Lebaran tahun ini, penikmat film
lokal digempur oleh lima film sekaligus. Empat di antaranya bahkan rilis
ditanggal yang sama. Dari banyak opsi tersebut, saya pun
memiliki misi untuk menikmati semuanya.
Apakah kesuksesan sebuah novel best seller mampu diikuti keberhasilan filmnya?
Berikut ini kritik saya terhadap film Sabtu Bersama Bapak
(Produksi Max Pictures, 2016)
Premis yang
dibawakan memang minor, calon penonton sudah pasti tau kalau film yang akan
mereka tonton adalah film yang akan sedih mengharu-biru. Tapi ternyata tidak.
Sabtu Bersama Bapak punya jalinan cerita yang tak sekedar mengurai air mata
penonton karena kesedihan yang ditimbulkan, namun juga air mata karena tertawa
tak tertahankan (in a good way).
Monty Tiwa, sang sutradara memang sudah berkali-kali mencatatkan karya filmnya
dengan balutan komedi yang asyik. Begitupun juga ditampilkan di film ini.
Sabtu Bersama Bapak merupakan
film yang dirilis dari adaptasi novel super laris karangan Adhitya Mulya
yang berjudul sama. Ini bukan kisah keseharian seorang Bapak setiap hari sabtu,
tapi lebih dari itu karena Bapak Gunawan Garnida (yang diperankan Abimana
Aryasatya) telah divonis hanya akan hidup satu tahun lagi akibat penyakit
kanker yang dideritanya.
Untuk mengisi kekosongan sosok
ayah setelah nanti beliau tiada, sang Bapak meninggalkan pesan dalam bentuk
ratusan kaset video berisi nasehat kepada istri (yang diperankan Ira Wibowo)
dan kedua anaknya, Satya (yang diperankan Arifin Putra) dan Cakra (yang
diperankan Deva Mahenra). Satu kasetnya hanya boleh disaksikan bersama seminggu
sekali, setiap hari Sabtu setelah kedua anaknya pulang dari sekolah. Itulah makna kiasan ‘Sabtu
bersama Bapak’ yang diambil sebagai judul film ini. Tapi, sayangnya judul
tersebut tidak mampu direpresentasikan dengan baik pada adegan-adegan dalam
film tersebut. Penonton pun pasti bisa menghitung berapa kali video yang diwariskan
oleh bapaknya tersebut diputar saat hari sabtu itu tiba.
Kemunculan Bapak
lewat kaset video memang terhitung sedikit, jika dibandingkan dengan
novelnya. Peran video Bapak lebih berat ke cerita Satya dibandingkan Cakra, yang
lebih banyak mengingat atau bergumam sendiri. Petuah Bapak, baik itu lewat
video atau flashback kenangan, nyaris tidak ada dicerita Cakra. Perjuangan
seorang suami sekaligus bapak untuk meninggalkan pesan dan kesan bagi kedua
anak dan istrinya pun nyaris tak terungkap mapan. Sebuah hal yang disayangkan
karena Abimana sendiri memerankan karakter tersebut dengan sangat baik.
Adegan tangis dan sedih menjadi pembuka di film ini. Opening scene tampak Pak Gunawan dan Bu
Itje sedang bersedih didalam kamar. Pak Gunawan memegang surat dari rumah sakit
tentang penyakit yang dideritanya sehingga membuat hidupnya di dunia sudah
tidak akan lama lagi.
Cerita bergulir saat Satya dan
Cakra tumbuh dewasa dan menjadi sosok pria sukses dengan karier
masing-masing. Mereka menjadi
pribadi yang bertolak belakang namun keduanya bisa menjadi saudara kandung yang
menjaga satu sama lain dan tak lupa menjaga Ibu mereka agar tetap tersenyum. Satya
pun telah menikah dengan Risa (yang diperankan Acha Septriasa), punya dua orang
anak, dan tinggal di Paris. Ia memiliki masalah dalam membina keluarga karena
istrinya, Risa merasakan bahwa diri Satya terlalu kaku dalam mengikuti
pesan-pesan Bapaknya. Sementara Cakra memiliki karier gemilang sebagai banker di Jakarta yang setiap weekend
pulang ke Bandung demi menemani ibunya. Kesuksesan Cakra justru membuat Ia
selalu kikuk saat berhadapan dengan wanita yang disukainya. Itulah kisah keduanya
yang hidup terpisah dengan konfliknya masing-masing. Satya dan Risa yang
membangun rumah tangga, sedangkan Cakra yang sibuk mencari pasangan hidup.
Ketika membaca novelnya, lakon
Cakra mencari cinta mudah dibayangkan format filmnya. Namun sulit
membayangkan kisah rumah tangga Satya dan Risa yang pelan dan terkesan tanpa
ujung menjadi sebuah film. Belum lagi, penceritaan dua tokoh dalam satu
buku terlihat lebih mudah ketimbang dalam satu film yang punya durasi terbatas.
Apakah akan ada satu cerita yang dikalahkan difilmnya atau bagaimana
kelanjutannya?
Tidak adil rasanya jika harus membandingkan
film dengan novel secara eksplisit, namun dua hal itu harus aku lakukan apalagi
saat duduk manis bersama seorang kakak angkat bernama Sugiharti didalam ruang
bioskop CGV Blitx, Central Park, hari Minggu tanggal 16 Juli 2016 lalu. Hingga
film selesai, aku pun masih merasakan film yang begitu banyak ambigu dan
menjadi tidak seru. Penonton memang diajak mengikuti alur emosi yang naik turun
dalam setiap ceritanya. Tetapi, film ini belum menempelkan rasa yang membekas
bagi siapa saja yang melihatnya.
Dalam film ini, penonton tak dibuat begitu penasaran kenapa bisa begini dan
begitu. Hanya sedikit adegan yang juga tersisa saat apa yang dialami oleh Bapak
ketika merekam videonya. Padahal, plot seperti ini yang ditunggu karena
membayangkannya saja seru dan menyenangkan apabila Bapak merekam video-videonya
lalu diputar ulang dengan suasana penuh kenangan.
Dalam filmnya, ada beberapa adegan
plus yang sengaja ditambahkan agar cerita Satya di novel semakin menarik.
Terlihat upaya tim produksi membuat pengembangan konflik tanpa menghilangkan
esensi kisah Satya. Pemicu konflik dalam film masih terbilang logis dan
penonton bisa langsung ngegas menyimak cerita menuju babak demi babak
berikutnya sehingga bobot cerita tidak berkurang.
Plot dalam film ini memang beragam, menarik, dan dieksekusi dengan baik.
Tentu semua ditunjang oleh seluruh elemen, baik teknis, naskah, hingga performa akting para pemain. Selain itu, unsur drama keluarga,
romansa dan komedi juga menjadi serbuk bumbu untuk menikmati film
ini. Alhasil film ini cocok ditonton remaja atau dewasa.
Musik
ilustrasi juga memiliki peran tersendiri dalam film yang membuat film menjadi
lebih hidup. Artinya, irama yang 'senada' dengan visual dalam film Sabtu
Bersama Bapak terdengar nyaman dan ditempatkan disaat-saat yang tepat. Baik
saat adegan emosional, menyentuh, hingga saat adegan konyol, semuanya bagus.
Soundtrack
dari jebolan Mamamia tahun 2008, Wizzy Williana yang berjudul I'm Sorry terbilang kece. Keindahan lagu sangat berkontribusi mendukung
emosi dan cerita dalam film ini. Selain itu, lagu yang dinyanyikan oleh
penyanyi legendaris, Iwan Fals yang berjudul Cinta juga meninggalkan kesan
mendalam ketika usai menonton film ini.
Lagu
I’m Sorry merupakan karya dari Amir
Gita Pradana yang memiliki komposisi musik sederhana dengan dominan ketukan
piano, sehingga vokal Wizzy yang jernih bisa terdengar jelas. Lagu ini hadir
saat adegan Cakra merasa dirinya tidak pandai memikat hati perempuan yang
disukainya meskipun anak buahnya terus mendukungnya. Liriknya sebenarnya
sederhana, tapi penempatan lagu ini dalam sebuah adegan di film menurut aku pas
sehingga membuat penonton ikut merasa sentimentil. Sedangkan lagu Cinta
memiliki lirik yang lugas namun maknanya cukup dalam. Lagu Cinta ini seolah
menggambarkan emosi yang berkecamuk dalam hati Gunawan Garnida sebelum ia rela
dan pasrah usianya di bumi yang tak lama lagi. Sambil mendengar kedua lagu tersebut, aku bisa membayangkan adegan dan alur
kisah dalam film Sabtu Bersama Bapak. Alhasil, soundtrack bisa menjadi media promosi dan pengingat kesan penonton
terhadap sebuah film.
Walaupun ada
beberapa dialog yang dubbing, sehingga
audio terkadang dibeberapa adegan ada yang kurang konsisten didengar, ada yang
berubah suaranya, padahal masih di gambar, situasi yang sama, dan belum
berpindah posisi. Mungkin saja, penata audio mengalami kegagalan saat proses mixing. Semua unsur tata suara tertutup
oleh pemilihan lagu yang berkesan.
Kedua komponen lagu dan cerita telah dicoba eksekusi
sama baiknya oleh sang sutradara, tidak timpang sebelah istilahnya. Kisah
kakak adik ini diberi porsi serupa dan mencuri perhatian sama beratnya. Transisi atau cut
to cut antar cerita juga mulus, tidak membuat penonton bingung, ini cerita
mana atau punya siapa. Karakter kuat serta latar yang jauh beda memegang
peranan penting dalam halusnya transisi ini.
Bicara soal karakter, aku puas
dengan beberapa pemeran di film ini yang diisi jajaran aktor dan aktris kelas
atas yang memang sudah memiliki jam terbang di layar lebar berkualitas. Mereka
mampu menunjukkan performa aktingnya dengan memainkan roda cerita secara pas. Cocok dengan
bayangan aku saat membaca novelnya dulu. Bapak yang bijak, Satya yang keras,
Risa yang anggun, Cakra yang canggung, serta Ayu yang kalem. Semuanya pas diperankan
oleh pemainnya masing-masing.
Abimana jadi aktor favorit aku
di film ini. Aura kebapakannya terasa banget lewat getar suara
serta tatapan mata yang keras namun menenangkan. Seolah Ia berperan
sebagai bapak yang bijak dengan gaya bicara yang penuh karisma. Ia berhasil
menunjukkan wibawa dan menyampaikan kepada penonton bahwa Ia sosok bapak yang
dibanggakan keluarga.
Hanya saja,
seorang Ira Wibowo masih tidak sanggup membuat aku sebagai penonton berempati
kepadanya sebagai seorang ibu. Kisah ibu Itje yang single parent setelah kepergian suaminya dan tidak pernah menikah
lagi, membesarkan dua anak lelaki tentulah bukan hal yang mudah. Tak ada beban
diraut wajah seorang Ira Wibowo yang membuat suasana semakin terenyuh. Ia masih
belum mampu mengimbangi akting Abimana sebagai seorang bapak. Ia hanya tampil
sebagai sosok Ibu yang menyayangi anak-anaknya.
Akting Arifin dan Acha juga jagoan
aku, apalagi ketika adegan berantem. Pemilihan kata-kata yang natural dalam
dialog membuat adegan fighting dalam
rumah tangga mereka itu believeable. Adegan dibuat pas secara alami
dan seolah terasa dalam kehidupan sehari-hari. Ini menjadi sebuah scene dramatis yang ‘dalam’ dan penuh
emosional. Sebuah pujian yang layak disematkan kepada sutradara yang telah
mengarahkan mereka dalam film ini, Monty Tiwa.
Meskipun dibeberapa part, Arifin Putra tampak berlebihan.
Ada satu adegan yang paling saya suka
dan menyentuh hati yaitu ketika Satya dimarahi oleh Bapaknya dalam mimpi. Waktu
itu hubungan Satya dengan istrinya sedang ada masalah besar, lalu tiba-tiba
Satya bertemu bapaknya dimimpi. Satya dimarahi oleh bapaknya karena cara dia
salah ketika memperlakukan keluarganya. Setelah pasangan suami istri berseteru
lantas Satya seolah mendapatkan nasehat yang luar biasa dari Bapaknya. Nasehat
yang sangat penting sekali menurut aku sebagai anak laki-laki yang akan menjadi
suami kelak.
Yang membuat dahi sedikit
berkerut dari cerita Satya adalah pemeran Rian dan Miku, anak dari Satya
dan Risa. Selain aktingnya kaku dan datar, rasanya dengan gen secakep itu, anak
mereka harusnya tidak seperti itu fisiknya. Bisa jadi Risa bandel dan
sering keluyuran malam-malam saat Satya dinas keluar kota. #LOL
Beberapa pemeran pembantu lain, termasuk yang di luar negeri, juga tak
menunjukkan akting yang maksimal. Mereka tidak mampu mengimbangi akting
karakter yang dilakukan para pemeran yang sudah memiliki cukup nama di
perfilman Indonesia.
Well,
anyway, cukup tentang karakternya. Mari kita beralih
ke cerita Cakra. Deva Mahenra,
terhitung pemain baru di layar lebar, namun performanya pada film Sabtu Bersama
Bapak begitu memukau.
Seperti yang aku tulis di atas,
cerita Cakra worry me less. Adegan demi adegan Cakra mencari
cinta berputar disekitar kehidupan kantornya. And believe
me, every single scene in the office is hillarious. Chemistry
antara Cakra dengan dua anak buahnya, Firman (yang diperankan Ernest Prakasa)
dan Wati (yang diperankan Jennifer Arnelita), membuat cerita Cakra selalu aku
tunggu kemunculannya. Office jokes mereka jadi bumbu
sampingan yang seperti menu utama buat aku.
Adegan paling kocak itu saat
Cakra coba mengajak Ayu makan siang berdua untuk pertama kalinnya. Kikuknya
Cakra dan pemilihan kata yang salah membuat adegan itu chaotic
bingit. Sebuah kebodohan yang ditimpa kebodohan lainnya. Seperti
rentetan kembang api di tengah desa yang sunyi. Menggelegar dan
menyegarkan.
Meski begitu, aku mencatat ada
beberapa kekurangan yang agak mengganggu. Karena ada dua cerita yang berjalan
bersamaan (tiga, jika cerita sang ibu juga dihitung), konflik yang ada
terasa tidak memuncak disaat bersamaan. Terkesan datar meski ada
letupan-letupan meledak, namun sayangnya, dimomen berbeda.
Dialog cheesy antara Bapak
dan Ibu juga jadi hal janggal tersendiri. Saat Satya dan Risa bisa beradu argumen
dengan alami, chit chat antara
Bapak dengan Ibu sedikit mengawang. Contohnya, gombalan Bapak saat Ibu
sedang mengiris cabe. Gombalan yang membuat aku ingin membalasnya dengan
kalimat, “Ah, bisa aje lu, Nying!.”
Overall,
tampilan visual film Sabtu Bersama Bapak 'berbeda'. Coloringnya seperti film-film tahun 90an, dengan efek sedikit blur
dan penambahan lens flare dibeberapa scene. Bagi sebagian orang, treatment seperti ini mengganggu.
Padahal ini adalah style dari pembuat
film. Jika penonton bisa membaca itu, style
ini jadi menyenangkan. Film ini berusaha menunjukkan karakter secara look visual, dibandingkan film
kebanyakan yang 'bermain aman' dengan look
natural.
Tapi kalo ditanya apakah film
ini berhasil mencapai tujuannya, maka jawaban aku adalah tidak. Alasannya,
karena film ini telah melumpuhkan ekspetasi penonton yang akan berlarut sedih
melihat kisah drama keluarga. Ada unsur parenting
guide, namun tak begitu banyak menyita perhatian. Nyatanya, sulit sama
sekali untuk sedih saat menonton film ini.
Film
ini memang berhasil mengaduk emosi penonton sedemikian rupa namun untuk memaksa
buliran air mata turun pasti masih bisa kita tahan. Hal ini terbukti dari
beberapa teman yang memiliki ekspetasi lebih terhadap film ini. Ekspetasi
mereka berharap bisa mendapatkan sosok kehadiran seorang bapak dan mendapatkan
kembali kenangan demi kenangan nasehat dari seorang bapak karena mereka memang
sudah lama ditinggal oleh bapaknya yang sudah meninggal. Namun, film ini
ternyata tak mampu mengukir kenangan terindah itu karena pesan yang disampaikan
tidak menyentuh ke perasaan mereka saat menonton.
Bagi Blogger Eksis, film bukan sekedar media penyalur. Karakter
yang diperankan harus memberi edukasi kepada penonton. Suatu perbincangan yang
berisi rangkaian dialog dan dibahas dalam tuntutan adegan demi adegan dalam
film harus membekas. Apa yang kita tonton itu mungkin saja dibawa pulang. Aku berharap film Indonesia bisa mengedukasi, paling tidak meninggalkan pesan moral
untuk berbagai generasi karena film adalah karakter bangsa kita. Setidaknya,
film ini cukup menarik, mengharukan, dan menghibur namun tidak bisa menjadi
inspiratif* #ApresiasiFilmIndonesia