Blogger Eksis bukan termasuk netizen +62 yang latah untuk ikut tren viral. Begitu tahu ada utas viral dari tahun 2019 yang diangkat ke layar lebar, aku menanggapi secara biasa saja. Beberapa sepupuku sudah bilang “Kok lo gak ikut hype film horor Indonesia yang viral itu deh? Gue aja udah nonton 3x”. Aku pun baru sempat menonton film KKN di Desa Penari pada Sabtu, 21 Mei 2022 di bioskop Cinepolis Plaza Semanggi. Nyatanya, film yang aku tonton membuat kecewa sebab memang jauh dari ekspektasi. Berikut ulas film KKN di Desa Penari!
Awalnya,
aku berharap mendapat kisah persahabatan dan petualangan yang penuh misteri di
suatu desa terpencil. Aku pun sempat ingin mensejajarkan film ini dengan film horor Indonesia berkualitas tinggi seperti Pengabdi Setan, Perempuan Tanah
Jahanam, Sebelum Iblis Menjemput, Suzanna, atau Rumah Dara. Nyatanya, film KKN
di Desa Penari justru tak membuat aku terpaku untuk nikmati sentuhan horornya.
Terlalu banyak cerita atau narasi dibanding visual yang mencekam.
Habis
nonton film KKN di Desa Penari, aku juga masih tidak yakin kalau cerita ini
diadaptasi dari kisah nyata. Semua lebih terlihat FIKSI. Aku pun baru
menyempatkan diri baca utas cuitan twitter @Simplem81378523 yang viral itu
setelah nonton. Menurutku, cerita di X lebih rapi deskprisinya dibanding naskah
utuh dalam film yang berantakan. Imajinasi lebih mengena saat membaca dibanding
menonton filmnya.
Film
KKN di Desa Penari bercerita tentang sekelompok mahasiswa yang wajib ikut
Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa yang ada dalam pelosok hutan. Nur (Tissa
Biani) sudah merasa tak enak akan kehadiran dia dan teman-temannya sejak awal
di desa tersebut. “Arwah Penjaga” atau nenek dari Nur mulai merasakan ada
keganjilan dan kepanikan bahwa bakal ada yang celaka diantara mereka. Di dalam
desa, nyatanya ada desa lain yang penduduknya tak terlihat dengan mata
telanjang karena mereka merupakan arwah-arwah gentayangan.
Film
KKN di Desa Penari masih diminati dari libur lebaran sampai saat ini. Bioskop
kerap penuh setelah jadwal dua tahun penundaan tayang film ini akibat pandemi.
Aku pun menjadi bagian lebih dari 10 juta penonton yang menyaksikan film horor
terlaris ini melalui format layar lebar. Namun, visualisasi utas viral dari
Twitter tak mampu sentuh sisi ngeri dan bulu kuduk tak perlu merinding saat
menyaksikan kemasan cerita yang minim eksplorasi.
Skenario
dari Lele Laila terlihat tak rapi dalam layar visual audio. Ia kurang berhasil
menjahit benang merah untuk setiap fragmen kisah yang viral. Tak ada modifikasi
alur, celotehan segar, atau rajutan untuk menambal plot hole dari
filmnya. Secara keseluruhan, cerita melompat seenaknya bak mimpi yang dialami
dari masing-masing pemeran. Tanpa sadar, mereka dipengaruhi atau bersekutu
dengan jin selama di desa tersebut. Hanya itu premis yang ingin disampaikan.
![]() |
Calvin Jeremy sebagai Anton yang tidak punya andil ke dalam cerita |
Pengembangan
karakter dalam film pun tak ditampilkan dengan baik. Hanya karakter Nur dan
Widya yang mendapat porsi pengenalan di awal film. Sementara tokoh lain, tak
punya karakter signifikan. Apalagi Anton (Calvin Jeremy) yang keberadaan dalam
film seolah tidak punya peran, selain hanya untuk memenuhi tuntutan cerita
viral twitter yang minimal 6 orang peserta KKN.
Karakter
perempuan dalam film KKN di Desa Penari bagai simbol makhluk Tuhan yang
tercipta paling seksi dan mudah terancam. Mereka bisa diincar kapan saja dan
menjadi tumbal. Film coba ambil sudut pandang dari sisi Nur dan Widya. Tapi,
justru mengorbankan Ayu sampai akhir cerita.
Sensitivitas
feminisme terlihat sekali dalam dekripsi karakter ketiga perempuan dalam film
KKN di Desa Penari. Mereka dianggap sebagai makhluk tak berdaya yang lemah.
Hanya saja, masing-masing punya kendali untuk saling melindungi. Tapi, tidak
mampu saling menjaga. Beberapa adegan saat mereka terancam makhluk halus pun
lebih terkesan tidak terikat sebab masing-masing hanya ingin menyelamatkan diri
sendiri.
Naskah
makin cacat logika. Pertama, adegan Nur dan Widya yang pergi mandi berdua di
bilik samping Sinden. Nur yang lulusan pesantren dan lebih paham agama malah
sibuk mengusir setan dengan bacaan ayat suci. Dalam Islam, hal tersebut justru
tak dibenarkan. Belum lagi saat Nur keluar kamar mandi, dia tidak melarang
sedikitpun Widya untuk masuk ke dalam tempat itu. Padahal ada hal gaib yang
sudah dialaminya. Nur malah menjerumuskan temannya sendiri.
Ketidaklogisan
kembali terjadi dan bisa dilihat dari busana tidur yang dikenakan Ayu saat
malam tiba. Pakaian minim yang dikenakan malam hari di sebuah rumah yang ada di
hutan sangat tidak relevan. Apa Ayu mau menggoda Bima dengan gaya busananya?
Tapi, tak ada adegan seperti itu. Justru Ayu bakal kedinginan dan tubuh yang
mulus malah digigit nyamuk. Sebagai mahasiswi, seharusnya mereka paham adab
dalam berpakaian.
Hubungan
pertemanan atau persahabatan dalam ikatan KKN juga tak terbentuk. Saat mereka
punya masalah sudah sewajarnya ada problem solving atau ada sosok yang
tampil mengatasi satu per satu masalahnya. Namun, masing-masing individu
nyatanya terlihat asyik sendiri dengan jebakan jin yang bernama Badarawuhi.
Sutradara
Awi Suryadi juga hanya fokus membangun dark mood dalam setiap adegan.
Rumah yang minim penerangan dan hutan yang gelap sebenarnya on track
untuk menciptakan momen-momen mengerikan. Tapi, penuturan kisah tak mampu
sampai pada level menegangkan.
Transisi
antar cerita sampai penyuntingan gambar menjadi kasar. Penampakan yang hadir
hanya sekilas saja tak ada yang menakutkan. Ibarat kita masuk ke wahana rumah
hantu yang didalamnya ada godaan dari hantu-hantu gentayangan. Kalau kita sudah
berani, tentu berpikir bahwa mereka itu cuma sebatas manusia yang berperan
sebagai hantu dari balik make up special effects.
Penyampaian
pesan film pun tak tersampaikan dengan mulus. Dari bangku penonton, aku sulit
larut menyimak cerita demi cerita. Gaya tutur akhir cerita akhirnya tak mampu dieksplorasi
secara baik. Bima dan Ayu hanya terbujur kaku seolah jiwa mereka terjebak di Angkara
Murka dan tak akan pernah kembali ke dunia nyata.
Dari
semua unsur film, aku hanya bisa menikmati sinematografi (visual effect),
tata suara, dan tata artistik saja. Penata kamera Ipung Rachmat Syaiful mampu
membidik adegan film dalam bingkai yang tak membosankan. Didukung latar tempat
yang mendeskripsikan seperti apa kondisi lokasi sebenarnya dan set properti
yang lengkap mampu ajak penonton seolah beranjak ke masa silam. Ditambah tata
suara menggelagar sebagai formula jump scare yang gencar. Alunan tata
musik pun menghiasi adegan dengan tembang dari sinden atau suara gamelan yang
menciptakan suasana mistis.
Dari performa
akting para pemeran, Tissa Biani berhasil mencuri perhatian. Jiwa mudanya
sesuai menempatkan diri berdasar umur, tidak terkesan kekanakan. Selanjutnya ada
Adinda Thomas yang mengeluarkan potongan rambut dari dalam mulutnya. Ekspresi saat
menghadapi teror demi teror keluar natural. Serta Aulia Sarah yang mampu hidupkan
sosok penari dengan tatapan dan lenggak lenggok tubuhnya. Mereka layak diberi
tepuk tangan, meski pemeran lain selebihnya tak punya andil besar untuk
mensukseskan film.
Aku sangat
menyayangkan akting dari Achmad Megantara yang terlihat tidak jelas arah
karakternya. Film seolah ingin menjerumuskan dia sebagai fuck boy.
Namun, jiwa arogannya terlalu dibuat-buat terutama saat akting marah. Pembawaannya
terlalu kaku dan seolah tak mau bergaul dalam kelompok KKN itu. Disisi lain,
Nur juga yakin bahwa Bima rajin salat. Tapi, semua karakter bertolak belakang.
Film KKN di Desa Penari seolah hadir bagai gimmick semata. Digadang sebagai adaptasi kisah nyata dengan bumbu “uncut” nyatanya tak ada adegan seks yang menggairahkan penonton. Skenario yang gagal bercerita membuat film tak punya esensi apa-apa. Hanya memanfaatkan ‘hype’ saja. Inilah persepsi aku yang tidak puas setelah menonton film KKN di Desa Penari. Aku hanya bagian dari penonton film Indonesia yang terus melakukan apresiasi terhadap film nasional melalui tulisan-tulisan kritiknya. Semua ini tentu untuk kebaikan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar