Kedua kalinya, Blogger Eksis nonton program Indonesia Kita di Taman Ismail Marzuki (TIM). Tahun lalu, pentas Calon Lawan diselenggarakan di Graha Bhakti Budaya. Sementara panggung Teater Besar jadi saksi pentas ‘Putra Sang Maestro’ jelang akhir tahun 2024. Konon pementasan kali ini kurang dapat dukungan sponsor seperti biasa. Entah waktu persiapan yang terlalu mendadak atau sponsor yang mundur karena salah satu pelakon dalam pentas ini terlibat sebagai juru bicara untuk paslon yang sedang berlaga dalam Pilkada DKI Jakarta. Tapi, pertunjukan ke-43 ini justru lebih berwarna dan berhasil dipentaskan pada 14-15 November 2024 pukul 20.00 WIB.
Hal paling khas
dari Program Indonesia Kita yaitu sentuhan kritik sosial politik yang disertai
dalam bentuk kelakar dari para pelakon. Penonton diajak melihat kisah dari
sosok seniman badut tua yang akan diberi gelar Sang Maestro. Tapi, badut tua
tersebut justru menolak. Alasannya badut selama ini dianggap rendah dan harus
ada upaya untuk angkat profesi ini biar terjadi regenerasi.
Pimpinan kota
pun memberi gelar kepada anaknya yang sering dianggap badut. Bila badut jadi
profesi terhormat dengan pemberian gelar Maestro, maka setidaknya anak pimpinan
itu juga bisa dianggap sebagai badut. Inilah kekuatan gagasan cerita yang diolah
kembali dalam bentuk pertunjukan sehingga punya kedekatan atas apa yang terjadi
untuk sekitar kita hari ini. Aku rasakan ada motif cerita yang autentik.
Pencarian anak Pimpinan
Kota yang hilang dari sanggar juga jadi kisah humor yang segar. Duet pelakon,
Cak Lontong dan Akbar Kobar coba selipkan unsur-unsur komedi seperti ‘surat
titipan’ yang memecahkan suasana panggung malam itu. Elemen tersebut sebagai
bentuk perjuangan gagasan yang memberi pendekatan lebih rileks dan cair untuk
pentas teater yang ditonton banyak orang.
Sebagai penonton yang juga bergelut dalam bidang teater, aku bisa mengasah seperti apa semangat teater tradisional berkembang memecahkan persoalan-persoalan dalam ekosistem teater itu sendiri. Dari pertunjukan Putra Sang Maestro, aku bisa lihat para pelakon diberi ruang improvisasi spontan dengan gaya komedi yang aktif. Ini sebagai bentuk critical discourse yang memberi koreksi atas tren yang sedang terjadi di negara ini.
![]() |
Sang Maestro yang berlakon di atas panggung (dok. Widhi Cahya) |
Pentas Indonesia
Kita memang selalu berangkat dari hal-hal yang berkembang dalam keseharian.
Apalagi ikhtiar Indonesia Kita menyuguhkan konsep pertunjukan dengan latar
budaya wajib ditunggu tiap tahun. Jalan kebudayaan ini memang sengaja
ditempuh dari 3 pendiri yang berprofesi sebagai seniman sejati seperti almarhum
Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Agus Noor. Suguhan naskah kreatif dari
Agus Noor untuk merawat seni pertunjukan yang segar terus tumbuh. Menurutku,
tahun ini jauh lebih inovatif karena pementasan makin matang dengan sentuhan
koreografi dan musikalitas yang baru.
Bila tahun lalu
cerita politik lebih tersaji sebagai gagasan yang dieksplorasi, Indonesia Kita
tahun ini punya ciri khas tersendiri dengan dua unsur kejutan yang aku sebutkan
tadi. Ada gelora muda yang ingin digaungkan dan kolaborasi bersama seniman
lintas disiplin ilmu serta budaya makin maju digencarkan.
Kekuatan
koreografi menjadikan pentas ini punya energi. Siti Alisa sebagai penata tari memberi
penawaran paling mengejutkan dengan gerak berjalan dan goyangan para penari yang
diiringi lagu Anak Mami (Slank). Suara Endah
Laras berupaya meningkatkan atensi penonton untuk tetap fokus. Aku senang
sekali disuguhi bagian adegan yang memberi kesempatan untuk larut dalam cerita itu.
Kembali yang
harus diberi sorotan apresiasi yaitu penata musik dalam pentas Putra Sang
Maestro. Pendapatku, Mas Arie Pekar juga berhasil aransemen lagu-lagu Slank
yang menyampaikan lirik sesuai cerita dan adegan yang sedang dilakoni. Ini beri
alternatif hiburan kepada penonton untuk turut bernyanyi sehingga pementasan
terasa tidak membosankan.
Sementara yang harus dikritisi dari pementasan kali ini, mungkin pilihan bentuk pemanggungan dan tata artistik. Memang secara tampilan dan set yang minim sudah tampak kaya, tapi rasanya belum semua set yang ditampilkan dalam bentuk multimedia bisa memuaskan imajinasi visual para penonton.
Biar
bagaimanapun, Pentas Putra Sang Mestro telah mengundang tawa bagi para
penikmatnya. Meski unsur komedi sebenarnya bukan tujuan atau esensi dari tiap
pementasan. Menurut Butet Kartaredjasa, Indonesia Kita hanya ingin bangun suatu
ekosistem budaya. Dengan keberadaan ekosistem ini, semua pihak harus tetap
optimis bahwa masih banyak yang bakal peduli dalam ikhtiar-ikhtiar berkesenian
untuk menghargai akal sehat dan nurani. Semoga antusiasme penonton tahun depan
makin meningkat dan cerita-cerita yang dihadirkan juga mampu bangkitkan
imajinatif penonton lebih kuat.
Terima kasih
atas selipan hiburan dalam tiap pertunjukan Indonesia Kita. Sebagai penikmat seni, aku selalu suka dengan kemasan konsep pertunjukan yang unik dan seperti
apa humor jadi cara menyampaikan gagasan dengan menarik. Selamat untuk semua
pihak yang terlibat dalam pertunjukan ‘Putra Sang Maestro’ yang dibalut dengan
semangat kekompakan yang padu dan seru.
#JanganKapokMenjadiIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar