Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Film Dilan 1990, Kesederhanaan Cinta Dilan terhadap Milea



Film Dilan 1990

Blogger Eksis bukan termasuk sosok yang kena demam Dilan di awal tahun 2018 lalu. Aku tak pernah menjadi bagian dari 6.315.664 penonton yang rela menonton Dilan dan Milea di bioskop. Penulis hanya bisa melihat viralitas dari pasangan Dilan dan Milea yang sungguh tak terbatas. Mulai dari gombalan ala Dilan sampai jaket versi Dilan menjadi sesuatu yang terus diperbincangkan. Bahkan sampai kisah Dilan 1991 yang sudah tayang.
 
         Sebelum beranjak ke bioskop untuk menonton sekuelnya, aku memutuskan untuk membeli DVD Film Dilan 1990. Untung saja DVD film tersebut bisa didapat pada gerai restoran makanan cepat saji di Indonesia. Supaya menambah referensi, aku juga menyempatkan diri membaca buku novel Dilan 1990 yang melibatkan Pidi Baiq sebagai penulis novel sekaligus skenario untuk filmnya.

Tentang Dilan yang mengajarkan Milea betapa pentingnya mengucapkan selamat tidur.

          Cerita dibuka dengan narasi dari Milea (Vanesha Prescilla) yang menceritakan pengalaman hidupnya. Ia pernah kenal dengan Dilan (Iqbal Ramadhan), si panglima tempur yang sekolahnya sama dengannya. Dilan mulai melontarkan gombalan terhadap Milea sejak awal. Dilan juga sering meramal bahwa dirinya akan menjadi sosok yang tepat untuk menjadi pasangan Milea kala itu.
Selanjutnya banyak upaya Dilan untuk melakukan pendekatan terhadap Milea. Mulai dari mendatangi rumahnya sampai menghubungi melalui telepon umum yang masih menggunakan koin. Milea juga menyambut dengan mengangkat gagang telepon rumah yang sering berdering. Niat dan nyali Dilan tergolong unik untuk membuat Milea jatuh cinta kepadanya.
Kedekatan mereka semakin terasa saat Milea sudah memutuskan hubungan pacaran yang telah dibina sebelumnya oleh Beni (Brandon Salim). Dilan dituding bukan penyebab Milea memutuskan Beni. Pacarnya yang berada di Jakarta tersebut sering berulah kasar dan pernah menyebut Milea seorang ‘PELACUR’.
Di Bandung, beberapa karakter lain hadir menyukai Milea. Ada Nandan, ketua kelas yang tanpa pikir panjang langsung meminta Milea jadi sekretaris. Penampilan Nandan dengan kacamatanya yang terlihat cerdas dan good boy tetap tak mampu memantik hati Milea.
Bukan hanya Nandan, kang Adi (Refal Hady) yang berperan sebagai guru privat Milea juga menaruh hati. Ia merupakan mahasiswa ITB yang bekerja part time sebagai tutor privat. Sosok pendiam yang muncul dari Kang Adi juga hanya tampil dalam adegan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tidak mencintai bukan berarti membenci kan!
Cemburu itu cuma untuk orang yang tidak percaya diri. Cinta Milea terhadap Dilan begitu tangguh tak tergoyahkan. Meski Milea menganggap Dilan ‘bukan anak baik-baik, tetapi juga tidak kasar’. Di sekolah, Dilan termasuk bad boy alias anak nakal. Pernah kena skorsing karena berani melawan gurunya, Pak Suripto (Teuku Rifnu Wikana).

Dilan mungkin bukan lelaki yang baik, tapi dia tidak kasar dan selalu memastikan Milea tertawa serta membuat Milea memastikan setiap pagi apa dia masih ada dimuka bumi

Sebandelnya Dilan di mata Milea, justru hal itu yang membuat Ia auto suka. Apalagi Milea mulai masuk ke dalam jurus pendekatan ala Dilan yang out of the box, seperti ngegombal di dalam angkot, jalan kaki menuju sekolah, membawa tukang pijat saat Milea sakit, dan momen yang paling pecah saat Dilan memberi hadiah berupa buku TTS yang semuanya sudah diisi. Padahal si Nandan justru memberi hadiah yang lebih lumrah seperti boneka beruang gede pada umumnya.
Its not logic. Seberapa encer otak Dilan bisa mengisi halaman demi halaman TTS tersebut. Pertanyaan mendatar dan menurun tentu akan sulit dijawab sama hal ketika Dilan mewakili kelas dalam lomba cerdas cemat. Hanya ada tulisan kreatif yang menolong adegan tersebut dengan keterangan:
“Selamat ulang tahun, Milea. Ini hadiah untukmu. Cuma TTS, tapi sudah ku isi semua. Aku sayang kamu. Aku tidak mau kamu pusing karena harus mengisinya. Dilan”
Tentu siapapun yang membaca itu punya kegemasan tersendiri. Dilan dan Milea nyatanya membuat penonton betah duduk dikursi. Akhir cerita ditutup dari selesainya curahan hati Milea yang tampak dilakukan pada sebuah kamar apartemen yang berada di ibukota. Terlihat jelas bahwa Film Dilan 1990 ingin menyuguhkan kenangan yang tak kan terlupakan.

“Kerinduan adalah kerinduan didadaku menuju kepadanya. Di dalam diriku adalah lautan rindu. Adalah sungai yang terus mengalir. Adalah laut yang terus berdebur. Tidak ada kekuatan yang dapat menolak begitu kuat seperti kehidupan dan aktif”.

banyak kutipan Dilan dan Milea yang memeable

Film Dilan 1990 diadopsi dari novel best seller. Maka, dialog dalam film terasa kuat karena diramu secara rapi oleh Pidi Baiq. Ia mampu memberi nyawa pada setiap kata untuk dilontarkan para pemain. Kata-kata tersebut sederhana, tapi cukup terasa karena memberi unsur romansa yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Gombalan Dilan masih jadi hal yang viral sampai sekarang. Celotehan “Jangan rindu, BERAT. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja” mengisi obrolan para penonton yang terjebak sebagai korban dari sebuah film. Dari situ cuitan tweet, meme, dan caption IG dipenuhi rayuan maut ala Dilan yang sebenarnya terkesan kaku tapi konon pernah terucap dari kisah novel yang ditulis berdasar pengalaman nyata.
Jika kita telaah lebih lanjut, rasanya cerita tak berlangsung sempurna karena fokus antar dua anak manusia saja tak dijelaskan asal muasalnya. Apa mereka hanya tertarik dari pandangan pertama atau penampilan fisik saja? Rasanya penonton sulit untuk menerka. Dari awal penonton sudah diajak tidak peduli membangun struktural cerita. Film hanya fokus mengolah kata bukan menanamkan rasa tentang cinta.
Coba bayangkan seorang Dilan yang baru mengenal Milea sebagai pelajar SMA yang baru pindah dari Jakarta justru sudah mengetahui semua hal tentang dirinya. Mulai dari kelas, alamat rumah, dan nomor telepon rumah. Apa memang benar bahwa Dilan sang peramal atau punya indera ke-enam? Mengapa Dilan bisa secepat itu jatuh cinta terhadap Milea? Kalau aku disuruh memilih, justru lebih cantik Rani (teman sebangkunya) dibanding Lea.

Adegan selanjutnya juga nyaris tanpa basa-basi. Terlihat masa pacaran pelajar SMA ini lancar saja tanpa hambatan yang berarti. Asmara tergolong klasik karena formula “si A jatuh cinta dengan si B. Si A juga disukai oleh C dan D. Lantas, siapa yang akan dipilih si A?"
Pacaran mereka semakin tak masuk akal karena para pelajar itu bebas keluar saat jam pelajaran belum selesai dan sudah berani memperkenalkan orangtua masing-masing tanpa bertedengan. Garing euy jiga kurupuk.
Tapi, penonton bagai terhipnotis pesona Dilan. Perbuatan ala bad boy yang dibekali dengan ucapan manis mungkin terlihat romantis di mata mereka. Meski kata-kata dari Dilan nyatanya tak ada yang terbukti hanya sebagai ucapan tanpa tindakan setelahnya. Iqra, Milea!
Aku hanya bisa menikmati adegan percintaan mereka saat harus saling berkirim surat, menelepon via telepon umum, dan jalan kaki menyusuri sekolah. Adegan itu tentu bisa mengingatkan gaya pacaran generasi 90an yang belum serba digital seperti sekarang.
Kepolosan untuk saling melempar sun sayang juga masih tampak dilakukan melalui telepon. Fajar Bustomi yang memegang komando untuk penyutradaraan film ini sengaja ingin mempertahankan latar waktu 1990an. Tak ayal, film ini sukses merebut penonton kalangan wanita yang mengenang masa-masa remaja di sekolah.

Namun, penyutradaraan dalam film ini terlalu banyak memasukkan adegan-adegan yang tidak penting saat di sekolah. Misal, ada tembok kelas yang tiba-tiba roboh ketika jam pelajaran berlangsung. Begitu juga penyerangan mendadak yang terjadi ke sekolah oleh segerombolan geng motor yang tidak jelas asal usulnya. Bahkan kasus Dilan dan Pak Suripto di sekolah juga tidak terbahas karena tetap menggunakan formula yang sama “Sekejam apapun tindakan yang dilakukan oleh seorang guru, maka Ia akan selalu terlihat benar dalam bertindak!”
Buat apa adegan-adegan tersebut dihadirkan jika tidak bisa menambah esensi cerita yang ingin disampaikan. Reaksi Dilan dan karakter disekelilingnya tak mampu dibentuk kecuali untuk Milea semata. Tak ada hal yang menarik selain gombalan Dilan yang sedang cari perhatian dengan gadis pujaan.
Dari situ para pelajar SMA yang memenuhi gedung bioskop bisa saja hanya mampu berkaca tentang metode pendekatan terhadap seorang wanita yang dicinta. Begitu juga sebaliknya jika ada wanita yang masih status pelajar SMA, mungkin mereka hanya akan melakukan seperti apa yang Milea rasakan.
Aku yakin sebuah film akan menyampaikan pesan tersendiri bagi para penonton. Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Jika sisi negatif dalam film tak diberi kelanjutan sebagai bahan renungan justru yang bisa diambil oleh para pelajar SMA yang masih labil yaitu turut meniru adegan seperti dalam film. Layakkah jika Dilan dan Milea jadi role model yang bisa membuat tren berpacaran semakin terasa kekinian?        

Kelemahan lain terletak pada color grading yang belum maksimal apalagi film ini mengambil latar waktu 90an. Selain itu, ada adegan yang memanfaatkan CGI dan terlihat terlalu dibuat-buat yaitu saat Ibu Dilan (Ira Wibowo) sedang menyetir mobil untuk mengajak Milea ke rumahnya. Ditambah lagi film Dilan 1990 juga masih terasa kurang dari segi tata rias yang menyangkut gaya rambut Milea dan teman-temannya yang tak menampilkan aura 90an. Semua adegan juga tak mampu dipermanis dengan musik hits 90an sehingga terasa hambar.

Dilan genit, Milea centil. Film Dilan 1990 hanya mengandalkan kekuatan chemistry Dilan dan Milea yang terbentuk sebagai pelajar SMA yang saling memadu kasih. Tak perlu adegan romantis, kata-kata manis yang terlontar dari keduanya mampu meluluhkan hati para penonton. Pantas saja penampilan mereka dalam film ini diapresiasi sebagai Pemeran Pasangan Terfavorit untuk Indonesian Movie Actors Awards 2018.
         Secara personal, Iqbal Dhiafakhri Ramadhan juga sudah masuk dengan karakter Dilan yang loveable, meski dalam beberapa sisi terlihat tengil. Dilan hadir sebagai sosok yang bukan jagoan, cuma melawan saja. Namun, wajah Iqbal yang cute sebagai mantan personel Cowboy Junior belum bisa menguasai sisi bad boy dari sosok Dilan.
        Untuk Vanesha Prescilla yang mantan gadis sampul juga tak terlihat begitu cantik. Ia hanya tampak good looking. Meski potensi aktingnya harus banyak belajar dari kakak kandungnya, Sissy Priscillia. Namun ke depan kita tak pernah tahu, apakah Vanes akan mengikuti jejak kakaknya sebagai aktris atau justru mengikuti abangnya Jevin Julian sebagai musisi.

Rindu sebelum waktunya. Matang sebelum saatnya

       Secara keseluruhan, film Dilan 1990 belum bisa menjadi film favorit Blogger Eksis setelah Film Ada Apa Dengan Cinta dan Film Posesif yang tayang lebih dahulu. Film Dilan 1990 masih lemah untuk menjadi film utuh yang memiliki kompleksitas cerita tentang cinta. Tim produksi hanya mampu bermain dengan memanfaatkan rangkaian teks sebagai bingkai retorika. Sementara jika kita ingin bicara tentang cinta harus ada konteks yang membuat asmara itu layak diperjuangkan atau dikorbankan untuk selamanya.
Aku masih suka AADC karena ada sisi persahabatan di sana yang membangun kisah Cinta dan Rangga. Penonton juga bisa lebih peduli alasan mereka saling mencintai. Ditambah karakter dan puisi yang hadir dalam film tersebut begitu kece.
Sementara Film Posesif juga lebih baik dalam penyampaian pesan tentang cinta dan hubungannya karena ada kekuatan back story atau sebab akibat ketika dua insan memutuskan untuk memadu kasih. Seperti halnya remake film Galih & Ratna yang juga memiliki misi cinta yang sama dengan cara berbeda.

        Terbesit dalam kepalaku, apakah film ini layak diproduksi sekuelnya? Jika melihat dari sisi komersil yang menjadi film Indonesia terlaris kedua setelah Warkop Reborn, rasanya Dilan akan terus menggoda penonton sampai di Dilan 1991.
          Film Dilan 1990 memberi pelajaran bahwa cinta sejati adalah kepercayaan dan juga dukungan. Kalau penonton tidak setuju, maka Dilan dan Milea tidak peduli. Itulah nyatanya Dilan. Dilan hanya milik Milea yang tidak minta apa-apa lagi.
       Biar bagaimanapun film Dilan 1990 punya impresi tentang pacaran yang penuh kesederhanaan. Ada rasa dalam setiap tutur kata. Hanya perlu dinikmati penonton tanpa harus berpikir kemana-mana. Kalau bukan kita yang menonton film karya anak negeri, lalu siapa lagi?

Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu. Nanti, besoknya, orang itu akan hilang!

Iqbal Ramadhan berperan sebagai Dilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar