Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Darurat Perokok Anak, Awasi dan Lindungi Sejak Dini

 

Perokok-Anak
Kendalikan tembakau secara cepat sebelum semua terlambat
(@generasiantirokok)

     Sebagai om yang punya tiga keponakan balita, tentu aku membuat aturan di dalam rumah. Tidak ada satu pun penghuni rumah yang diperbolehkan untuk merokok. Begitu juga tamu yang berkunjung dilarang masuk ke dalam rumah saat hendak merokok.

    Peraturan dilarang merokok di dalam rumah harus ditegakkan. Sebab ada sepupu yang tinggal serumah dan termasuk perokok anak sejak kecil. Ia ditinggal ayahnya usia 3 tahun dan terpisah dengan ibunya. Beberapa anggota keluarga bergantian mengurus sepupuku ini. Sampai dewasa, Ia terbiasa merokok. Selain mengikuti jejak ayahnya dulu yang menjadi perokok berat, Ia juga terpengaruh lingkungan pergaulan diluar rumah. Kenyataan memang tak bisa dihindarkan bila terpapar asap rokok sejak kecil bisa terus berlanjut hingga usia tua.

     Beberapa kali, aku coba ingatkan untuk berhenti. Tapi, Ia masih sering diam-diam menghisap asap rokok didalam kamar mandi. Tentu bau asap rokok tetap akan tercium meski Ia sudah keluar. Dari situ, aku coba tulis peringatan “Jangan ada asap rokok di rumah ini! Kita harus saling mengawasi dan melindungi

   Perlahan tapi pasti, peringatan itu selalu terbaca oleh sepupuku tadi. Sama halnya saat para perokok membaca peringatan pada kemasan bahwa ‘produk rokok ini berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan’. Alhamdulillah, sepupuku memahami maksud peringatan itu. Rumah jadi bebas asap rokok karena setiap sepupuku itu merokok, dia harus berjalan kaki ke ruang terbuka yang jauh dari rumah.

   Begitu juga saat ada tamu yang datang ke rumah. Biasanya, aku langsung menegur “Mohon maaf, rumahku tak punya asbak!” Dengan begitu mereka sudah mengerti bahwa tak boleh ada hembusan asap rokok didalam rumah ini. Kode pernyataanku untungnya bisa dipahami para tamu yang datang ke rumah.

    Itulah sekelumit kisah kebiasaan merokok yang sebenarnya tak pernah diajari dalam keluarga inti aku. Hanya karena sepupuku yang kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya sejak kecil, Ia masih sulit untuk berhenti merokok sampai saat ini. Setidaknya, aku selalu mengingatkan untuk kurangi aktivitas menghisap tembakaunya. Kalau ada opsi yang tidak berbahaya, kenapa kita harus ikut merokok yang bisa membahayakan kesehatan?!’


Berawal dari Rumah! Ayo Kita Kendalikan Penyebaran Asap Rokok     

   Semua kebiasaan tentu dibentuk dan diawali dari rumah. Dikutip dari data Kementerian Kesehatan ternyata prevalensi perokok anak terus meningkat. Hal itu memberi pengaruh seperti apa kelemahan pengendalian tembakau di Indonesia. Itupula yang membuat aku prihatin bahwa nasib masa depan bangsa bisa terancam bila kondisi seperti itu tak ditanggulangi sedini mungkin.

   Aku jadi ingat kisah seorang bocah asal Banyu Asin, Sumatera Selatan yang bernama Aldi Rizal. Bayangkan saja! Sejak usia 2 tahun, Ia sudah terbiasa menghisap 40 batang rokok dalam sehari. Dari foto yang viral dan menjadi sorotan media Internasional kala itu, Aldi mendapat perawatan dan rehabilitasi khusus untuk berhenti merokok.

    Ternyata, Aldi tidak sendiri. Masih banyak para perokok anak yang terbiasa merokok sejak kecil. Termasuk sepupuku tadi. Mereka lahir dan tumbuh dalam lingkungan tertentu dan tak bisa memilih. Tapi, mereka selalu punya hak yang sama untuk mendapat akses pendidikan dan kesehatan yang menjadi bagian dari hak asasi manusia.  Setidaknya komposisi berbahaya dan efek panjang dari menghisap sebatang rokok harus disosialisasikan sejak kecil.

   Kebiasaan guru merokok di dalam kelas atau orang dewasa yang merokok disembarang tempat umum juga membuat miris dan mudah ditiru oleh anak-anak. Selain itu, masih banyak para penjual rokok yang memperjualbelikan rokok secara bebas alias satuan atau ketengan. Tanpa disadari, uang jajan mereka akan habis dan tidak menyisakan dana darurat sebagai tabungan. Dicoba sekali, merokok itu malah bentuk kebiasaan dan bikin ketagihan.

   Kondisi demikian juga tak sejalan dengan kontribusi Indonesia yang masih berupaya fokus terhadap pengembangan kawasan tanpa rokok seperti kota dan kabupaten yang layak anak. Ditambah lagi, akses internet yang mudah dijangkau dan iklan rokok bisa bebas dilihat oleh anak-anak dengan gampang. Hilir mudik kampanye merokok tak kenal waktu. Beberapa juga makin tak peduli saat harus merokok di depan atau di samping anak-anak. Hal ini harus dibenahi satu per satu agar ancaman kesehatan tak lagi mengganggu.

   Coba kita telusuri lebih dahulu, 3 faktor yang membuat anak-anak mulai merokok seperti:

1. Aktivitas merokok masih dianggap keren dalam tongkrongan.

Anak-anak zaman now yang punya sikap kepo (rasa ingin tahu lebih tinggi) terhadap sesuatu bisa berdampak positif bila menganggap hal-hal tabu bisa dipelajari dan dipahami dari berbagai perspektif. Tapi, semua akan berubah negatif saat rasa ingin tahunya dicerminkan dengan meniru orang-orang disekitarnya, terutama orang yang sedang merokok. Besar harapanku, setiap orang dewasa yang masih sulit berhenti merokok untuk tidak berperilaku merokok dihadapan anak-anak. Sebab, hal itu tidak akan menjadikannya keren justru malah menjerumuskan anak-anaknya menjadi kere.

 

2. Kurang faktor edukasi dari lingkungan terdekat seperti keluarga dan sekolah.

Rokok dan bahayanya belum disosialisasikan lebih lanjut pada anak-anak terutama dari kalangan orangtua dan guru. Seharusnya risiko-risiko kesehatan yang mengancam sebagai akibat perilaku merokok bisa diajarkan dengan pendekatan khusus kepada anak-anak. Jangan sampai, anak lebih mudah terpengaruh iklan rokok yang berhasil mempengaruhi mindsetnya sejak kecil.

 

3. Masih beredar pernyataan bahwa rokok membantu devisa negara.

Kontribusi pajak dan cukai industri rokok memang dianggap sebagai pendapatan Indonesia yang masih tinggi. Serapan tenaga kerja dari industri tersebut juga masih diperlukan untuk mengatasi ketimpangan lapangan pekerjaan di Indonesia. Tapi, apakah semua harus bergantung pada rokok?

Jalan keluar bagi petani industri tembakau yaitu dengan pendampingan petani, pengalihan komoditas tanam, dan perlindungan sosial pekerja. Strategi semacam ini sudah dicanangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tinggal bagaimana mengatur seperti apa implementasi di lapangan sehingga tak ada benturan atau kegaduhan dari para pemilik modal atau perusahaan tembakau yang sudah membakar uangnya untuk rokok.

 

Dari tiga alasan di atas, kita bisa simpulkan bahwa Indonesia memang darurat perokok anak. Terpaan asap rokok yang tersebar dimana-mana belum bisa melindungi anak-anak dan perempuan disekitarnya. Paparan asap rokok menjadi hal yang sangat lumrah meski beberapa kawasan sudah dicanangkan bebas dari kepulan asap tersebut.

perokok-anak

     Kegelisahanku makin diperparah saat mengetahui 7,8 juta anak Indonesia merupakan perokok aktif. Bahkan, data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menyebut 2 dari 5 anak Indonesia usia 10-15 tahun sudah merokok sebanyak 13 batang per hari atau 4.745 batang setahun. Menurut Bappenas, jumlah perokok anak diprediksi mencapai 15,8 juta atau 15,91% pada tahun 2030 bila tak ada upaya untuk mengendalikan asap rokok.

  Bersama semua pihak yang terlibat, ayo kota kendalikan penyebaran asap rokok. Edukasi dan sosialisasi harus jalan beriringan agar tak banyak lagi anak-anak yang mengonsumsi rokok. Edukasi dan sosialisasi saja tak cukup. Perlu peran Pemerintah dalam melindungi anak dari segala bentuk jeratan industri rokok dengan REGULASI. Kesepakatan regulasi yang tercipta akan menjadi bentuk perhatian Pemerintah yang tak dibatasi ruang dan waktu. Jangan sampai semakin banyak anak-anak Indonesia terjebak adiksi yang sangat merugikan masa depan bangsa.

Segera Revisi PP 109/2012 demi Generasi Anti Rokok

   Proses revisi PP 109/2012 tentang pengamanan zat adiktif masih terus bergulir dari empat tahun belakangan. Titik terang terhadap regulasi ini belum terlihat. Padahal regulasi yang sedang direvisi bisa menjadi bentuk pengendalian konsumsi zat adiktif, khususnya tameng pelindung bagi anak-anak dari serbuan industri rokok. Bukankah cita-cita Pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 ialah menurunkan jumlah prevalensi perokok anak? Ini berarti waktu yang tersisa tinggal sedikit lagi.

   Denda terhadap para perokok pun masih belum diterapkan sepenuhnya. Beberapa yang merokok disembarang tempat biasanya hanya kena teguran saja. Selebihnya hanya butuh kesadaran bagi para penjuala rokok untuk tidak bebas memperjualbelikan kepada anak-anak dibawah umur.

   Perlindungan anak dan perempuan dari bahaya asap rokok juga sudah sewajarnya dilakukan oleh kaum bapak-bapak. Jangan pernah para bapak mengeluarkan apalagi menghisap batang silinder berukuran kecil yang dibakar itu dihadapan anak-anaknya. Jangankan melihat, menyentuh pun tak boleh dilakukan oleh anak-anak. Kalau mereka bertanya, sampaikan saja bahwa rokok itu tak boleh dicoba dan perokok pasif akan punya kerugian yang lebih bahaya bila menghisapnya.

   Pengendalian rokok ini terbilang berat. Ditambah dengan industri produsen rokok yang sudah menguasai dan menormalisasikan produk rokok. Pihak brand sudah menciptakan rokok dan mempromosikannya dalam berbagai kalangan dengan strategi “subliminal advertising”. Imej produk tembakau disampaikan secara halus supaya mudah masuk ke alam bawah sadar sehingga stimulus diterima dalam bentuk visual dan audio yang diulang. Kekuatan iklan rokok tersebut tentu begitu cepat merasuki anak-anak yang jadi target sasar sebagai perokok pemula.

    Demi memenuhi hak sehat dan perlindungan anak, maka pengaturan iklan produk tembakau wajib direvisi. Iklan-iklan itu diatur dalam PP 109/2012 yang terlihat masih sangat lemah dan belum mengacu pada pemenuhan hak mendapat informasi yang layak bagi anak. Kalau bisa intervensi Pemerintah harus dipertegas. Presiden harus berani melarang iklan rokok dalam berbagai media publik sehingga menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak ke arah masa depan yang lebih baik.

Berani-Berhenti

  Bukankah anak-anak memang selayaknya dapat edukasi supaya tidak merokok sejak dini. Namun, begitu keluar dari rumah atau sekolah, anak-anak dapat lebih mudah melihat orang merokok disembarang tempat. Disisi lain, peringatan kesehatan begitu kecil tertutup pita cukai dan iklan promosi begitu bebas ditemukan. Harga rokok pun masih murah dan bisa dijual ketengan. Anak-anak bak dicekoki warisan tradisi merokok dari masa ke masa.


Sungguh kondisi Indonesia yang makin darurat dan memprihatinkan. Bila PP 109/2012 tidak direvisi, bagaimana nasib masa depan bangsa Indonesia nanti? 

AWASI DAN LINDUNGI SEJAK DINI*

2 komentar:

  1. Aku juga nggak setuju rokok jadi primadona di kalangan anak muda. Nggak keren sih kalau merokok ternyata ngerugiin diri sendiri, banyak orang dan negara pula.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangankan anak muda. Dimulai dari anak-anak disekitar lingkungan terdekat kita dulu deh harus dijauhi dari asap rokok atau perilaku merokok yang sering ditiru dari orang dewasa. Indonesia sudah darurat perokok anak soalnya*

      Hapus