berdasar POV melalui film. Selipan intrik
proses syuting film ke dalam cerita membawa celetuk dan easter egg yang
cukup menyentil industri film itu sendiri. Mulai dari mindset produser
yang hanya mengejar cuan, sutradara baru yang sering kabur-kaburan dari lokasi
syuting, sampai kebiasaan penonton Indonesia yang selalu melontarkan puja puji
saat diundang ke gala premiere suatu film. Intrik ini bisa diterima
langsung penonton untuk lihat seperti apa dibalik layar produksi suatu film
yang asyik.
Balada sinema Indonesia paling menggelitik yaitu saat terselip pertanyaan “kalau filmnya hitam putih siapa yang mau nonton?!” Ini sebagai bentuk pemantik sekaligus renungan bahwa film hitam putih belum dapat tempat atau ruang dari penonton Indonesia. Sehebat apapun sinematografi yang ditampilkan untuk memanjakan mata, keputusan membuat film hitam putih masih dianggap sok edgy saja. Konsep monochrome akan memberi kesan lawan arus mainstream, terutama saat angkat kisah romansa seperti film Indonesia pada umumnya.
Padahal warna hitam putih akan keren saat cerita juga bisa bertutur secara estetis dan paham konsep monokrom yang dibawa. JeSeDef berhasil menerjemahkan bahasa visual tersebut. Tapi, film yang tayang akhir tahun lalu di bioskop ini hanya mampu raih sekitar 600 ribu penonton saja.
Deretan pemeran minimalis sudah
menghiasi frame JeSeDeF dengan manis. Sungguh layak bila pemeran utama
dan pendukung dalam film Jatuh Cinta seperti di Film-Film bawa pulang Piala Citra
tahun ini. Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir memang sudah tak diragukan lagi chemistrynya.
Mereka sudah pernah terlibat dalam Film Get Married dan Keluarga Cemara
sebagai pasangan suami istri.
Aku begitu jatuh cinta dengan karakter Hana
dalam film JeSeDeF ini karena Nirina mampu ungkapkan perasaan dari kata,
ekspresi, dan gestur yang jujur dari dalam hati. Saat Hana gagal move on
dari suami yang baru meninggal jadi bagian menarik dalam pemeranan. Adegan
Hana menikmati kesendirian dengan tidur di sofa masuk sebagai bagian paling menyentuh dan
mengingatkanku pada mama yang juga melakukan itu saat papa telah tiada.
Sebegitu dalam penonton dibawa untuk larut ketika kehilangan orang yang tersayang.
Energi akting dari Nirina membuat ekspresi
Ringgo juga lebih realistis. Saat Bagus sadar punya ego sebagai seorang lelaki
disitu terlihat betul seperti apa Ia harus merenungi momen yang telah
dilalui. Bagus bikin kisah pribadi orang lain tanpa izin dan memanfaatkan
cerita hidup teman lamanya sendiri untuk pekerjaan. Ternyata, semua romansa itu
hanya ada di kepala Bagus saja.
Pemeran lain yang juga dapat porsi pas dalam karakter yaitu Pak Yoram (Alex Abbad). Ia berprofesi sebagai produser yang hanya ingin dapat cuan dari cerita adaptasi atau IP seperti kisah sinetron. Selain itu, ada sosok Celine (Sheila Dara) yang menjadi istri dari Dion Wiyoko. Diceritakan Celine berprofesi sebagai editor yang punya suami bernama Dion selaku aktor.
Ansambel pemeranan makin lengkap saat original
soundtrack dari dua musisi yang juga pasangan suami istri terdengar merdu.
Ada lagu Bercinta Lewat Kata karya Donne Maula dan lagu Sudut Memori dari Yura
Yunita yang mengisi ruang-ruang audio visual jelang akhir film. Kedua lagu
tersebut punya lirik dan melodi yang kuat untuk ungkapan cinta yang kadang
hanya sebatas perkataan bukan perbuatan.
Lebih lanjut, elemen romansa dalam film JeSeDef juga memakai konsep penyutradaraan yang memberi porsi pada adegan meet cute. Ada beberapa adegan sambil makan atau minum dengan obrolan yang manis sampai miris. Ada adegan menemani beli bunga di pasar kembang sambil mendalami isi hati masing-masing. Sampai pada suatu persepsi dari sudut pandang Bagus yang mengatakan “Film bisa memberi kita pengalaman menjadi orang lain. Malah kita juga bisa menemukan solusi hidup dari film.” It’s a reality!
Setelah nonton 2x film JeSeDef saat
tayang di bioskop dan platform OTT, aku selalu jatuh cinta dengan film ini.
Rasa bangga karena begitu dekat dengan dua karakter utama yang mampu bawa pada
versi film Indonesia dalam kisah percintaan generasi usia 30-an yang menawan. Di
tengah marak film horor, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film bak oase segar untuk
rasakan kembali hati yang berbunga-bunga meski dibalut rasa trauma.
Akhir kisah cinta Hana dan Bagus
masih menggantung. Penawaran open ending ini, aku harap bakal
memunculkan sekuel dari JeSeDef season 2. Seperti apa yang Bagus
lontarkan dalam dialognya “Mungkinkah film hitam putih ini ada sekuelnya?
Hidup gw sudah tidak bisa diulang lagi, tapi gw yakin masih bisa dilanjutkan.”
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film
bisa ditonton kembali melalui platform OTT, Netflix. Kedalaman makna dalam tiap
cerita cinta memang tak seindah apa yang kita saksikan di layar-layar kaca.
Konsep film hitam putih yang berani beda akan ajak penonton pada momen bahwa
“proses yang paling berat dalam berduka itu saat kita harus tetap menghadapi
hidup yang harus tetap berjalan”. Film JeSeDef memberi refleksi agar seseorang
jangan terlalu lama larut dalam dukanya. Jatuh Cinta saat jalani tahap suka duka berduka akan bawa pada pemahaman bahwa kehidupan yang kita jalani sama
seperti di film-film. Semua yang baca ulasan film JeSeDef ini, wajib menonton
film Indonesia terbaik 2024.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar