Tulis yang kamu cari

Analytics

Adv

Menikmati Kesepian, Merayakan Kesendirian

Sudah terlalu lama sendiri
Sudah terlalu lama aku asyik sendiri

Lama tak ada yang menemani

Rasanya… .

Mungkin Blogger Eksis agak telat menonton salah satu film Indonesia yang berkualitas. Sudah banyak bertebaran di timeline media sosial bahwa para netizen begitu ramai memperbincangkan film yang layak direkomendasikan sejak tayang 15 Maret 2018. Tapi seperti apapun filmnya, aku akan terus mengapresiasi untuk mendukung perkembangan film nasional yang semakin mumpuni.
Sobekan Tiket Bioskop saat menonton Film Love For SaleFilm yang Blogger Eksis tonton hari Rabu (28/3) bertajuk Love for Sale di Cinema XXI Lotte Shopping Avenue. Ada cerita tersendiri sebelum aku memutuskan untuk menonton film bergenre drama romantis ini.
Awalnya, Blogger Eksis ingin menghadiri press screening dan press conference untuk film Jelita Sejuba di XXI Plaza Senayan. Saat tiba di lokasi, acara itu tidak ada alias dibatalkan. Padahal sewaktu pagi sebelum berangkat menuju TKP, aku sudah konfirmasi ke salah satu contact person atau publisis yang tertera pada undangan. Ia pun berkata silakan langsung datang saja. Namun, apalah daya karena acara dibatalkan begitu saja. Kondisi demikian jadi pelajaran hidup yang menamparku hari itu karena aku merasa tertipu.
Berhubung malam hari, Blogger Eksis juga mendapat undangan untuk hadir pada acara NGoPi (Ngobrolin Peristiwa dan Teknologi Terkini) bersama salah satu media siber terbesar di Indonesia. Aku pun memutuskan untuk menuju lokasi pada siang itu. Sambil membuang waktu supaya lebih bermanfaat, aku langsung ke bioskop meski harus jadi penonton seorang diri.
Jujur saja, Blogger Eksis paling sedih jika harus ke bioskop sendirian. Dalam pikiran ku terbesit menjadi anak yang kehilangan. Apalagi jika harus menonton film yang berkisah tentang bujang lapuk yang sedang menikmati kesepian. Ah sudahlah,  hal terpenting aku bisa merayakan bulan film nasional dengan cerita film Indonesia mengenai kesendirian dalam kehidupan sehari-hari yang berkualitas tinggi.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)
Melalui pembentukan karakter jomblo akut bernama Richard Achmad Daniel Wijaya (Gading Marten), film yang diproduseri oleh Angga Dwimas Sasongko dan Chicco Jerikho coba mengungkap kisah cinta yang bisa datang tiba-tiba dan menghilang begitu saja. Kutukan dalam hati para perjaka tua yang menonton film Love for Sale pasti akan terefleksi untuk berpikir dua kali akankah mampu menikmati masa expired dengan hidup menjadi bujangan sampai mati.
Gaya hidup masa bodo yang memandang cinta nyaris terdeskripsi dengan karakter Richard. Kehidupannya berubah sejak ia mengenal Arini Kusuma (Della Dartyan) via aplikasi kencan daring, Love Inc. Visinema Pictures berhasil mengemas film Love for Sale dengan kekuatan premis yang kritis.

Film Love for Sale bercerita tentang Richard yang berusia empat puluh satu tahun dan sudah terlalu lama hidup sendiri. Kehidupannya ditemani oleh seekor kura-kura bernama Kelun. Kegagalan cinta di masa lalu membuat ia terbiasa dengan kesepian. Meski puisi selalu bisa membuat Ia mengerti tentang cinta dibanding teman-teman lainnya. Petuah cinta pun selalu hadir mengisi status-status bijaknya di media sosial.
Richard tak begitu kesepian. Ia memiliki teman-teman yang nyaris tiap pekan menemani hidupnya untuk nonton bareng dan main sepak bola sambil taruhan.

Suatu hari, teman-temannya memberi tantangan kepadanya untuk membawa pasangan ke sebuah resepsi pernikahan yang akan dilangsungkan oleh Rudy (Rizky Mocil) dan calon istrinya (Cita Maharani). Richard pun menjadi bahan pertaruhan apakah Ia mampu membawa pasangan ke pesta pernikahan tersebut.
Sebagai sosok paling tua dalam gengnya, Richard merasa tertantang. Ia ingin menjelaskan  bahwa cinta tidak perlu dipublikasikan namun bisa dibuktikan.
Segala cara diupayakan Richard untuk mencari pasangan. Mulai dari mengajak teman-teman wanita yang sudah kenal lama dan karyawannya sendiri yang punya waktu kosong di akhir pekan. Tapi, semua itu terasa tidak memuaskan.
Harga diri Richard yang tinggi memaksanya untuk memutar otak kembali. Beruntung ada pelanggan yang mencetak brosur di tempatnya dengan informasi aplikasi pencarian teman kencan secara instan. Cukup geser foto pada smartphone. Bila ada kecocokan, maka teman kencan pun didapat.

Richard dipertemukan dengan sosok Arini. Awalnya, Richard hanya bermaksud kencan semalam dengan Arini. Setelah mendengar curhatan Arini yang butuh pekerjaan untuk biaya pengobatan ayahnya, Richard iba. Ia membiarkan Arini lebih lama bersamanya sampai 45 hari sesuai dengan masa kontrak berdasarkan paket kencan yang ditawarkan dari perusahaan aplikasi Love Inc.
Perlahan tapi pasti, benih asmara mulai tumbuh diantara keduanya. Kesukaan terhadap hobi menonton sepak bola dan selera terhadap makanan dari luar negeri seperti tongseng dari Turki atau racikan sambal dari Madagaskar. Kesamaan itu membuat Richard siap jatuh cinta lagi setelah 20 tahun lalu menyimpan rasa itu. Richard pun memutuskan untuk melamar Arini demi hidup bersamanya dan untuk selamanya. Akankah keputusan Richard bisa menjadi kenyataan?
Gading Marten sebagai Richard dalam Film Love For Sale

Film Love for Sale mengungkap tema percintaan di era digital. Cerita disuguhkan tanpa hal-hal receh. Relevansi dengan apa yang terjadi di sekitar begitu terungkap mengkritisi nasib para jomblo kronis yang terlalu pemilih. Keputusan untuk memakai aplikasi jasa kencan yang masih booming supaya lebih kekinian memang terekam dalam kehidupan sehari-hari di zaman now.
Cerita dikemas M. Irfan Ramly dalam putaran waktu bagaimana menjalin hubungan. Mulai dari keraguan saat perkenalan, kenyamanan ketika jatuh cinta lagi, hingga keputusan harus memilih hubungan itu mau dibawa ke mana. Cerita yang pas dengan plot bagus berakhir dengan membiarkan penonton untuk menentukan sendiri tanpa harus menggurui apa itu cinta.
Cerita bertahan pada sudut pandang Richard. Fokus Richard yang mampu melihat, mendengar, dan merasakan kegalauan hidup diusianya yang semakin tua menjadi refleksi bagi penonton yang juga sudah terlalu lama sendiri. Mungkin saja saat menonton film Love for Sale, penonton bisa berkata dalam hati karena mengalami hal yang sama persis atau pernah melihat adegan tersebut di dunia nyata. Cerita pun membawa premis sederhana dan segar yang mengantarkan benang merah dengan ringan.

Film Love for Sale digarap oleh Andi Bachtiar Yusuf. Sebelumnya, sutradara ini telah memproduksi film bertema olahraga seperti ‘Romeo & Juliet’ (2009) dan ‘Hari Ini Harus Menang’ (2012). Ia juga cukup pionir dalam memproduksi film Mata Dewa (2018). Pola pemikirannya memang berbeda dari sineas lain, Ia berusaha menempatkan independensi di atas segalanya. Kegelisahan Richard yang suka bola, jago membuat puisi, namun tidak percaya diri saat menghadapi wanita terasa mengalir halus di layar bioskop.
Visualisasi tak terlalu istimewa untuk menghiasi durasi. Hanya saja adegan begitu nyata dengan tricking camera yang dibuat shaking dan terus mengikuti pemain. Semua terasa natural tanpa ada yang dibuat-buat.

Cinta butuh rasa. Latar film dengan nuansa vintage begitu terbangun. Kisah percintaan yang mungkin pernah terjadi kepada siapapun, namun diberi racikan dengan penggambaran bagai kisah nyata. Terselip juga isu masyarakat terkini seperti sidang kasus e-KTP dan pelecehan seksual di kereta melalui siaran berita di televisi dan informasi pada koran yang menjadi sajian kehidupan sehari-hari.
Hal-hal sederhana juga mewarnai adegan seperti saling melempar senyum, menutup tubuh pasangan dengan selimut saat tertidur, sarapan pagi, menjalani hobi yang sama, jalan berdua, atau memandangi kelap-kelip lampu kota dari ketinggian menjadi ikatan sederhana dengan aroma rasa jatuh cinta. Semua adegan dimainkan para pemeran yang menunjukkan totalitas secara alami.
Dari segi pemeranan, Blogger Eksis terkejut melihat penampilan debut akting yang unik dari seorang Gading Marten. Dengan melakoni karakter Richard, Ia berusaha membunuh karakter aslinya sendiri untuk berperan 6 tahun lebih tua dari usianya. Ada sisi canda, kegalauan, dan ketus yang bisa ditransformasikan melalui olah vokal, olah tubuh, dan olah rasa dengan begitu baik.
Penyampaian Gading sebagai Richard terasa pas. Kaku di awal saat bertemu Arini hingga luwes karena ada semangat hidup baru yang menemani. Gading mampu bermain dengan ngehe karena gemar melakukan kebiasaan galer. Akhirnya, Gading Marten mampu menggantikan posisi Reza Rahardian sebagai aktor berkarakter untuk perfilman nasional.
Sosok aktris pendatang baru Della Dertyan yang berperan sebagai Arini juga menjanjikan dengan karakter manja yang tetap dewasa. Ia membuat penonton semakin kepo karena dibentuk sebagai wanita yang menjual diri melalui jasa kencan dengan siapa saja. Della berakting lepas meski hidupnya penuh drama karena tuntutan pekerjaan pada startup penyewaan teman kencan itu. Mata Della berbicara meyakinkan lawan mainnya untuk tidak berakting belaka.
     Adegan mesra di ranjang antara Gading yang lebih terkenal sebagai host dan lawan mainnya Della sebagai Putri Indonesia 2013 asal Banten begitu menggemaskan. Love scene yang cukup vulgar dan tergarap dengan maksimal. Adegan ini mengingatkan totalitas Reza Rahadian dan Adinia Wirasti dalam film Critical Eleven tahun lalu.
Perkembangan karakter lain juga mendukung cerita tanpa harus memaksa tertawa karena mereka hanya menyelipkan candaan yang tidak bersandar pada kepentingan genre film komedi.

Jika melihat sisi poster Love for Sale begitu menarik perhatian dengan warna neon yang menerangi ranjang tempat Richard dan Arini memadu kasih. Tontonan pun tergarap serius termasuk materi promo didalamnya. Hanya saja relevansi antara judul dan isi film terlihat tidak proporsional.
Biar bagaimanapun, film Love for Sale bertutur dengan jujur. Akhir cerita yang multi tafsir memberi ruang berpikir bagi penonton untuk menyimpulkan pesan apa yang ingin disampaikan. Film yang berhasil memberi gambaran tentang cinta secara universal.
Meski kisah Love For Sale tidak diadaptasi oleh novel best seller atau kisah nyata, film ini memberi pencerahan tentang cinta yang bisa hadir dan pergi begitu saja. Ada kenikmatan dan kehilangan yang harus diikhlaskan ketika cinta bisa dijual di tengah hiruk pikuk ibukota.
Adegan Richard dan Arini dalam Film Love For Sale“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21).

2 komentar:

  1. Woow...Adegan ranjangnyaa yang paling hot, emang keren pelem ini, sukaaa banget, kaya akan makna tentang cinta.
    Lagi, lagi cinta..oh cintaa..

    BalasHapus
  2. Iya. Adegannya nggak kalah hot dengan film Critical Eleven..

    BalasHapus