Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Antologi Rasa Dibalik Persahabatan Terpendam Perasaan



Hal-hal yang gue lakukan untuk membahagiakan lue, akan selalu berseberangan dengan hal-hal yang perlu gue lakukan untuk melupakan lue!"
(Harris Risjad)

Film Antologi Rasa

      Blogger Eksis bukan pembaca novel dari karya Ika Natassa. Tapi, aku penikmat film dari novel-novelnya yang diterjemahkan dalam bahasa layar lebar. Setelah Critical Eleven, aku memutuskan menonton film Antologi Rasa tepat pada tanggal 14 Februari 2019 lalu di CGV Pacific Place, Jakarta Selatan.

Antologi Rasa bercerita tentang drama perasaan 4 tokoh yang beranjak dewasa dan terjebak dalam friend zone. Gejolak cinta antar karyawan baru di sebuah BorderBank Jakarta membuat mereka bertemu dalam waktu keterlambatan. Sebenarnya hal ini bisa dijadikan prolog yang menarik, tapi hanya tampil memenuhi visual dari narasi sehingga menjelma bak film televisi.
Film mulai dibuka dengan multiple point of view. Penonton mulai diajak mendengar suara hati dari para pemeran utama. Harris Risjad (Herjunot Ali) dan Keara Tedjasukmana (Carissa Perusset) saat pergi liburan ke Singapura untuk menonton F1 bersama. Rencana awal, Ruly (Refal Hady) ikut serta bersama mereka ke sana. Tapi, ada alibi bahwa waktunya dengan urusan kantor tersita. Nyatanya, Ruly menemani Denise (Atikah Suhaime) yang sudah ditaksir sejak lama. Meski Denise sudah memilih pria lain yang bernama Kemal sebagai imam dalam rumah tangga.
Dalam diam, Keara cinta terhadap Ruly yang terdeteksi sebagai good boy. Pria sopan dan syariah ini sepertinya memang pantas jadi idola. Dilain sisi, Harris punya rasa terhadap Keara lebih dari sekadar partner in crime dalam pergaulan malam. Berjuta cara dilakukan Harris demi menarik simpati dari Keara meski ia tergolong sebagai bad boy.
Ujungnya jalinan persahabatan mereka dipertaruhkan. Ada bimbang yang tak bisa diungkapkan. Masing-masing memiliki rasa yang tersimpan dalam makna sebuah cinta.

Siapakah yang akan Keara pilih,  
good boy or bad boy?
lelaki terbaik dalam film Antologi Rasa

30 menit film diputar, teman kursi sebelahku sudah tampak bosan. Berharap bisa menonton film yang baper, tapi semua malah terasa hambar. Tidak ada rasa yang membekas setelah menonton filmnya. Mungkin seperti apa yang dirasakan oleh Harris saat memesan bubur dengan obat nyamuk yang dikremes sisa semalam. Huft!
Plot sudah terbaca sejak awal. Jika bisa dibuat dalam list numbering, aku akan menuliskan seperti ini:
1.    Harris suka dengan Keara
2.    Keara suka dengan Ruly
3.    Ruly suka dengan Denise
4.    Denise memilih hidup dengan suaminya meski dicampakkan.
Dari 4 plot itu, lama-kelamaan alur atau flow story semakin berantakan. Tiba-tiba Ruly suka dengan Keara. Tapi, Ruly gagal move on dari Denise. Setelah itu, Keara memilih untuk jauh dari Harris dan Ruly. Sampai akhirnya, hati Keara jadi labil karena tarik ulur hubungan antar mereka terasa sesak di dada. Apalagi saat masing-masing mengetahui masih punya rasa yang pernah ada.
Akhir cerita cinta sudah bisa ditebak dengan happy ending keputusan dari Keara. Jujur saja aku tak begitu suka dengan penyelesaian film seperti itu. Semua terkesan basi dan tak ada formula esensi yang mampu menjadi bahan ekspansi karakter. Klise sekali endingnya!

Kenapa Keara harus memilih diantara kedua pria itu?

Bukankah lebih bagus jika Keara memilih aku sebagai penontonnya…

😀 Hahaha 😀


Sebagai penonton setia film Indonesia, aku juga rada KZL karena klimaks adegan cinta selalu menggunakan lokasi bandara untuk mengungkap rasa yang terpendam sebelum keberangkatan. Wajar sih, kalau memang rumah produksi dapat sponsorship dari PT. Angkasa Pura. Toh, jangan semua film percintaan juga memilih lokasi bandara sebagai penyelesaian cerita cinta. Sungguh terlalu itu namanya!
lokasi film Antologi Rasa

Dari sisi cerita yang digarap oleh penulis skenario Antologi Rasa tak mampu dieksplorasi lebih jauh lagi. Nuansa hedon terperangkap tapi tak mampu terasa sebagai suatu hal yang bisa dikompromi. Karakter persahabatan yang dibentuk satu sama lain juga tak menunjukkan keakraban yang berarti. Perubahan setiap karakter bisa saja tiba-tiba terjadi tanpa alibi yang tak bisa penonton prediksi. Konflik justru hanya tersaji pada batin yang berkecamuk dalam diri.
Rizal Mantovani sebagai sutradara terlihat mengikuti gaya penceritaan Ika Natassa. Hanya saja, ia tak mampu mengakali dengan baik. Beberapa adegan justru meloncat sehingga tak enak dilihat. Misal, adegan flashback saat Harris mengantar Keara untuk membeli pembalut terasa tidak pas. Begitu juga saat bayang-bayang Ruly divisualkan.
Adegan bobo bareng setelah mabuk juga tak mendapat perhatian. Padahal adegan ini membangun penonton supaya kesal kepada Harris seperti apa yang dirasakan Keara. Beberapa penonton malah berujar “Ohh.. Harris cuma mimpi basah toh!
mimpi basah dalam Antologi Rasa
www.pulsk.com

Begitu juga adegan sebelumnya saat Harris dan Keara sedang ajep-ajep. Meskinya adegan ini bisa jadi scene stealer, nyatanya justru ditempatkan pada babak pertengahan sehingga hanya menjadi bayang-bayang cerita yang samar. Coba saja adegan tersebut ditempatkan di akhir cerita, pasti penonton akan merasa terpuaskan sambil bergumam “Ohh, jadi ini toh penyebabnya!
Penyutradaraan tak mampu membentuk kronik (latar waktu). Ada adegan saat Keara on duty di Bali, Ia bekerja hingga larut malam di tepi kolam. Tak lama, adegan berpindah saat Keara sudah siap dengan kameranya mulai hunting sunrise. Padahal Keara bukan morning person seperti apa yang diucap oleh Ruly. Hal yang jadi pertanyaanku, “Apa Keara tidur pada malam itu?
Kritik film Antologi Rasa

Sinematografi juga tak ada sesuatu yang luar biasa. Detail visual tidak mampu menjual The Lion City atau Kota Bali yang punya daya tarik wisata lokal. Jika mau dikembangkan lebih lanjut, seharusnya semua itu bisa dimasukkan dalam foto-foto yang dijepret oleh Keara. Bukankah Keara juga suka fotografi dan berhasil memenangkan penghargaan dari karya fotonya?
Dari segi pemeranan, tak ada karakter yang begitu spesial. Karakter yang bisa terhitung dengan jari tersebut justru terlihat tak mampu menarik simpati penonton. Seperti tak ada yang peduli dengan gejolak batin yang mereka alami. Seharusnya setiap pemeran itu punya kesempatan untuk memberi penampilan dan kualitas akting terbaik sebelum akhirnya dijudge oleh para penontonnya.

Para pemeran Antologi Rasa

‘Mereka galau kan yaa?
Tapi kok gak sampai, sakitnya tuh disini guys!’

Tak ada chemistry yang kuat dalam film Antologi Rasa. Entah seperti apa persahabatan mereka. Semua terlihat kikuk saat berhadapan satu sama lain, meski masing-masing sudah mengetahui rasa cinta masih ada. Justru yang terlihat bersahabat yaitu antara Keara dengan Dinda (Angel Pieters) karena sering curhat colongan bersama.

Herjunot Ali sebagai Harris Risjad
Jika ditinjau secara personal, akting Junot sebagai pria tampan yang tengil namun selalu menjadi idola para wanita juga terasa sama dengan kegenitannya yang pernah ditampilkan pada karakter Zafran di film 5 CM. Meski demikian, Junot tetap tampil apa adanya sampai akhir cerita walau kualitas akting jauh lebih baik saat berperan dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Realita Cinta Rock n Roll.
Begitu juga Carissa sebagai aktris pendatang baru tak bisa berbuat banyak untuk film ini. Tak terlihat nestapa saat rasa cintanya bertepuk sebelah tangan. Kecerdasan emosional tak bisa diterjemahkan kepada penonton untuk dilampiaskan. 
Carissa Perusset sebagai Keara
terlihat bitch disini kan*
Lebih dari itu, penyajian kehidupan personal dan profesional Keara sulit diterjemahkan. Keara yang kata Ruly seperti naked lady tak bisa diidentikkan dengan sosok wanita liar yang suka kelayapan malam. Terlalu basa-basi atau memang hanya sebatas anti social club. Lebih cocok jika Keara termasuk dalam karakter bucin (budak cinta) biar tidak terasa serba nanggung.
Refal dengan karakter anak baik tampil tak begitu mengesankan. Awalnya Keara suka dengan Refal karena rajin salat subuh, tapi seiring berjalan waktu Refal bisa berubah suka bercumbu karena nafsu. Padahal Refal tipikal cowok yang tidak peka.
Aktor ini terlihat tak ada perkembangan dibanding film-film sebelumnya. Sebenarnya potensi aktingnya bisa melebur dengan karakter yang ada. Ia punya peluang untuk menggantikan Miqdad Addaussy yang telah menikah dan bersaing dengan aktor muda yang masih available seperti Iqbal Ramadhan dan Jefri Nichol.
Refal Hady sebagai Ruly dalam Film Antologi Rasa
Sementara karakter Denise justru hadir tanpa dialog. Gambaran sosoknya terasa kurang utuh karena penonton hanya mengetahui cerita rumah tangganya dari perkataan Ruly. Entah fokus cerita cinta film ini ingin terlihat pada kisah cinta segitiga saja atau memang segiempat. Semua kurang penyedap rasa.

rasa yang terpendam dalam cerita Antologi Rasa
     Kisah novel dan cerita film memang masih relate-able. Tapi, bahasa gambar yang diterjemahkan dari rangkaian kata justru tak bisa menembus komplikasi rasa yang diderita para karakter didalamnya. Bisa dipastikan tak ada kontraksi yang membuat penonton ingin menonton kedua kali.
Dari semua elemen dalam film, aku hanya suka sisi musik dari Stevesmith Music Production. Lantunan lagu Rahasia yang dinyanyikan oleh Geisha dan beberapa lagu dari D’Masiv maupun Nidji mampu ditempatkan pada adegan yang tepat. Penggalan lagu mampu mendeskripsi rasa yang sedang dialami karakter saat in frame. Entah sengaja liriknya dibuat pas atau memang ditempatkan sesuai emosi yang dirasakan karakter tersebut.
Film Antologi Rasa jadi semakin tak menantang karena tak mampu mengisi hari kasih sayang dengan rasa cinta yang memukau. Semoga saja Soraya Intercine Films bisa membenahi rasa kecewa dari para penontonnya supaya film-film selanjutnya lebih memiliki rasa bahagia setelah menonton. Jangan sia-siakan mereka yang rela membeli sobekan tiket bioskop karena masing-masing penonton tetap memiliki rasa terhadap film yang ditontonnya*

Kutipan Film Antologi Rasa
(Blogger Eksis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar